19. Putus

338 51 1
                                    

Perasaan itu tidak salah. Kita tidak bisa mengatur pada siapa kita akan jatuh cinta. Hanya, caranya saja yang terlalu cepat.

—Diandra Zivana Atthala—

Masalah yang menerpa hidupnya begitu datang bertubi-tubi. Satu atap dengan orang yang sudah menghancurkan kebahagiaannya membuat Ziva merasa malas. Ia juga memilih pergi sekolah di saat pagi-pagi buta hanya untuk tidak bertemu dengan kedua abangnya. Beruntung, kedua orang tuanya sedang mengurusi bisnis di luar negeri. Jadi Ziva tidak akan mendapatkan sasaran kecemasan dari kedua orang tuanya, seperti hari-hari sebelumnya. Ya, dua hari yang lalu Atthala bergegas pergi ke Amerika bersama istri tercintanya. Perginya pun secara mendadak.

Ziva memasuki area sekolah yang terlihat sangat sepi. Mungkin dirinya adalah orang pertama yang datang ke sekolah. Sampai-sampai Pak Dadang—satpam HIS, mengatakan pada Ziva kalau ia kerajinan.

Ziva tak memasuki kelasnya yang masih terkunci. Ia memilih berjalan ke arah rooftop meski langit masih belum sepenuhnya menderang. Tubuhnya ia sandarkan pada sebuah sofa lusuh yang ada di sana. Ia sedikit memijit pelipisnya, lalu memasang earphonenya ke telinga. Dengan perlahan, Ziva menutup matanya menikmati udara yang sangat dingin ini. Beruntung, seragam yang ia kenakan dilapisi oleh jaket boombernya.

Matahari mulai menampakkan dirinya penuh. Silau cahaya itu tak membuat Ziva terusik sedikit pun. Sampai ada langkah seseorang yang berhasil berpijak di atas rooftop, melihat Ziva yang tengah tertidur dengan kedua tangan yang dilipatkan di bawah dada. Ia ingin berbalik badan, namun hatinya mengatakan jangan. Entah terbawa perasaan dari mana, Dharmendra melangkah menghampiri Ziva. Ia juga melepaskan earphone yang berada di telinga gadis itu.

Ziva menggeliat. Ia perlahan membuka matanya perlahan, dan langsung di sambut oleh wajah tampan Dharmendra yang hanya memasang wajahnya datar. Sontak, dengan refleks Ziva merapikan rambutnya dan berdiri di depan laki-laki itu.

“Gu-gue ... gue harus ke kalas. Permisi.” Baru juga satu langkah, namun tangannya harus ditahan oleh Dharmendra. “Kenapa?”

“Urusan kita belum selesai,” ujar Dharmendra, dingin.

Ziva menatap Dharmendra lekat. “Apanya yang mau diselesaikan?”

“Hubungan kita.” Ziva terdiam. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan laki-laki itu. “Kita putus.”

Ziva mengangguk pelan. “Okey, kalau itu mau lo. Tapi, lo juga harus akhiri hubungan lo sama Cassandra. Dia pacar abang gue, dan lo udah rebut dia dari abang gue sendiri.”

“Gue enggak bisa. Gue cinta sama dia,” balas Dharmendra.

Ziva terpaku. Satu tetes air matanya perlahan mengalir begitu saja menyusuri pipinya. Hati Ziva terasa diremas saat mendengar pengakuan itu. Cinta? Selama ini ternyata Dharmendra hanya mempermainkan perasaannya, bahkan hubungannya yang sempat terjalin itu hanya sebuah omong kosong belaka.

“Cinta? Mana mungkin. Lo pasti bercanda, kan?” tanya Ziva tak percaya.

“Gue serius. Gue cinta sama Cassandra. Dan gue nggak pernah cinta sama lo. Gue deketin lo karena kedatangan lo di HIS menjadi primadona,” jawab Dharmendra tanpa ekspresi.

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di pipi Dharmendra. Laki-laki itu hanya terdiam, membiarkan Ziva menyalurkan emosinya.

“Gue nyesel udah jatuh cinta sama lo dan melupakan Azri! Gue nyesel!” teriak Ziva lalu bergegas pergi dengan kaki jenjangnya.

Dharmendra hanya terdiam kaku. Maafin gue, Ziva. Gue juga cinta sama lo.

ZIVANDRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang