29. Sebab Akibat

9 2 0
                                    


Dulu, sewaktu SMP aku pernah diganggu oleh anak laki-laki dari kelas sebelah dan itu amat menjengkelkan, ia terus-terusan mengikutiku, menarik rambutku, memasukan kecoa mainan ke tas ku.

Guru-guru bahkan sudah lelah memperingatkannya.

Sampai akhirnya aku mengadu pada KCCK, aku katakan segalanya pada mereka. Tepat di hari berikutnya, teman-temanku mendatangi anak itu.

Mereka mengatakan sesuatu padanya—entah apa. Kemudian anak itu tak pernah menganggu diriku lagi, sampai detik ini.

Satu hal yang aku pahami hari itu, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan otot. Tak peduli kamu seorang cowok, bahkan ahli bela diri sekalipun.

Jevan merupakan orang dengan emosi yang stabil. Ia jarang marah kecuali hal yang benar-benar tidak bisa di tolensir. Namun, hari ini kami semua kembali melihat kemarahannya.

Situasi bangku panjang depan ruang BK itu hening sejak ibunya Jevan dan ibu kak Gama masuk ke ruangan tersebut. Chan, Jerry dan Rendra berdiri di sana dengan wajah kaku.

Entah apa yang mereka pikirnya, ketiganya tidak banyak bicara sejak kejadian tadi.

Aku masih membersihkan luka di wajah Jevan dengan antiseptik dari UKS. Sumpah, rasanya ikut ngilu melihatnya begini.

"Aw!"

"Eh sori sori," kataku melihat cowok itu berulang kali meringis.

Tak lama, Chaca—cewek pemicu kekacauan ini keluar dari ruangan dengan mata sembab. Ia melirik aku dan Jevan sekilas, sebelum akhirnya melenggang cepat.

Aku menatap bingung. Lalu beralih pada Jevan, ku kira anak ini akan mengejar seperti di film film.

"Ala, kalo mau marah, marah aja. Jangan ditahan."

"Eh?" Aku terkekeh hambar, menjauhkan kapas dari wajahnya. "Kalo aku marahnya ke Caca boleh?"

Jevan menatapku lama.

"Aku nggak marah kamu pukul kak Gama, justru aku seneng karena dia emang brengsek. Aku marah kalo karena itu kamu jadi kayak gini. Berapa lama kamu kenal Chaca, Jel? Seberpengaruh itu dia sampe kamu rela ngorbanin perasaan ibu kamu buat datang ke sini?"

"Ala—"

"Jel, aku udah belajar banyak dari kamu. Aku kenal kamu."

"Ala, kamu salah paham. Ini bukan sekedar membela satu orang, tapi semuanya. Kita nggak bisa biarin orang kayak dia tetap bertindak seenaknya di sekolah ini, kamu juga perempuan."

"Tapi apa kamu pernah mikirin perasaan kita? Dengan liat kamu kayak gini, apa gunanya, Jel."

Jevan mengacak rambutnya frustasi, sementara ketiga cowok yang masih menyimak itu hanya menghela napas.

"Nggak apapa, Van. Gue paham. Lu udah bener kok, cuma timing nya aja kurang pas," ucap Chan akhirnya.

"Gue denger-denger juga udah banyak orang yang gedeg sama kelakuan si Gama itu," tambah Rendra.

Baiklah, aku anggap ini adalah balasan untuk apa yang terjadi pada Rena waktu itu.

Lagipula sudah terjadi.
Mau gimana lagi?

Dengan hati-hati kutempelkan plester ke jari-jari Jevan yang memerah terluka, "Semoga sakitnya cepat ilang," ucapku mengusap permukaan plester dua kali.

Jevan tersenyum tipis,
"Makasih ya, Al."

Aku mengangguk.
Bukankah yang seharusnya melakukan ini orang yang kamu suka, Jel?

Haha. Atau jangan bilang kamu bertepuk sebelah tangan?

Brak!

"Terserah Mama!"

"GAMA!"

Cowok dengan pipi membengkak akibat bogem Jevan itu melangkah melewati kami, sekilas matanya menatap tajam ke arah Jevan.

Di belakangnya, ibunya terus mengikuti anak itu sembari tak hentinya memanggil meminta agar putranya mau mendengarkan.

"Jevan."

Aku dan Jevan refleks bangkit menemukan ibunya telah berdiri di sana. Wajah tante Dinata jelas tampak lelah dan pusing.

Di sentuhnya dagu Jevan menelisik seberapa parah luka di wajah anaknya itu, "Siapa yang ngajarin kamu berantem?"

"Ma—"

"SIAPA YANG NGAJARIN KAMU BERANTEM MAMA TANYA JEVAN?!"

Jevan bungkam.

"Mama nggak terima alasan apapun, sama sekali enggak. Mama akan bela kamu sayang kalau kamu memang benar, tapi ini nyatanya apa? Kamu yang nyerang duluan."

"Mama nggak paham."

"Bagian mana yang mama nggak paham?"

Aku menatap Jevan. Cepat minta maaf, Jel. Harusnya cowok itu minta maaf pada ibunya, katakan kalau ia menyesal.

"Jevan nggak menyesal, Ma. Dia emang pantes dapetin itu!"

Kami terbelalak.

Tante Dinata menggelengkan kepala tak habis pikir, "Nggak menyesal kamu bilang? Ohh. Jevan, asal kamu tau nama mu dicoret dari daftar peserta olimpiade sains yang hanya tinggal minggu depan! Udah senang kamu? Apa itu yang kamu mau, nak?"

A-apa? Dicoret?

Kulihat Jevan seketika tertegun. Enggak, nama Jejel nggak boleh dicoret. Dia udah belajar keras selama dua bulan belakangan, Jevan harus tetap ikut olimpiade itu.

Kenapa sekolah seakan seenaknya saja sih mengambil keputusan sebesar ini?!

"Nggak akan ada yang mau nak, bawa murid dengan muka babak belur kayak gini—" Ibu Jevan menarik napas panjang, kecewa sekali pastinya. "Pusing Mama!"

"Tunggu, tante! Jel, kok kamu nggak minta maaf? Ayo minta maaf," desakku menatap punggung ibu Jevan sebelum terlalu jauh.

Alih-alih melakukannya cowok itu justru kembali duduk, mengacak rambutnya frustasi.

"Apa-apaan main asal corat coret!" Chan berkacak tak terima. "Gue mau protes—"

"CHAN! CHAN tunggu dulu!" Rendra buru-buru menghalangi. "Lo jangan ikutan emosi, pikir pake kepala dingin!"

"Kepala dingin apa lagi, Ren? Mau diem aja lo temen lu diginiin?"

"Jangan sembarangan protes. Diterima kagak memperburuk keadaan iya! Sekolah juga punya alasan Chan, lo denger sendiri kan tadi? Di sini itu posisinya emang kita yang salah."

"Halah nggak jelas!"

"Rendra bener, Chan. Kalau masalah protes pasti tante Dinata udah lebih dulu ngelakuin itu tadi, nggak mungkin langsung terima-terima aja kan? Tapi nyatanya itu keputusan mutlak," kata Jerry membuat Chan akhirnya diam.

Nasi sudah menjadi bubur. Akan selalu ada resiko dalam setiap tindakan. Dan seperti yang pernah aku katakan, semuanya sudah terlanjur terjadi. Mau gimana lagi?

Aku ikut terduduk sambil menghela napas panjang.

Apa remaja lain juga mengalami hal serumit ini? Dihadapkan dengan masalah-masalah yang mengganggu pikiran? Kurasa iya.

Disaat-saat begini rasanya aku ingin kembali menjadi anak-anak saja, main kejar-kejaran bersama Jevan sambil menikmati es kiko yang dibagi menjadi dua.

Bahkan tidak apa jika harus jatuh tersungkur, kemudian ditertawakan KCCK yang giginya ompong-ompong.

Sayangnya hari semacam itu sepertinya tidak akan lagi datang.

Aku kembali ditarik oleh kenyataan, karena inilah kehidupan yang kami jalani sekarang.

Baiklah, mari sudahi. Mungkin perasaan gundah ini akan cepat mereda kalau seandainya aku bisa mendekap Jevan.

Karena bohong kalau Jejel mengatakan dirinya baik-baik saja.

Tbc..

Next?

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang