39. Tentang yang lain

5 2 0
                                    


Pagi ini, hari pertama di semester baru. Aku berangkat sekolah bersama Jevan, dengan motornya yang setelah dua minggu lamanya akhirnya dikembalikan.

Orangtuanya juga sempat berpesan,
jika anak itu berani macam-macam lagi aku harus segera melaporkan pada mereka.

Aku mengiyakan.
Meskipun yakin kalau Jevan tidak akan mengulangi kelalahan yang sama.

Terlepas dari itu, aku juga baru menyadari kenapa aduanku waktu itu membuat KCCK sangat marah.
Karena kesannya diriku tidak memihak pada mereka.

Mereka menganggap aku mengambil keputusan tanpa berpikir panjang.
Tapi bukankah memang itu yang terbaik?

Ah, sudahlah lupakan saja. Toh, sekarang juga mereka sudah kembali seperti semula.

Semuanya sudah kembali aman terkendali.

"HAHAHA.. jadi kamu beneran minta anterin bang Ajep? Kok dia mau sih?" tanya Jevan setelah aku menceritakan kenapa aku bisa sampai di area balap malam itu.

"Ya mau lah. Kamu lupa Chan pernah bilang apa?"

"Apa?" tanyanya sedikit melambatkan laju motor.

"Katanya Bang Ajep itu suka aku tauu.."

Jevan malah tergelak. "Bohong ah."

"Ya udah kalo nggak percaya. Oh iya Jel, soal aplikasi itu aku minta maaf ya, nggak sopan banget emang sih. Tapi ya mau gimana lagi.."

"Sebenarnya aku udah tau, Al."

"Tau apa?"

"Tau kalo kamu instal aplikasi itu di hp aku. Solanya aneh aja, kamu kan sebelumnya nggak pernah pinjem hp orang lain.."

"Serius?? Kok kamu diem aja?"

Jevan tersenyum. "Biar kamu tau aku nggak punya temen yang lain, selain kamu."

Aku memukul bahunya bercanda. Seperti biasanya Jevan terkekeh, lalu melajukan motornya lebih cepat.

Sesaat kemudian aku tertegun.
Mengapa kalimatnya bisa hampir serupa dengan ucapan Chaca waktu itu ya? Haha hanya kebetulan.

"Al!" panggil Jevan ketika kakiku baru saja akan melangkah memasuki kelasku.

"Hm?" Aku kembali menoleh.

"Kata mama kamu, kamu mau masuk kedokteran. Bener?"

Aku terdiam.
Lalu mengangkat bahu dengan wajah manyun. Percuma saja menolak, orangtuaku sudah bersikeras.

"Kok gitu ekspresinya?" Ia terkekeh.

"Tauk. Kalo kamu?" Aku bertanya balik.

"Manajemen."

"Kok linjur?" Linjur yang kumaksud itu lintas jurusan, cotohnya anak jurusan ipa yang ngambil jurusan di rumpun anak ips.

"Disuruh Papa," jawabnya gantian manyun.

Aku tergelak.

Jujur sebelumnya aku dan Jevan memang tidak pernah membahas mengenai masa depan atau akan kuliah di jurusan apa nantinya. Kami lebih memilih menikmati yang sekarang dulu saja, alih-alih pusing duluan.

Namun, sepertinya kini masa itu telah berakhir. Awal kehidupan yang sebenarnya akan segera dimulai.

"Tapi kamu bakal ambil univ di kota ini kan, Jel? Nggak di luar kayak kak Jenie?" tanyaku kemudian, rada was-was.

Cowok itu tersenyum lantas mengangguk. "Kamu juga kan?"

Aku mengangguk. Tentu saja.

"Weisstt ditungguin taunya udah nyampe duluan!" Chan tiba-tiba datang merangkul bahu Jevan.

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang