Prolog : The Prophecy

266 66 32
                                    


A wise man once said, in the end everything will return to nothing

---

Damian pernah mengira bahwa pertemuannya dengan Icarus di pinggir Sungai Adige, Italia beberapa ratus tahun yang lalu menjadi pertemuan terakhirnya di seribu tahun pertama sejak peristiwa peperangan antar Dominic dan Dentra. Icarus tentu tak memiliki waktu leha-leha sepertinya, sebab malaikat itu mengemban banyak tugas untuk mengatur alam semesta. Tidak sepertinya yang tugasnya hanya menjerumuskan manusia ke jalan penuh sesat, tentu ia tak perlu effort banyak sebab kebanyakan manusia lebih terlena dengan duniawi.

Hari itu, Icarus datang dengan setelan manusianya yang layak disebut sebagai CEO muda di perusahaan start up. Sungguh berbeda jauh sejak terakhir kali Damian bertemu dengannya. Hal itu bikin Damian mencebik, jelas dia nggak mau kalah keren dengan Icarus. Oleh sebab itu Damian mengubah penampilannya menjadi lebih mature ketimbang tampangnya yang seperti bocah SMA itu, demi mengimbangi Shira.

"Sekarang lo udah ngerti budaya keren ya?"

"Yah mau bagaimana lagi, gue musti berpenampilan begini biar bisa berbaur dengan para manusia."

Damian tertawa singkat. "Bahkan lo pakai bahasa gue elo."

"Gue harus menyesuaikan diri dengan cara bicara lo itu, Damian." Icarus mengangkat tangannya sejajar dengan perut, menjentik tak sampai sedetik hingga mereka berdua sudah berpindah posisi, yang semula di atap gedung paling tinggi Jakarta di tengah malam, hingga di pinggiran halte dekat sekolah pada siang hari.

"Gue harap lo punya cerita bagus untuk gue sampai lo membawa gue ke tempat ini dan mempercepat waktu." Damian berujar tak senang.

"Kenapa? Dalam perjalanan menuju pacar manusia lo itu?" Ucapan Icarus tepat, bikin Damian terdiam tak menjawab.

Pagi itu jalanan dipenuhi oleh kendaraan beroda dua dan empat. Angkutan umum dengan nomor yang sama. Trotoar yang penuh dengan pejalan kaki, mulai dari anak sekolahan, para pekerja kantor yang mencari angkutan umum, hingga kontras dengan para warga pinggiran yang datang untuk menemukan tempat strategis untuk mengais rejeki dengan meminta-minta.

"Apa lo pernah mendengar soal ramalan kaum Midgar?"

Damian memutar bola matanya malas. "Alaturi lagi." Ujarnya tak senang. "Shira sudah membicarakan itu dengan mulut yang berbusa. Apa kalian semua nggak lelah? Biarkan makhluk dunia itu menyelesaikan segalanya."

Icarus tertawa singkat. "Andai semudah itu."

Pemuda yang menyembunyikan sayap di balik untaian kalimatnya itu berucap lagi. "Jika saja Lucius nggak membuka gerbang, andai saja yang berkonflik adalah murni makhluk Alaturi itu sendiri. Maka semuanya akan menjadi lebih mudah. Manusia itu sudah campur tangan terlalu banyak, pun makhluk Alaturi yang lain sudah secara tak langsung membantu peradaban manusia dengan kehadirannya di sini."

"Ah. Jadi maksud lo, andai dunia manusia nggak tercampur begitu banyak begitu?"

Icarus mengangguk sedangkan Damian tertawa singkat, penuh sarkas. "Semua hal yang berkaitan dengan manusia memang akan membuat Nya turun tangan. Kenapa? Karena manusia adalah makhluk paling sempurna."

Icarus menoleh, memandangi putra iblis itu tanpa ekspresi. "Earth dan Alaturi adalah dua dunia yang berbeda. Mereka tak boleh disatukan, karena jika ya maka keseimbangan akan goyah. Jika goyah, maka hari akhir adalah jalan keluar."

Iris gelap itu menoleh, bertemu dengan sorot penuh terang yang bersembunyi dari balik rupa manusia.

"Jika semua bangsa di Alaturi berperang, maka itu artinya Alaturi akan mencapai pada hari penantian. Sebelum itu, Lucius harus kembali."

ALATURITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang