13. Nol (0)

310 53 2
                                    

Cinta sulit di mengerti oleh akal. Di saat kesetiaan hampir dipertaruhkan, namun diri enggan untuk di tinggalkan.

—Diandra Zivana Atthala—

Hallo! Kembali lagi sama Mak:v

Gimana, udah kangen belum sama Dharmendra?

Sebelum itu, absen nama kalian dulu, yuk.

Berikan satu emotikon ekspresi kalian di sini saat menyambut cerita Dharmendra.

Sudah siap??

Kalau gitu jangan lupa tinggalkan vote terlebih dahulu, dan jangan lupa tinggalkan komentar di setiap paragraf:)

Happy reading:)

¯\_(☯෴☯)_/¯

Kedua orang tua Ziva tengah berdecak kesal sembari menelepon putranya untuk mencari keberadaan Ziva. Saat seorang guru memberitahu bahwa Ziva kabur dan menarik temannya, membuat kedua orang tua Ziva cemas bukan main. Yang ia takutkan adalah bahwa Ziva nekat dengan keputusannya semalam untuk kembali ke Australia.

Ziva memang sangat nekat. Saking nekatnya ia melibatkan Dharmendra dari pengalihan kekecewaannya kepada keluarganya. Lihat saja sekarang, Dharmendra harus memasang kupingnya lebar-lebar mendengarkan curhatan seorang gadis yang sangat malang. Ziva, seperti anak yang kehilangan induknya.

Setelah aksi Ziva menarik Dharmendra untuk pergi, kini keduanya berakhir di sebuah pantai yang cukup membuat pikiran Ziva sedikit lebih tenang. Deru ombak dan bisikan angin membuat suasana hati Ziva cukup damai. Meski tak urung kalau bibirnya tak berhenti untuk menggerutu kesal.

“Kenapa, sih, nyokap bokap gue nggak pernah ngertiin posisi gue? Kenawhy? Ih... gue kesel, Dharma!”

“Bukan kenawhy? Tapi why? Lo pinter tapi rada somplak, ya,” ralat Dharmendra. Ziva hanya menyengir lucu, kemudian kembali cemberut. Membuat Dharmendra harus menghela napasnya panjang. “Menurut gue orang tua lo cukup mengerti tentang kondisi lo saat ini. Tapi lo sendiri tidak menempatkan posisi mereka. Lo hanya memikirkan diri lo sendiri, tanpa memikirkan kedua orang tua lo. Oke, gue sendiri masih bingung dengan masalah lo ini, karena lo sedari tadi hanya menggerutu tanpa mau menjelaskan, tapi lo nggak bisa kayak gini.”

“Lo egois, Ziva,” lanjut Dharmendra.

Ziva meremas jari-jari tangannya. Mata teduh itu seketika berubah mendung dan berkaca-kaca. Ucapan Dharmendra sangat menusuk. Alih-alih menghiburnya, namun Dharmendra malah tak membelanya. Bahkan seakan ikut mendukung kedua orang tuanya. Memang, sih, Ziva tak memberitahu alasan sebenarnya kenapa Ziva bisa bertengkar dengan keluarganya.

“Gu-gue emang egois. Gue enggak mau posisi gue tergantikan oleh siapa pun. Gue emang haus perhatian, gue juga Cuma memikirkan diri gue sendiri.” Satu denting air mata berhasil ia jatuhkan. Dharmendra sendiri tertegun, namun Ziva hanya tersenyum perih. “Tapi lo enggak tahu posisi gue saat ini seperti apa. Meski kesimpulan lo saat ini adalah benar. Gue egois.”

Dharmendra merasa bersalah. Satu tangannya berusaha menyeka air mata Ziva, tapi harus ditepis sangat kasar oleh gadis itu. Dharmendra benar-benar merutuki kesalahannya.

“Ziva, gue enggak bermaksud buat lo nangis, tapi gu—”

It’s okey, enggak usah dilanjutin lagi. Gue paham kok maksud lo.” Ziva memotong ucapan Dharmendra dengan cepat.

ZIVANDRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang