14. Renggang

10 4 0
                                    


Aku paling benci pelajaran olahraga praktek, apalagi di jam terakhir.
Sudah gerah, lelah, pusing pula.

Rasanya energi terkuras habis,
emosi pun sudah sampai diubun-ubun. Jadilah mode senggol bacok.

"Cuma sebentar, sayang. Ya?" Bujuk ibuku saat mobil kami belum lama meninggalkan gerbang sekolah.

"Ala mau pulang, bu. Ala capekk.."

"Nggak sampai sepuluh menit, ibu janji."

"IBUU."

Aku meringis menekan perutku yang terasa sangat nyeri sejak jam pelajaran terakhir tadi. Inginnya segera sampai di rumah untuk beristirahat, namun ibu malah mengajakku singgah ke rumah temannya dahulu.

Katanya sebentar, tapi mana mungkinnn. Ibu-ibu kalau sedang mengobrol kan tahu sendiri.
Ditinggal menonton sepuluh judul ftv juga belum selesai-selesai.

"Kamu kenapa? Laper?"

Aku menggeleng.

Mungkin karena kasihan melihat wajahku yang sudah tidak mood, ibu akhirnya mengalah dan memilih pulang ke rumah saja.

Akhirnya.

Tiba di halaman rumah tercinta,
aku tiba-tiba panik karena nyaris melupakan sesuatu,
"Ibu! Ini hari apa?"

Mesin mobil mati. "Sabtu, ken—"

"Astaga! Bu, Ala ke rumah Rendra dulu!"

"EH SAYANG—"

Maaf ibu, tapi ini darurat.

Masih dengan pakaian olahraga lengkap serta sepatu hitam, aku melesat cepat menuju rumah Rendra.

Semoga belum berangkat, semoga belum berangkat. Tiga kata itu terus ku ucapkan dalam hati.

Rendra bilang sepulang sekolah hari ini ia akan ke rumah nenek kakeknya, tinggal di sana sampai waktu yang belum diperkirakan. Mungkin selamanya karena rumahnya di sini akan dijual.

Jujur aku masih berharap semua ini hanyalah mimpi.

Napasku memburu saat berhenti di depan rumah Rendra, seorang pria tampak mengemasi beberapa tas besar ke bagasi mobil.

Kakek Rendra mengangkat sepeda milik temanku itu untuk ikut dibawa ke mobil.

Di sana, kutemukan Rendra dengan ransel merahnya juga memegang boneka alien jelek tengah berbicara dengan KCCK. Kakinya sudah lumayan sembuh.

Wajah Rendra tampak mulai sebal karena Chandra terus menarik-narik lengannya meminta agar tidak jadi pergi.

"Ren."

"Al?"

Keempat anak laki-laki itu menoleh padaku.

"Ali liatttt! Mau berantem sama siapa ntar kalo Rendra pindah," adu Chandra dengan bibir mengerucut.

Aku terkekeh. Tidak tahu harus merespon seperti apa.

"Al titip tiga makhluk itu ya. Kalau ada yang nakal, pukul aja kepalanya." Rendra tertawa, padahal matanya sudah berkaca-kaca.

"Chandra, rajin-rajin ngerjain pr lo, jangan cingcong aja dibanyakin. Jevan, titip salam buat Gembel, jangan kangen. Jerry, kamu mah terbaik pokoknya.."

"Ren, kok jadi kayak kesan pesan mau meningg—"

Kami semua menatap Chandra.

"Mening—ser maksudnya.."

"Apaan dah meningser, gaje emang lo Chan!" semprot Rendra.

"Ren, kalau memang ada kemungkinan. Kamu balik tinggal di rumah ini lagi ya.."

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang