“Cemburu. Satu kata yang terasa sulit diuraikan. Di pendam salah, di utarakan jauh lebih salah. Serba salah.
—Diandra Zivana Atthala—
Kecemburuan Ziva terhadap abangnya masih belum memulih. Ia hanya bersikap dingin dan tak banyak bicara seperti biasa. Makan malam pun Ziva seperti ogah-ogahan, itu pun ia sedikit dipaksa oleh sang bunda untuk turun makan malam bersama.
Di meja makan malam itu hanya menyisakan keheningan. Sampai tiba-tiba suara sang ayah membuka percakapan. “Kata Bunda, tadi Caca ke sini?”
Damn it! Peraturan di rumah ini seketika dilanggar oleh sang ayah sendiri. Peraturan yang tak diperbolehkan berbincang saat sedang di meja makan, kini harus tersingkirkan dengan satu nama yang menjadi pengalihan seolah-olah peraturan itu hilang.
“Ya, dia ke sini. Gadis itu akhirnya bisa meluangkan waktunya di antara kesibukan dia. Ethan cukup senang. Sayang, Ayah tidak ada di rumah,” jawab Ethan dengan sopan.
Nara menyahut, “Dia manja banget loh, sama Ethan, Mas. Kayak orang enggak ketemu berabad-abad,” ujarnya terkekeh.
Prank!
Percakapan itu harus terhenti di saat suara bising yang dilakukan oleh Ziva saat menaruh sendok dan garpunya di piring. “Ziva sudah kenyang.” Ziva meneguk susu putih miliknya hingga tersisa setengah. “Kalian lanjutkan makan malamnya, Ziva ke kamar dulu. Banyak tugas yang harus Ziva selesaikan.”
Ziva beringsut, mendorong kursinya sedikit ke belakang hingga menimbulkan decitan yang cukup penging. Gadis itu berjalan dengan santai menaiki anak tangga tanpa memedulikan tatapan dari keluarganya yang kini tengah mengernyit bingung.
Dalam otak mereka hanya timbul satu pertanyaan. Kenapa gadis itu?
“Fixs, ada yang nggak beres dari Ziva,” guman Evan menggeleng pelan. Kedua orang tuanya menatap seolah bertanya. “Itu loh, dari pulang sekolah Ziva udah uring-uringan nggak jelas, Bun.”
Atthala berdecak lirih. “Ah, ini kayaknya Ziva ngambek sama Ayah. Karena pulang sekolah Ayah nggak menjemputnya. Ayah malah nyuruh Bang Ethan buat jemput Ziva ke sekolah.”
“Ya udah, Bang, kamu sekarang bujuk Ziva ke kamar, ya. Cuma sama kamu Ziva bisa luluh,” ujar Nara pada Evan.
Evan mengangguk. “Baik, Bunda. Oh, ya, ayam goreng Ipin jangan kasih habis, ye ...,” ucapnya menirukan kartun Malaysia.
“Udah sana cepetan!” desak Ethan yang sudah geli melihat ekspresi bodoh dari kembarannya.
Evan terkekeh sembari menaiki anak tangga menuju kamar Ziva. Ia membuka knop pintu kamar itu yang ternyata tidak terkunci. Evan melongos masuk seenak jidat tanpa mengucap permisi pada sang pemilik kamar. Netra hazelnya sekarang menangkup sosok Ziva yang duduk di sebuah sofa kamarnya. Perhatian Evan sekarang tertuju pada air mata gadis itu yang ternyata sudah menetes cukup deras.
“Ziva, kamu kenapa?” Evan mendekat, duduk di sebelah Ziva yang sekarang tubuh gadis itu spontan membelakanginya. “Kalau kamu ada masalah cerita sama Abang.”
Ziva tak menyahut. Hanya suara isak tangis yang seolah-olah menjawab pertanyaan abangnya.
Evan mendengus pelan. Meraih bahu Ziva agar menghadap dirinya. “Ayok, cerita sama Abang. Ada apa?” Evan mengusap air mata itu penuh kelembutan.
Ziva refleks memeluk tubuh Evan dengan erat. Ia menangis tersedu-sedu membasahi kaus yang Evan kenakan. Laki-laki itu sekarang cemas bukan main. Ia tak suka jika Ziva sudah menangis seperti ini. Tangan kekarnya berusaha mengusap lembut punggung Ziva untuk menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIVANDRA (On Going)
Dla nastolatków[Jangan lupa follow akun ini terlebih dahulu. Anda senang, saya simbiosis mutualisme.] Judul awal : DHARMENDRA. Berawal dari kesalahan Reandra Azriel Farzan karena hampir mengorbankan nama Calaveras tanpa perundingan, membuat ia harus terkapar koma...