12. Teman-temanku

7 3 0
                                    


Sejak enam bulan terakhir,
anak-anak komplek kami punya kegiatan baru setiap sorenya.
Ah bukan, tidak bisa disebut baru juga sih, ralat kegiatan yang bermanfaat, mempererat sosialisasi dan menambah amal lebih tepatnya.
Yaitu mengaji.

Tempatnya tidak jauh-jauh kok,
di mushola komplek yang posisinya
di tengah—pada blok ketiga tak jauh dari rumah pak RT.

Sebagian besar anak komplek yang dulunya sudah mengaji di mesjid dekat jalan raya, kini setelah selesai direnovasi diminta pindah ke mushola semua.

Alhasil mushola itulah jadi tempat pemersatu kubu blok belakang dan kubu blok depan yang mau tak mau harus akur. Sudah seperti perang dunia saja lama-lama.

Namun meski begitu, sampai saat ini kadang-kadang masih kutemukan tatapan penuh permusuhan di mata mereka. Padahal sepengamatanku, geng blok depan yang dibenci KCCK itu sebenarnya jumlahnya kurang dari tujuh orang.

Iya, sisanya tim netral saja—seperti diriku. Kami tetap bersama, tidak ada kata musuh-musuhan, semua adalah teman.

Bukankah lebih menyenangkan kalau punya banyak teman? Kuharap KCCK dan anak-anak blok depan itu setuju.

Oh iya, sore ini aku dan beberapa anak perempuan yang sudah datang mulai bersih-bersih mushola. Menyapu, membersihkan jendela, mengutip sampah. Sudah menjadi kewajiban.

Rajin memang, berbeda dengan anak laki-laki yang malah sibuk bermain laga gangsing di halaman mushola. Tidak perlu repot-repot berteriak meminta bantuan mereka, hanya akan membuang tenaga karena tak akan ada yang mendengarkan.

Hm.. sejauh ini aku baik-baik saja mulai berteman dengan anak-anak komplek yang sebelumnya belum terlalu kukenal, bahkan beberapa anak perempuan pun sudah mulai dekat denganku.

Tidak ada masalah besar, semua berjalan normal. Sampai yang terjadi sore ini...

"Tadi siapa yang nyapu bagian sini? Masih kotor nih.."

"Ala tuh, aku bagian sana kok."

Mendengar nama 'Ala' disebut-sebut, kepalaku memutar beralih dari sendal yang selesai kususun rapi.
"Eh kenapa?"

"Masih kotor nih, Al."

"Di mana?"

"Di sini, nih liat deh!"

Aku mengernyit, perasaan tadi sudah bersih. Kuhampiri tempat yang disebut masih kotor tersebut, dan benar saja entah darimana datangnya bungkus permen yang banyak itu.

Kejadian ini terulang lagi.

"Kata mamaku anak perempuan itu kalau nyapu harus bersih loh, Al. Kalau nggak nanti suaminya brewokan, mau?"

"Tadi di sini udah bersih kok. Kenapa bisa ada sampah lagi?" Alih-alih menyapu ulang seperti hari-hari lalu, kali ini aku melayangkan pertanyaan.

Sela—anak perempuan lebih tinggi dariku itu mengangkat bahu dengan ekspresi tak mengenakan. Sela ini satu-satunya anak perempuan yang tidak pernah mengajakku bicara selama kami mengaji di tempat yang sama.

Sebelumnya aku tidak pernah ambil pusing sih.

"Udah bersihin lagi, Al. Liat tuh yang lain aja udah pada selesai. Ayo.." sahut Lika—teman akrab Sela—yang tadinya juga dapat tugas menyapu sepertiku.

"Setuju!" Kedua anak perempuan seusiaku itu saling menatap lantas melipat bibir seperti menahan gelak.
Ada yang lucu kah?

"Ayo!"

"Gimana kalau kamu aja yang bersihin!" Aku mengulurkan sapu pada Sela.

"Kok aku?!"

"Ya nggak apa-apa, kan kamu yang buat jadi kotor lagi."

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang