14 | Rubik Kehidupan

248 31 5
                                    

Sama seperti Rubik, Kehidupan itu begitu rumit. Harus dijalani dengan begitu sabar supaya bisa menemukan jalannya agar kembali selaras.

Dan begitupun dengan Ajun yang kini menjadi berusaha lebih sabar dalam menjalani kehidupannya.

Satu demi satu ia punguti kembali keping demi keping rangkaian hatinya yang tercecar kemana-mana.

Maka sebagai permulaannya, disinilah Ajun dengan sebuket bunga dandelions yang ia bawa, lalu diletakkannya bunga itu di depan sana di samping guci berisi Abu Jenazah papa-nya yang telah di kremasi.

Ajun berdoa dalam hati, memohon ampun atas segala kesalahan papanya yang telah diperbuat semasa hidup sekaligus meminta kemurahan Tuhan supaya berkenan menempatkan papanya di tempat yang terbaik di atas sana.

"Gue sampai sekarang masih penasaran, bokap Ajun itu meninggalnya karena apa ya?" Leon yang juga ikut serta mengantarkan. Gatal bertanya setelah sedari tadi mereka hanya diam-diaman sambil melihat Ajun yang sedang berdoa di dalam rumah abu.

Jingga terlihat menyikut perut Leon, panik akan suara Leon yang bisa saja terdengar oleh Ajun di dalam sana .

Sementara Montha yang berada di antara keduanya malah tertawa geli, anak itu pun menjawab.  "gak apa-apa Jingga, si Ajun pun gak bakal keberatan. Om Arsan meninggal karena sakit jantung. Yang nemuinnya Tante Renja pas sewaktu subuh. Karena biasanya om Arsan selalu minta dibangunin jam segitu. Dibangunin gak bangun-bangun."

Mendengar penjelasan Montha, Leon manggut-manggut paham. Lalu hening mereka kembali tidak membuka pembicaraan.

Tapi diantara keheningan dan kekhusyukan mereka melihati Ajun.

Jingga memundurkan satu langkahnya, menjadi paling belakang, lalu punggungnya disandarkannya pada pohon.

Pikirannya mengawang, satu memori pada hari berpulangnya papa Ajun kembali terputar.

Flashback.

"Kak, ayo bangun jangan disini, basah."

Rama yang kira dirinya sendirian, mengadahkan kepalanya memicingkan matanya, berusaha melihat jelas wajah orang yang tengah memayunginya.

Merasa pandangannya masih kabur gara-gara buliran air mata. Rama pun mengusapnya.

Selesai mengusap dan mendapatkan jelas pandangannya.

Rama lantas menundukkan kepalanya, malu.

Karena sekarang ia tampak menyedihkan di depan teman adiknya.

"Kakak mau denger cerita induk domba dan anak serigala enggak?"

Rama diam, tidak ingin merespon. Dalam hatinya, ia merutuki teman Ajun yang entah siapa itu bertanya hal random saat dirinya dalam kondisi seperti ini. Ah ralat bahkan untuk tidak dalam kondisi seperti ini pun rasanya tak ingin Rama timpali.

Sementara Jingga yang terlihat tidak ingin mengerti jika Rama ingin sendiri tetap berdiri tegak memayungi Rama yang masih enggan bergerak dari tempatnya. Lalu Jingga kemudian memulai ceritanya tanpa persetujuan,

"Suatu hari di dalam hutan. Seekor serigala kecil ditemukan oleh kerumunan domba yang sedang mencari rumput lalu ia pun dikelilingi oleh domba-domba tadi, kemudian salah satu domba yang baru punya tanduk menyeruduk serigala kecil . Karena serigala ini sedang sakit. Serigala itu pun hanya diam tidak membalas sampai akhirnya seorang domba dewasa menghampiri dan mengusir kumpulan domba-domba yang ternyata masihlah kanak-kanak. Serigala merasa tertolong ia pun berterima kasih dengan melolong kepada domba. Akan tetapi rasa terimakasih itu tidak bertahan lama karena serigala yang ternyata orang tua dari serigala kecil ini datang karena lolongan anaknya, kedua serigala itu melihat keadaan anaknya menjadi salah paham, lalu kedua orang tua itu pun menyerang domba dewasa dengan membabi buta. Serigala kecil menangis sejadi-jadinya di tempat. Meski ia telah melolong dengan begitu keras memohon untuk orang tuanya berhenti. Semua itu terlambat domba dewasa mati ditangan orang tuanya. Dan si serigala kecil tinggal menunggu waktu ajal menjemputnya sebab serigala itu pun tengah sekarat. Menurut kakak apa yang bisa diambil dari cerita tersebut?"

Jingga Bercerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang