Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, akan tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik!
Happy reading ☺️
.
.
.
.
.
.
.Lima bulan berlalu, usia kandungan Rindi kini menginjak tujuh bulan dan bertepatan dengan satu tahun pernikahannya dengan Novan. Novan pun semakin posesif dalam menjaga sang istri, bahkan tak jarang ia selalu uring-uringan entah apa sebabnya.
Kali ini seperti biasa, Novan berbaring di pangkuan Rindi sembari mengelus perut buncit sang istri, memanfaatkan waktu bersama kala libur kerja, sedangkan Gio sedang berada di rumah Umma.
Tak jarang pula Rindi menggelengkan kepalanya ketika Novan mulai berbicara dengan sang anak. Rindi sangat bersyukur karena memiliki suami yang sabar dan pengertian seperti Novan, akan tetapi ia juga kesal saat Novan mulai bertingkah menyebalkan.
"Kamu nggak ngidam, Dik? Biasanya Ibu hamil itu ngidamnya macam-macam lho, Mas siap kok kalau kamu minta sesuatu sama Mas," celetuk Novan.
Rindi menggeleng, "Aku nggak minta apa-apa, Mas."
"Kok gitu ya, padahal Mas sudah siap siaga nih kalau kamu minta macam-macam. Mas akan memberikan apa pun yang kamu mau, asal jangan minta Mas terjun dari Menara Eiffel!"
Rindi menepuk pelan mulut Novan, "Mana mungkin aku minta gitu, Mas ada-ada aja."
"Mungkin aja, kan?" balas Novan dengan entengnya.
Rindi mengelus perutnya, "Mungkin si Dedek nggak mau ngrepotin Ayahnya."
"Gitu ya?" tanya Novan memandang Rindi kemudian pandangannya teralih ke perut Rindi, "minta sesuatu dong, Sayang! Ayah ingin kamu repotkan lho. Ayo! Minta sesuatu!" paksa Novan seraya mengelus dan mencium perut Rindi berkali-kali.
Seolah mengerti sedang diajak berbicara oleh sang Ayah, bayi itu menendang cukup keras di dalam perut Rindi dan membuatnya mengadu kesakitan, "Shhh, aww!"
"Kamu pilih kasih, Sayang! Saat Bunda yang ajak bicara, reaksi kamu nggak seantusias ini, tapi kalau Ayah yang ajak bicara, kamu senang banget," protes Rindi kemudian tertawa pelan.
Novan tersenyum, "Namanya juga anak Ayah."
"Anak Bunda!" protes Rindi.
"Kan aku yang kerja keras," protes Novan tak terima.
"Heh! Aku juga ya, Mas," sela Rindi.
"Iya juga, ya?"
Kemudian keduanya tertawa bersama.
"Iya, Sayang? Kamu nggak mau ngrepotin Ayahmu ini ya?" tanya Novan. Ia gemas dengan perut buncit sang istri, ia elus, cium, dan berakhir dengan gigitan kecil yang membuat sang empu mengadu sakit.
"Bisa nggak sih, nggak usah digigit?" omel Rindi.
Novan terkekeh, "Nggak bisa, Dik! Habisnya ini gemas banget, Mas nggak tahan kalau nggak digigit."
Dret
Tiba-tiba ponsel Novan bergetar tanda ada telepon masuk.
"Ada telepon, Mas. Diangkat dulu!" pinta Rindi.
"Biarin aja!" balas Novan.
"Siapa tahu penting, lho! Diangkat dulu, Mas!"
"Iya, Sayang!" balas Novan lembut kemudian beranjak mengangkat telepon.
Dilihatnya nama sang Adik tertera pada layar handphonenya, segera ia mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum,"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)
General Fiction"Saya tidak akan memaksa, Dik. Cinta datang karena terbiasa, semoga saja kamu bisa merasakan apa yang saya rasakan sejak empat tahun dahulu hingga sekarang." . . . Sebuah kejadian tak terduga tengah dialami gadis yang kurang percaya akan cinta dan k...