2. Teman-teman baru

28 6 0
                                    


Baiklah. Ini hari ke tiga aku menunggu anak itu datang, iya anak laki-laki alergi kucing itu. Dia bilang akan menemuiku lagi kan? Namun mengapa sepertinya masih belum ada tanda-tanda kedatangannya.

Sejujurnya aku tidak begitu peduli mengenai tongkat peri ku yang patah itu—yang katanya ingin ia perbaiki, aku masih punya dua lagi kok.

Aku menunggunya karena ingin bertemu dengannya lagi, dan bertanya siapa namanya, dan mengajaknya bermain.

Meskipun aku masih bingung harus mengajaknya bermain apa, masalahnya anak laki-laki itu biasanya tidak suka boneka atau masak-masakan.
Mereka lebih suka robot, padahal robot kan jelek.

"Ala," panggil ibuku membuat pandanganku seketika beralih dari jendela kamar.

"Ibu boleh minta tolong sayang?"

Aku mengangguk.

"Tolong bawakan ini untuk tetangga sebelah ya, kalau yang di depan udah ibu kasih semua.."

"Ini apa, Bu?" tanyaku sembari bangkit mengambil alih bungkusan dari tangan ibuku.

"Bolu buatan ibu, udah sana gih.."

Masih dengan bando putih favorit di kepala, aku melangkah keluar rumah sembari memajukan bibir.
Bukan sebal karena dimintai tolong, tapi aku sebal karena kembali memikirkan anak laki-laki yang tidak menepati janjinya.

Kalau kami bertemu kembali,
aku berjanji akan mencubit kuat lengannya. Ingatkan ya kalau aku lupa.

Mataku melirik selokan tempat kami bertemu tiga hari lalu, tidak ada. Jalanan tampak sunyi, rumah ku ada di blok komplek paling ujung, banyak rumah yang tidak ditempati.

Sayang sekali, di blok ini sepertinya tidak banyak anak-anak. Orang tuaku juga melarangku untuk bermain ke blok depan yang ramai, kalau begini sih sama saja tidak seru.

Tok tok

"Assalamualaikum, om, tante.."

Tidak ada jawaban dari rumah yang letaknya bersisian tepat dengan rumah ku.

Mataku melirik ke sekitar.

Tok tok

"ASSALAMUALAIKUM, TANTEEE!! ADA TAMU NIH, TANTEE!"

Oh ada bel!
Aku mencoba menekan tombol dekat pintu itu, berjinjit, namun sayang sekali, tidak sampai.

Kucoba mencari sesuatu untuk pijakan, semacam benda yang dapat membuatku menjadi lebih tinggi,
tapi nihil.

Hanya ada sebuah sapu di sana,
mau tak mau aku pun mengambilnya. Mencoba menekan bel dengan gagang sapu, sementara tanganku yang lain masih memegang makanan yang ku bawa.

Kenapa sulit sekali.

Ah sedikit lagi!

"Kamu siapa? Kamu ngapain?"

Aku menoleh kaget.
Seorang anak laki-laki lainnya berdiri di sana. Tubuhnya kurus namun lebih tinggi dariku, wajahnya seperti anak penurut, ya tampak seperti anak baik.

"Mencet bel," jawabku jujur.

"Emang ini rumah kamu?"

"Ya bukan."

"Trus ini rumah siapa?" tanyanya balik.

"Mana aku tau."

"Jangan-jangan kamu.." Dia menatapku curiga dari atas sampai bawah.

Seolah tau arah pemikirannya,
buru-buru aku menggeleng,
"Bukan, bukan, aku bukan mal—"

"Kamu pacarnya Jevan kan, CIEE.."

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang