Bulan Racun part 1

530 44 11
                                    

Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, tetapi kalau bisa janganlah membenci karena itu tidaklah baik

Happy reading☺️
.
.
.
.
.
.
.

Dini hari, tiba-tiba Rindi terbangun dari tidurnya kemudian ia terduduk dan termenung kala merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia tersadar dan mengucapkan istighfar berkali-kali.

"Astaghfirullah,"

"Astaghfirullah,"

"Astaghfirullah,"

Novan yang terbiasa terbangun pada dini hari pun langsung heran dengan perilaku sang istri. Ia melihat jam yang masih menunjukkan pukul setengah tiga kemudian pandangannya terfokus pada Rindi yang memejamkan mata sambil terus beristighfar. Novan mendekat dan perlahan menyentuh pipi Rindi dan membuat sang empu terkejut.

"Maaf, Mas keganggu ya?"

Novan tersenyum, "Nggak. Kamu kenapa? Habis mimpi buruk?"

Rindi terdiam sejenak kemudian menatap sekeliling dengan takut-takut. "Akhir-akhir ini perasaanku nggak enak, Mas."

"Aku.... aku takut, apa aku kerasukan jin ya?" tanya Rindi mengada-ada.

"Hust! Istighfar!" tegur Novan seraya menepuk pelan pipi Rindi.

"Lebih baik kamu ambil wudu, lalu kita sholat malam dan lanjut baca Alquran supaya perasaanmu bisa tenang!" saran Novan dan Rindi pun bergegas bangkit.

Sekarang, Novan sudah berada di depan Rindi dan bersiap untuk melaksanakan sholat bersama. Saat Novan mulai mengumandangkan takbir, tiba-tiba bulir air mata mulai menggenang di pelupuk mata Rindi, tetapi ia berusaha fokus untuk menghadap Tuhannya.

Di sujud terakhir, Rindi sudah tidak bisa menahan air matanya, ia mulai menumpahkan air mata yang sedari tadi meminta untuk diloloskan dari kelopak matanya. Sajadah untuknya bersujud pun sudah basah terkena air matanya. Sholatnya telah usai, Novan mengucapkan salam dan menoleh ke kanan.

"Assalamu'alaikum wa rahmatullah,"

"Assalamu'alaikum wa rahmatullah,"

Kemudian Novan menoleh ke belakang dan melihat wajah Rindi yang sudah sembab. "Astaghfirullah, kamu kenapa, Dik?"

Rindi tak menjawab, ia masih menangis sembari menyalami tangan Novan dengan lembut. Novan membawa sang istri ke dalam dekapannya. "Tenang! Cerita ke Mas, kamu kenapa!"

Rindi menggeleng dan terus menangis, "Aku nggak tahu, Mas. Akhir-akhir ini perasaanku nggak enak."

"Kamu rindu sama Ibuk dan Bapak? Kalau iya, nanti kita pergi ke rumah mereka."

"Sudah ya, jangan terus menerus menangis! Apa kata Ibuk sama Bapak nanti kalau tahu kamu seperti ini, bisa-bisa Mas disalahin karena udah buat kamu nangis sampai kayak gini!" ucap Novan disertai tawa renyahnya. Berulang kali ia menciumi pucuk kepala sang istri sembari menenangkannya.

"Mas apaan sih?" gerutu Rindi kemudian ia tertawa.

"Nah, gitu dong senyum. Ya udah, ambil Alqurannya!" titah Novan.

"Kan udah batal, wudu lagi kita," sahut Rindi.

"Oh, iya ya."

Rumah Bapak

Sudah hampir satu jam lamanya, Rindi masih setia memeluk sang Ibu. Entahlah, mengapa ia jadi manja seperti ini, seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu orang tuanya saja, padahal baru minggu kemarin mereka berkunjung ke sini.

DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang