Musibah

667 48 8
                                    

Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, akan tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik

Happy reading☺️
.
.
.
.
.
.
.

Deg

"Kenapa tiba-tiba perasaanku nggak enak ya?" gumam Rindi.

Gio mendekat dan menarik-narik ujung khimar Rindi, "Bunda.... Bunda...., Gio ngantuk,"

Hoam

"A-apa, Sayang?" sahut Rindi.

"Gio ngantuk, ayo tidur!"

"Iya, ayo!"

Setelah menidurkan Gio, Rindi beranjak dari kamar menuju ruang tengah. Ia mondar-mandir sembari terus melirik jam dinding. Hatinya sudah tak karuan, ia cemas memikirkan Novan yang belum juga pulang lantaran jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas dini hari. Ia memijit pelipisnya seraya beristighfar terus menerus.

"Kenapa Mas Novan belum pulang juga sih? Udah jam dua belas lho," ucap Rindi yang masih terus mondar-mandir di ruang tengah.

Tak lama kemudian, pintu terketuk pelan. Rindi segera menghampiri, tetapi sebelum membukanya, ia memastikan bahwa yang mengetuk pintu bukanlah orang jahat atau sejenisnya. Setelah melihat siapa orang di balik pintu, Rindi segera membukakan pintu dengan tak sabaran.

"Ma-,"

"ASTAGHFIRULLAH, MAS!" pekik Rindi dan Novan tersenyum kaku.

Wajah Novan hampir penuh dengan luka. Darah terus merembes dari wajahnya, terlebih pada bagian pelipis dan sudut bibirnya. Baju yang semula berwarna putih, sekarang sudah berhias merah darah, pada bagian lengan atas sudah terkoyak cukup lebar, belum lagi sarung yang ia kenakan juga terkoyak.

"Mas kenapa? Kok bisa kayak gini? Siapa yang ngelakuin ini sama Mas?" Rindi melontarkan pertanyaan yang bertubi-tubi kepada Novan.

"Jawab, Mas! Kenapa diam aja?" Rindi sudah meringis kesakitan melihat kondisi Novan.

"Mas....," lirih Rindi.

Novan tersenyum seraya menangkup kedua pipi sang istri, "Gimana Mas mau bicara kalau kamu terus memberikan pertanyaan kepada Mas daritadi?"

"Mas habis kena musibah, Dik," tutur Novan membuat Rindi membulatkan mata. "tapi, alhamdulillah Mas nggak papa." lanjut Novan.

"Nggak papa gimana? Luka di mana-mana, baju robek, sarung robek, belum juga ini....," Rindi meraih tangan Novan dengan luka gores yang cukup parah. "kita pergi ke dokter ya!"

Novan menggeleng kemudian menarik Rindi untuk masuk ke dalam rumah. "Nggak perlu."

"Mas...., luka Mas itu parah lho," protes Rindi.

"Dokternya kan udah ada," balas Novan.

"Di mana?" tanya Rindi yang celingukan mencari seseorang.

"Di depan Mas. Wajahnya cantik, tetapi dia sedang panik sekarang," jawab Novan seraya tersenyum.

Rindi reflek memukul lengan Novan membuat sang empu meringis kesakitan. "Aww....,"

"Ma-maaf. Mas sih, bercanda mulu!" tegur Rindi. "aku ambilin obat dulu, Mas."

Rindi kembali dengan membawa kotak obat, kemudian ia mulai membersihkan dan mengobati Novan dengan telaten. Dari awal membersihkan sisa-sisa darah dan kotoran di beberapa bagian tubuh Novan, Rindi selalu meringis kesakitan, seolah dialah yang terluka dan mulutnya juga terus memberikan kata-kata mutiara kepada Novan dan membuat laki-laki itu mengulum senyumnya.

"Kenapa setiap Mas terluka, tapi kamu yang ngerasain sakitnya?" tanya Novan yang masih tersenyum.

Rindi mendongak, "Mas diam dulu, biar aku obatin ini!"

"Shh...., aduh!" Rindi terus meringis saat mengobati luka Novan, sesekali ia meniupnya. "kok bisa gini sih, Mas?"

"Namanya musibah, nggak ada yang tahu, Dik,"

"Mas tadi kecelakaan,"

"Hah! Kok bisa? Mas ngebut ya?" tuduh Rindi.

Novan tertawa, "Nggak."

"Terus?"

Novan mengendikkan bahu, "Tadi ada motor yang menyerempet Mas, lalu motor Mas oleng dan langsung banting setir ke kiri. Mas sempat lihat nomor platnya, kayaknya nggak asing. Sudahlah, yang terpenting Mas selamat, alhamdulilah. Atas izin Allah, Mas selamat dan sekarang bisa bertemu dokter cantik ini."

Rindi menampilkan ekspresi datar. "Tidur di luar gih!"

"Jangan gitu dong, Sayang! Kamu tega Mas kedinginan di luar? Ini sakit semua lho, tapi ada yang lebih sakit. Aduh!" jelas Novan mendramatisir keadaan.

Rindi pun panik, "Mana? Mana yang sakit?"

Novan langsung merebahkan tubuhnya ke pangkuan Rindi. "Yang ini," ucapnya sembari menunjuk pipinya yang terdapat luka gores. "karena belum dicium Ayang."

Rindi menekan pipi Novan geram, "Hih!"

"Aduh! Sakit, Dik," adu Novan.

"Badan udah luka di mana-mana, masih sempat-sempatnya ngomong gitu!"

"Sakitnya nggak seberapa, masih lebih sakit kal-,"

"Stop, Mas! Nggak perlu dilanjutkan!" potong Rindi. "sekarang, Mas istirahat!"

"Temenin!" rengek Novan.

"Astaghfirullah! Kenapa suami hamba jadi seperti ini?" keluh Rindi sembari memejamkan mata.

🦭🦭🦭

"Lho, pipi Teteh kenapa?"

Nanda menampilkan ekspresi sedihnya, "Dicakar sama Tetehmu."

Vita terkejut, "Teteh? Teh Rindi maksudnya?"

"Siapa lagi?" balas Nanda cepat.

"Astaghfirullah,"

"Tapi yang Vita tahu, Teh Rindi itu orangnya kalem banget. Dia nggak pernah main tangan ke siapa pun, Teh. Bahkan, Vita sering memaki dia, tapi dia nggak pernah tuh main tangan ke Vita,"

"Kamu nuduh kalau Teteh bohong?" tuding Nanda.

Vita menggeleng cepat, "Eh, bukan gitu, Teh."

"Tapi...., nggak mungkin deh kalau Teh Rindi begitu, dia juga orang yang selalu menjaga kebersihan. Rasanya nggak mungkin kalau Teh Rindi punya kuku panjang, apalagi sampai ia gunakan untuk melukai orang lain."

"Oh, kamu benar meragukan Tetehmu ya, Vita? Lebih baik Teteh pul-,"

"Eh, jangan dong, Teh!" potong Vita yang menarik lengan Nanda agar kembali duduk.

"Daritadi kamu bela Rindi terus, bukankah kamu benci sama dia? Lalu, di mana Vita yang selalu dukung Teh Nandanya ini agar segera jadi kakak iparnya?" sindir Nanda.

"Iya, Teh, maaf. Jadi, Teteh maunya gimana?" balas Vita.

"Bantuin Teteh merusak rumah tangga mereka!"

"Caranya?" tanya Vita, kemudian Nanda membisikkan sesuatu padanya.

"Nggak mau, Teh. Itu terlalu berbahaya," tolak Vita cepat.

"Lemah sekali kamu, Vita. Gitu doang nggak berani?"

"Yang benar aja, Teh! Itu dosa, Vita nggak mau."

Nanda bangkit dari duduknya, kemudian menarik dagu Vita, "Ini permainan, Sayang. Siapa yang berani mengambil tindakan cepat dan berisiko, maka dialah yang pantas memenangkannya."

Setelah itu, Nanda pergi meninggalkan Vita yang memandangnya dengan tatapan aneh.

"Kenapa dia nekat sekali?" gumam Vita.







Pusing banget, perasaan cerita ini terlalu bertele-tele kan ya alurnya?

Tau deh, pusing banget

/Ambil napas, buang dengan kasar

Sampai jumpa di part selanjutnya 💙

DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang