Dua minggu setelah kejadian dimana Leon menemukan Jingga di jalan. Selama itu pula, Jingga telah diantar jemput dan pulang oleh Leon.
Tapi kali ini bukan Honda jazz, si mobil dengan warna kuning mencolok yang biasa ditumpanginya, akan tetapi motor Scoopy dengan warna merah yang penuh sticker dimana-mana.
"Nihh, thanks udah nganterin,gak usah jemput gue besok, gue bisa naik angkot."
Eza yang menerima helm dari Jingga, tertawa kencang tapi kemudian anak itu berhenti dan memasang raut pura-pura tak suka.
"Hidih Lo kira gue mau? Gak lah! Gila ajah kali gue harus muter jalan cuman buat jemput Lo. Gak penting banget keknya."
"Anjing Lo!" Umpat Jingga yang kembali mengundang tawa Eza.
"Hahaha, dah lah gue mau cabut."
"Ya udah sono."
"Iya- anjing. Sabar Napa,," Sungut Eza begitu Jingga mendorong-dorong tubuhnya yang duduk diatas motor.
"Bye ,Jingga anjing jangan kangen." Teriak Eza saat motornya melaju menjauh dari depan pagar rumah Jingga, Jingga yang mendengarnya mengacungkan jari tengah, Eza yang masih bisa melihat itu lewat kaca spionnya terkekeh geli.
Sehabis itu, Jingga pun beranjak melangkah masuk ke dalam.
Mendapati rumahnya yang sepi, lantas Jingga pun tersenyum sendu.
Tapi kemudian Jingga tertawa sumbang, tiba-tiba dia merasa lucu. Karena, walaupun dia tidak pulang awal pun rumahnya akan selalu sepi.
Tidak seperti dulu.
Jadi buat apa dirinya merasa aneh dengan suasana ini? harusnya Jingga membiasakan dan menganggapnya wajar.
Jingga pun menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai atas.
Dan begitu pintu kamarnya dibuka.
Jingga terperanjat.
Ayahnya, ada di sana duduk di pinggir kasur sambil mengusap-usap permukaan kasurnya dengan raut wajah yang tidak sama sekali terbaca.
Dan begitu mata teduh dan lelah ayahnya bertemu dengan matanya.
Jingga bergetar hebat di dalam hatinya, ini kali pertama ayahnya menatapnya setelah kepergian ibu dan adiknya.
Jingga pun terdiam disana.
Sementara ayahnya yang melihat itu tersenyum teduh, kemudian pria dengan cetakan wajah yang sangat mirip dengan om-nya itu menepuk-nepuk area kasur di sampingnya.
"Jingga, kemari."
Dipinta mendekat oleh ayahnya, Jingga jadi gugup sendiri.
"Jingga, kemari nak. Ayah pengen liat kamu dari dekat."
Kembali ayahnya memanggil. Jingga pun memberanikan diri walaupun lututnya terasa gemetar.
Dan setelah sampai. Jingga pun duduk tapi dengan sedikit memberi jarak.
"Kamu ini, kayak sama siapa ajah. Biasanya juga gak pernah jauh-jauh dari ayah. Sini dekatan."
Jingga tersenyum kikuk, saat kemudian tangan besar ayahnya menarik Jingga ke dalam rangkulannya, membuat pundak ayahnya saling bertubrukan dengan pundaknya.
Kemudian, hening tidak ada pembicaraan.
Membuat Jingga makin merasa canggung, karena demi apapun sulit sekali merasa nyaman di saat seperti ini.
Walaupun usapan di kepalanya tampak hangat.
Tapi tetap saja Jingga tidak bisa,
Karena rasa bersalah begitu menghantuinya, membuatnya terlanjur merasa tidak pantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga Bercerita (On Going)
Roman pour AdolescentsSegala sesuatu bentuk plagiat ,adalah hal yang paling tidak dibenarkan! Jingga tidak menyangka kepindahannya yang tiba-tiba membawanya dapat merasakan berbagai macam sisi lain dari hidup orang lain, Dari mulai kisah yang paling gelap sampai yang bu...