36. Ada sesuatu

11 3 0
                                    


Selesai Ujian Akhir Sekolah rasanya lega luar biasaaaa, padahal belum tahu juga hasilnya akan bagaimana. Kuharap sih bagus, tentu saja. Aku kan sudah kelas 12. Lagipula repot kalau harus remedial.

KCCK juga. Ah kalau mereka sih anak-anak pintar, yang sebenarnya perlu dikhawatirkan adalah diriku sendiri.

Sudahlah, mari lupakan saja.

"Al, Al lo inget kak Devan kan? Kakel kita dulu?" tanya Thia ketika kami berjalan beriringan menuju lapangan basket.

"Inget lah."

"Kemaren gue ketemu dia sama pacarnya loh. Cantik juga ternyata, tapi masih cantikan lo sih—"

"Tuh kan, jangan kebiasaan banding-bandingin orang deh. Nggak baik tauu..."

"Iya deh, sori sori.." Kami berdua menduduki bangku di tribun barisan terdepan. Pertandingan belum dimulai, namun murid-murid sudah tampak memenuhi sekitaran lapangan.

"Lagian lo kenapa sih dulu nggak mau sama kak Devan?" tanya Thia lagi.

"Gue suka sama orang lain," jawabku asal.

"Beneran? Siapa??" Matanya membulat.

"Chan."

"Hah?" Thia syok membuatku seketika tergelak melihat ekspresinya.

"ADUH!" Ia memukul bahuku.

"Sialan lo, Al. Gue kira beneran."

"Kenapa? Gagal move on?"

"Move on dari hongkong, jadian aja kagak." Thia memajukan bibirnya.

Aku hanya terkekeh.
Niat isengku mencomblangi Chan dan Thia waktu itu ternyata dianggap serius oleh keduanya, mereka sempat dekat selama dua bulan.

Cuma dua bulan. Karena Thia terlalu jual mahal, sementara Chan mendadak kepincut dengan anak baru dari kelas sebelah.

Hahaha. Begitulah kisah mereka berakhir.

Pemain dari kelas 11 dan kelas 12 terlihat mulai memasuki lapangan untuk pemanasan. Kulihat Jevan, Chan, Rendra dan Jerry juga termasuk di antara mereka, lengkap dengan baju basket angkatan.

"Kenalin gue sama Jerry dong, Al," kata Thia tiba-tiba sambil senyum-senyum tidak jelas.

"Hah ogah ah, masa semua temen gue mau lo embat!"

"Nggak semua, Jerry doang.."

"Maaf aja nih Thi, tapi kasian Jerry kalo dapet pacar kayak lo—"

"Sembarangan! Yaudah Jevan."
Thia menaik-turunkan alisnya.

"Nggak."

"Kenapa?"

Aku tak menjawab.
Malah beralih menatap cowok yang tampak tengah menyapu pandangannya ke tribun itu. Detik berikutnya tatapan kami bertemu, aku tersenyum melambai padanya. Jevan terkekeh melakukan hal yang sama sebelum akhirnya melanjutkan pemanasan.

Sesaat pandanganku menerawang, mengingat sebuah tanya yang belakangan ini menggantung di kepala. Aku masih menunggu cowok itu untuk bicara, tentang apa yang sebenarnya ia sembunyikan.

Apa yang memebuat Jevan bertengkar lagi dengan ibunya kemarin malam.

"Lo suka ya sama Jevan?"

"Siapa?" Aku langsung menoleh kembali pada kenyataan.

"Lisa blekping. YA ELO LAH AL!"

"Gue? Ya-- enggak lah." Aku tertawa berlebihan.

"Bagus, terusin aja Al! Bohong aja terus biar makin numpuk dosa lo."

19 reasons to love you | 00LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang