30. Kejelasan hati

7 2 0
                                    


Aku masih fokus mewarnai peta Indonesia ketika pintu kamar tiba-tiba diketuk. Hm, tidak biasanya ibuku ke sini setelah makan malam.

Pintu terbuka. Ternyata bukan ibuku yang berdiri di sana.

"Loh. Chika?" Anak perempuan dengan baju bergambar bunga matahari itu melangkah masuk.

"Kata tante langsung ke kamar kak Ala aja," jelasnya sambil melirik ke arah gambar yang sedang aku kerjakan. "Wahh cantik kak.."

"Iya dong.." Aku terkekeh. "Kamu mau pinjam sesuatu lagi?"

"Hehe.. tau aja kak. Chika mau pinjam kamus bahasa Inggris, boleh? Kamus Chika masuk ke sayur sop nya bunda gara-gara abang."

Sontak aku tergelak. Membuka laci di meja belajar. "Kok bisa sih?"

"Bang Chan tuh, bercandanya keterlaluan! Kemaren aja abis dimarahin bunda lagi karena ninggalin si adek di minimarket, kelupaan katanya."

"HAHA nihh. Bilang sama abang, yang ini punya kak Ala kalo rusak harus ganti rugi." Aku terkekeh.

"Siapp bos!!"

Klinging klinginngg

Perhatian adik Chan itu mengarah pada lonceng angin yang aku gantung di pintu menuju balkon. Ia mendekat menatap benda itu penuh ketertarikan.

"Kak ini bunyi setiap kena angin?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya. Itu hadiah ulang tahun dari Jerry."

"Bang Jerry? Wah nanti Chika mau deh minta kado kayak gini juga. Soalnya.." Chika terus bicara namun aku tak lagi mendengarkan.

Menyebut nama Jerry aku jadi teringat akan sesuatu. Pernyataannya dalam game waktu perkemahan, kalau benar orang yang Jerry maksud itu adalah diriku.  Kira-kira hal apa yang ingin ia sampaikan sejak empat tahun lalu?

Haruskah aku bertanya? Tapi kalau ternyata bukan diriku bagaimana?

"Bang Jevan!"

"Eh?" Aku tersentak baru menyadari Chika sudah tak lagi di tempatnya, dia berada di balkon.

Aku ikut keluar. Menemukan cowok dengan celana pendek dan hoodie abu-abu itu duduk di jendela besar kamarnya sambil memangku gitar.

Luka di wajahnya sudah mulai membaik.

"Cie bang Jevan galau," goda Chika melipat tangannya di pembatas balkon.

Genjrengan Jevan terhenti.
"Loh Chik? Tinggal bareng Ala sekarang, Chik?"

"Maunya. Bang! Gembel buat Chika aja ya.."

Aku menarik kedua sudut bibir,
anak ini masih saja mengincar kucing Jevan.

"Mending sekarang pulang, Chik. Udah malam, nanti abangmu ngamuk ribet urusannya."

"Yeu diusir." Anak itu cemberut.

"Bukan gitu, Chik. Tapi serius ini mah, Chik."

"Iya deh, iya.." Chika beralih menatapku. "Pamit ya kak, nanti kamusnya Chika balikin kalau udah selesai."

"Oke, santai aja Chika."

"Dahh bang Van!" Chika melambaikan tangan singkat sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Ketika aku membalikkan badan Jevan sudah melompat ke luar jendelanya, menginjak tembok pembatas, lantas melompat ke balkon kamarku.

"Jel, nanti jatuh!" tegurku untuk yang ke seratus kali.

Namun sesering itu juga ia hanya terkekeh, duduk di ujung balkon bersandar pada dinding.

Jrengg

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang