Laki-laki dengan pakaian khas kerjanya berjalan acuh melewati gadis yang sedari tadi terus saja berbicara. Sudah banyak kata-kata rayuan, bujukan, bahkan gombalan manis sudah ia keluarkan, namun sang lelaki menghiraukannya. Ketika sampai di ambang pintu, sang perempuan mencekal lengannya.
"Ayolah, Om, sarapan dulu!"
"Saya sudah masak sarapan spesial buat Om,"
"Mubadzir kalau nggak dimakan,"
"Masih marah ya? Jangan lama-lama marahnya,"
"Om mau ngeluarin kata-kata kasar, Om mau marah, mau banting sesuatu, mau... apa pun deh, terserah. Asal jangan diemin saya kayak gini dong!" pintanya terus membujuk sang suami agar mau berbicara lagi padanya.
"Om,"
"Sarapan dulu,"
"Eh... eh... bunyi apa tuh? Pasti perutnya minta diisi, pas banget ada menu spesial di sana, pasti bakalan memanjakan perut yang bergejolak ini," bujuknya seraya menekan-nekan perut Novan.
"Ayolah, Om, sarapan dulu! Nggak baik tahu kalau pergi tanpa sarapan dulu, nanti bisa lemah, letih, lesu, loyo, atau yang paling parah bisa terkena PM,"
Sang mendengar penuturan Rindi, Novan mengerutkan keningnya, ia tak paham apa yang dimaksud istrinya ini.
Rindi pun peka akan ketidaktahuan Novan, ia melanjutkan kata-katanya tadi, "PM itu Pingsan Mendadak, hahah. Bayangin aja kalau seorang Novan yang tampan rupawan pingsan di tempat kerja, uuuu... sungguh tidak bagus sama sekali, bisa menurunkan kadar ketampanan dan kewibawaan Anda lho, Om," penuturan Rindi membuat hati Novan tergelitik, sebisa mungkin ia menahan senyumannya.
Novan berbalik badan dan segera menuju meja makan, ia masih setia dengan ekspresi datarnya. /Masih merajuk.
"Nah, gini dong. Tapi... kenapa mukanya masih ditekuk gitu?"
"Mau yang mana?" tanya Rindi bersiap mengambilkan lauk untuk Novan.
Novan masih tak mau berbicara, hal itu membuat Rindi menghembuskan napas lelah, tetapi ia masih bersemangat untuk membujuk suaminya ini. "Ya sudah, saya ambilin ini ya?" setelah mengambil beberapa lauk, ia meletakkan piring ke hadapan Novan. Novan pun mulai memakannya.
Rindi memandang Novan sembari bertumpu pada kedua tangannya yang berada di dagu, "Gimana? Keasinan atau malah kurang bumbu?"
"Om,"
"Ya sudah, mungkin tidak baik jika berbicara saat makan. Selamat menikmati," ucap Rindi yang tersenyum manis.
Novan memandangnya tak tega, tetapi ia masih betah dengan keterdiamannya. Setelah selesai sarapan, Novan bergegas pergi tanpa berpamitan pada Rindi. Rindi pun masih gencar untuk membujuk Novan agar tak marah lagi padanya.
Masalah bunga dan surat kemarin benar-benar membuat Novan murka, dari semalam hingga sekarang ia masih betah untuk mendiamkan Rindi. Sungguh situasi yang tak disukai Rindi, Novan yang dulu cerewet dengan segala gombalannya dan sekarang diam tanpa mau berbicara padanya. Akan tetapi, Rindi tetap berusaha, berjuang mati-matian agar bisa membuat suaminya ini memaafkannya dan mau berbicara lagi padanya, yang terpenting jangan menggombal, hal itu membuatnya selalu ingin muntah saja.
"Maaf...," lirih Rindi yang sudah berada di hadapan Novan sembari menundukkan kepalanya.
"Saya mohon jangan diam begini, Om! Kalau Om mau marah, silakan, tapi jangan diemin saya kayak gini. Sakit rasanya didiemin kayak gini, Om,"
"Bunga itu... sudah saya kasih ke tetangga dan surat itu...," Rindi menggigit bibir bawahnya, "surat itu kan sudah tak berbentuk lagi setelah Om yang hancurin itu sendiri, yaaa... kata-katanya bagus sih, tapi... ups," Rindi menutup mulutnya cepat-cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)
Fiction générale"Saya tidak akan memaksa, Dik. Cinta datang karena terbiasa, semoga saja kamu bisa merasakan apa yang saya rasakan sejak empat tahun dahulu hingga sekarang." . . . Sebuah kejadian tak terduga tengah dialami gadis yang kurang percaya akan cinta dan k...