"Ibu Sun itu baik sekali ya, dia memberi kita bonus padahal hanya bekerja setengah hari, sudah begitu gajinya selalu tinggi! Kita jadi bisa membeli banyak barang," kata Jake seraya berjingkrak-jingkrak kecil di samping Sunghoon.
Saat ini mereka sedang melangkah beriringan menuju rumah, di malam hari yang biasa selepas mereka bekerja dan membeli alat-alat lukis. Tangan kiri Jake menjinjing kantong kertas berisi cat dan kuas, sementara tangan kanannya terus memeluk lengan Sunghoon yang sedang susah payah membawa kanvas.
Besarnya kanvas itu hampir menutup pandangan Sunghoon, alhasil dia hanya bisa mengandalkan tuntunan Jake untuk berjalan.
"Mungkin karena Bu Sun memang sudah kaya, dan toko roti itu dibangunnya supaya tidak bosan di rumah." Sunghoon menyahut sesaat kemudian.
"Sepertinya kau benar, Jeno saja setiap datang ke toko selalu berpakaian bagus dan terlihat mahal, apalagi dengan wajahnya yang cukup tampan, kurasa tujuannya memang untuk menarik pembeli."
"Kenapa jadi membahasnya? Dia hanya ingin mencuri perhatianmu, jangan dipedulikan. Aku jauh lebih tampan kalau soal wajah, benar kan?" tanya Sunghoon meminta pembenaran.
Jake lantas tersenyum gemas dan mengangguk setuju, "Tentu saja! Kau tetap yang paling tampan dan menguasai hatiku. Walaupun tidak terlalu hebat dalam urusan ranjang, sih."
Bola mata Sunghoon terbelalak kaget, ringan sekali mulut Jake untuk berkata seperti itu, pikirnya. Pastilah Sunghoon kurang mahir karena yang kemarin malam adalah pertama kali ia melakukannya, sementara Jake sudah seperti profesional. Baiklah, mungkin Sunghoon juga harus terbiasa dengan yang ini.
"Kita sudah sampai!" seru Jake sesaat setelah menginjakkan kaki di dalam rumah sederhana milik Sunghoon.
"Ah, ini melelahkan. Kanvas ini sangat berat, dan kau sama sekali tidak membantu. Andai aku punya sebuah mobil untuk berpergian seperti ini, pasti akan lebih mudah," Sunghoon bersungut selagi menyandarkan kanvasnya pada dinding.
Sedangkan Jake di sana hanya merotasikan bola matanya dengan malas, berlebihan sekali manusia tampan yang satu ini, pikirnya.
Mereka berdua memilih untuk langsung bergulat dengan barang-barang yang baru dibeli, mengabaikan perut lapar dan tubuh lengket karena belum mandi. Semua usul itu datangnya dari Jake. Namun syukurlah mereka sempat membeli makanan instan yang langsung disantap tanpa repot.
Kini Sunghoon telah duduk pada kursi dan memandang kanvas besar di hadapannya, lagi-lagi itu adalah perintah dari Jake.
"Tarik napas, tahan, tahan terus, tahan—"
"Kau ingin aku mati?" Sunghoon lantas menyela karena bukannya mendapat ketenangan, dirinya justru dibuat kehabisan napas.
Jake tercengir polos, kemudian menyahut, "Ya sudah ayo mulai! Apa aku harus diam di sini agar kau punya gambaran yang lebih bagus?" katanya sembari berdiri di samping kanvas itu.
Sontak saja Sunghoon bergeleng, "Itu malah membuatku tidak fokus, kau terlalu indah."
"Kalau begitu aku akan berdiri di belakang sini dan membantumu dalam setiap goresan. Ingat, untuk menciptakan karya yang indah, kau harus punya jiwa yang bebas, jangan pernah ragu saat mengambil langkah."
Sunghoon berangguk yakin, dia tidak lagi merasa ragu karena ditemani oleh Jake yang terus memegangi bahunya. Tangan kanan Sunghoon yang sedang menggenggam kuas akhirnya mulai mengambil secuil cat dari palet warna, coretan pertama yang dihasilkannya cukup indah, hingga memantik senyuman manis dari Jake.
Tiap gerakan tangan Sunghoon selalu diiringi arahan dari Jake, lelaki manis itu terus berbicara seolah tak punya lelah.
"Buat dulu bentuk dan warna dasarnya, beri warna yang berbeda di sini agar punya dimensi. Latar belakang sebaiknya dibuat belakangan juga, kau harus mewarnai rambutku dulu dengan warna cokelat keemasan, kalau tidak ada berarti kau harus mencampur warnanya! Tambahkan juga mawar, buat aku memegang bunga!"
"Tidak ada bajunya? Kau ingin membuatku telanjang? Tapi itu bagus, sih. Tutupi saja bagian bawah dan setengah dadaku ini, aliranmu akan menjadi erotisme romantis. Kalau ditelanjangi seluruhnya nanti jadi aliran sesat!"
"Aduh tunggu tunggu! Aku ingin istirahat sebentar." Sunghoon meletakkan kuas dan meregangkan otot tubuhnya yang amat kaku.
Karena sudah lebih dari dua jam Sunghoon duduk di sana dan hanya bentuk dasar tubuh serta wajah yang terlihat pada lukisannya.
Jake berinisiatif memijat kedua bahu Sunghoon guna meringankan pegal, dan agar pria itu tidak kehilangan semangatnya.
Namun sesaat kemudian Sunghoon memutar tubuh ke arah Jake, memeluk perut si manis dengan erat dan membenamkan wajahnya di sana. Suara rengekan manja muncul dari mulut Sunghoon, cukup membuat Jake terheran-heran.
"Aku tidak bisa, ini terlalu sulit. Aku benar-benar payah dalam melukis, sepertinya ini tidak akan pernah selesai," keluh Sunghoon.
"Ini sudah sangat bagus, Sunghoon. Kau boleh istirahat sekarang, kita lanjutkan besok ya? Jangan sampai menyerah, tidak ada sesuatu yang instan. Percayalah kalau proses tidak akan mengkhianati hasil." Jake balas memeluk kepala Sunghoon dan ia timang-timang dengan sayang.
"Baiklah. Semuanya kulakukan untukmu, jadi tolong jangan tinggalkan aku dan tetaplah di sini, seperti ini."
_____
halooo
makin gk jelas nih, yang penting end lah ya☺☺

KAMU SEDANG MEMBACA
MASTERPIECE [SungJake]
Fiksi Penggemar[REPUBLISH] Hanya tentang Sunghoon yang menemukan kebahagiaan dari sebuah mahakarya, begitu indah dan membuatnya jatuh cinta, hingga sulit untuk percaya bahwa dialah penciptanya. ☆ SUNGHOON X JAKE ☆ Low Fantasy - Romance - Fluff! ☆ Drabble/Short A...