Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik
Happy reading☺️
.
.
.
.
.
.
.Rindi mendengkus sebal, Novan mendekatinya dan melepas cadar yang dikenakan sang istri. Novan mendekatkan wajahnya namun dengan cepat ditahan oleh Rindi. "Jangan macam-macam!"
"Malam ini dingin, ba-,"
"Sepertinya kita butuh teh hangat untuk menemani waktu bersantai di malam hari," potong Rindi dan bergegas ke dapur. Novan yang melihatnya pun hanya terkekeh pelan.
Lima belas menit berlalu, Rindi datang dengan dua cangkir berisi teh hangat. "Diminum, Mas!"
Novan menoleh dan menghampiri sang istri, "Mas maunya....," ucap Novan menggantungkan kalimatnya.
"Apa?"
Novan tertawa dan menggeleng pelan, "Nggak jadi."
Rindi melangkahkan kakinya ke depan, ia sandarkan kedua tangannya pada kayu pembatas balkon dan memandangi langit malam yang tampaknya sedang bersahabat.
"Kamu suka langit malam?" tanya Novan yang ikut memandang ke langit.
Rindi menoleh sekilas dan mengangguk, "Apalagi dengan bulan purnama berhias ribuan bintang di sekelilingnya,"
"Kamu jangan jadi seperti bulan itu!" ucap Novan sembari menunjuk bulan dan kemudian berganti memandang Rindi lekat.
Rindi menoleh dan mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
"Karena keindahannya bisa dinikmati oleh semua orang dengan bebas dan karena keindahannya pula, menjadikan orang tidak menundukkan pandangannya."
"Lalu, aku harus jadi seperti apa?" Rindi berharap jika Novan mengeluarkan kata-kata yang sudah terpikirkan oleh otak Rindi. Kata-kata yang biasa orang sampaikan dengan menggunakan perumpamaan.
"Jadi manusia lah, ya kali jadi apa." balas Novan cepat dengan menampakkan wajah tanpa dosanya.
Seketika senyuman Rindi pudar dan tergantikan dengan tatapan kesal. "Ishh! Nggak romantis!" cibir Rindi.
"Kirain mau bilang 'Jadilah seperti matahari yang membuat orang tertunduk karena tak berani menatapnya langsung dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati keindahannya'." lanjut Rindi.
"Istriku ternyata pandai menggunakan perumpamaan," puji Novan.
"Astaghfirullah, bener-bener nggak romantis!" cibir Rindi seraya menghentak-hentakkan kakinya.
Novan melepas jaketnya kemudian mengenakannya ke tubuh Rindi. "Udara malam nggak baik buat istri cantik nan lembutnya Mas."
Rindi mengerjabkan matanya berulang kali. Seketika pipinya terasa panas, jantungnya pun sudah dugem.
"Cie baper," ejek Novan yang menoel hidung Rindi.
"Bodo amat!" ketus Rindi seraya memalingkan wajahnya guna menyembunyikan rona merah di pipi.
Novan merangkul pinggang Rindi dari samping. "Jangan ketus gitu dong sama suami!"
"Sayang....," lirih Novan dengan deep voice miliknya yang baru ia keluarkan sekarang.
Mendengar hal itu membuat bulu kuduk Rindi berdiri, ia segera berlari menjauh dari Novan. "IBUKKK.... TAKUT!" pekik Rindi.
Dug
"Awww....," ringis Rindi kala jari kelingking kakinya menghantam pinggiran kursi.
Rindi terduduk dan memegangi jari kelingking kakinya. Novan yang masih bisa melihat aksi Rindi pun segera berlari menghampiri sang istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)
Ficción General"Saya tidak akan memaksa, Dik. Cinta datang karena terbiasa, semoga saja kamu bisa merasakan apa yang saya rasakan sejak empat tahun dahulu hingga sekarang." . . . Sebuah kejadian tak terduga tengah dialami gadis yang kurang percaya akan cinta dan k...