Robot

174 20 1
                                    

"Mama tidak pernah bertanya." Ucapan Ane masih terngiang jelas di telingaku.

"Mama cuma diam selama dua tahun ini, menghindar saat aku bicara tentang Papa. Aku bingung, apa Mama tidak merindukannya sepertiku?" ujarnya kemudian.

Ruangan sempit dengan satu set meja kursi itu lengang. Aku tak menyangka, sungguh tidak pernah. Kupikir semua akan berlalu sempurna, baik-baik saja. Apalagi jika melihat wajahnya tetap berhias senyum semringah, siapa yang bisa menebak jika hatinya dirundung pilu? Atau ... memang akulah yang begitu abai?

"Aku sangat kehilangan Papa, Ma. Kukira Mama juga, tapi nyatanya tidak. Mama sibuk kerja, pulang larut malam. Aku? Aku harus bicara pada siapa?" cetusnya dengan tatapan kosong.

"Kupikir ... kita bisa melalui ini berdua, bersama-sama. Tapi, Mama cuma memikirkan bagaimana kita bisa terus hidup dengan banyak uang sepeninggal Papa, tidak peduli apakah rasa kehilanganku sudah sembuh atau belum."

Aku menelan ludah. Ya, ini semua sempurna kesalahanku. Aku berjuang mati-matian untuk persiapan biaya kuliah Ane. Jurusan kedokteran, impian tertinggi yang kusematkan pada putri semata wayangku ini. Berapa pun uang yang dibutuhkan untuk bisa masuk jurusan itu, akan kuberikan tanpa ragu.

"Mama memaksaku mengambil jurusan kedokteran, tanpa pernah Mama tahu apakah aku ingin mengambil jurusan itu. Otakku tidak cukup waras untuk menyembuhkan orang, Ma, karena luka hatiku ditinggalkan Papa bahkan belum sembuh. Mama tidak pernah bertanya. Tidak pernah...." katanya, nyaris tak terdengar jika saja jarak kami tidak begitu dekat.

Aku tergugu. Itu percakapan kami sebulan yang lalu, saat Ane masih menjalani terapinya di pusat rehabilitasi narkoba. Aku tak pernah mengira akan menjadi orangtua yang begitu gagal mendidik putri satu-satunya.

Ah, benar sekali, dia bukan putriku, dia lebih seperti robot yang menuruti segala kemauanku. Aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa dia tak pernah bahagia, karena setiap kebahagiaannya rela disingkirkan demi memenuhi ambisiku sebagai orangtua.

Lantas, sekali dia membuat kesalahan untuk melampiaskan seluruh penat, aku menghardiknya sedemikian rupa, menyakiti palung hatinya yang paling dalam. Kini aku mengerti setelah semuanya usai dan hanya menyisakan sesal.

"Maafkan Mama, Ane," bisikku sembari memeluk nisan bertuliskan namanya, sebuah robot yang pernah terlahir dari rahimku.

-end-

Komunikasi adalah hal paling penting dalam setiap hubungan :)

Jangan lupa voment, ya!

AlohomoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang