21 | Suatu Hari Yang Lelah

242 31 0
                                    

"Sekolahmu kenapa? Tadi ayah liat banyak mobil polisi masuk ke sana?"

Gagan yang baru saja mendudukkan dirinya di samping ayahnya yang sedang duduk di balik kemudi mobil, ia berekspresi bingung begitu disambut pertanyaan seperti itu. Sedikit kaget juga sebenarnya, tapi tak lama Gagan pun menggeleng-gelengkan kepala. Memberitahukan bahwa dirinya pun tak tahu menahu.

"Ayah pikir tau."

"Gagan gak tau,ayah." Jawab Gagan pelan, anak itu lantas menarik sabuk pengaman kemudian memasangnya. Ayahnya juga sudah mulai kembali menyalakan mesin mobilnya.

"Hmm, omong-omong ibu sudah beritahu ayah semuanya secara rinci. Ibu juga beritahu ayah, jika katanya lagi kamu tidak mau bilang alasannya pada ibu. Ingin beritahukan pada ayah? Ayah tidak akan marah."

Gagan diam menunduk, rasa bersalah mulai menyerangnya apalagi tadi saat masuk Gagan melihat betul raut lelah sang Ayah yang Gagan yakini jika ayahnya pasti barulah pulang dari kantor. Pria itu pasti lelah sekali.

Tapi bukannya menyambutnya dengan amarah, pria yang sejak awal tidak pernah meninggalkannya malah menyambutnya dengan tenang seolah tak ada masalah besar yang habis ia perbuat.

Tak terasa matanya kini telah menitikkan air mata. Gagan segera saja menutup matanya dengan satu tangan mencoba menutupi dirinya yang lagi-lagi menangis , dalam hatinya ia menyesali segala perbuatanya. Benar kata ibunya, jika dirinya ini hanya bisa menyusahkan saja.

Sementara itu pria yang berusia tak lebih dari empat puluhan. Malah tersenyum melihat putra sulungnya menangis, meski gurat lelah tampak jelas sekali di matanya yang kerutan.

Pria yang bernama lengkap Widi Darma Atjaya itu lantas menaruh kedua tangan besarnya di punggung sang anak.

Menepuk-nepuknya, memberitahu jika dia ada disini untuk putranya. Widi juga paham jika anaknya tidak ingin mengungkapkan alasannya.

"Maaf ayah, maaf."

Widi menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa Gagan, tidak apa-apa, ayah percaya. Anak ayah yang satu ini pasti punya alasan kuat. Ayah tidak marah Gagan, Ayah cuman khawatir. Kemarin selain menjelaskan, ibu juga jujur sama ayah. Ibu bilang, jika sudah menampar putra ayah makanya hari ini Ayah yang jemput. Ayah mau lihat pipi putra ayah, sini coba ayah liat."

Gagan mengangkat wajah basahnya, menunjukkan sesuai dengan yang ayahnya pinta.

Memang tidak ada bekasnya, tapi jejak rasa sakit dan panas yang menjalar di pipinya masilah membekas di ingatan.

"Ibu, gak salah ayah. Gagan yang salah, sudah buat kecewa."

Widi lagi-lagi menggeleng. Nampak tidak setuju. Setelah mengambil lagi kedua  tangannya di pundak putranya, Widi kemudian berujar.

"Salah bukan berarti harus membalasnya lagi dengan pukulan, begitu pula berlaku untuk tindakan Gagan yang tidak dibenarkan, mau bagaimanapun kesalahannya mau apapun itu alasannya, mengambil jalur kekerasan sebagai tindak penyelesaiannya tidak akan pernah berakhir dengan penyelesaian. Yang ada hanya akan melahirkan masalah baru yang lainnya. Mengerti Gagan?"

"Iya Ayah, mengerti. Maaf ayah, Gagan gak akan ulanginya janji."

"Ayah gak butuh Janji, ayah butuhnya pembuktian. Oke?"

Gagan mengangguk sekilas, ia masih tetap menangis meski Widi telah berujar demikian.

"Oke kalo gitu, kita pulang." Ujar Widi yang sekarang sudah mulai menyalakan mesin mobilnya kembali.

Sekilas tentang dirinya, yang merupakan seorang kepala rumah tangga biasa yang di karuniai dua orang putra.

Menurutnya sendiri kedua putranya, sudah amat sempurna. Meski orang lain bilang jika keduanya adalah sebuah kegagalan. Tapi bagi Widi tidak demikian.

Putranya yang pertama Gundara Ganesha Atmaja atau kerap disapa Gagan ,memiliki banyak prestasi tapi masih dinilai tidak cukup, karena latar belakang sang ibu.

Widi lupa jelasnya kapan pertama kali berkenalan dengan ibu Gagan.

Tapi diingatannya memang benar tidak ada hal baik yang berbekas dengan wanita bernegara asing itu.

Tapi sumpah demi apapun mengenai keberadaan Gagan. Widi tidak pernah menyesali keputusannya. Bahkan saat pertama kali diberitahu jika Gagan adalah darah dagingnya, sejak itu pula keputusan mengambil hak asuh Gagan sudah digaungkannya dalam hati.

Begitupun dengan anak bungsunya, Catur Atmaja. Catur yang berbanding terbalik dengan Gagan sang kakak. Kerap kali menjadi contoh si buruk  jika keluarga Widi menyambangi rumah saudaranya.

Dan ketika sudah berkumpul sanak saudara di satu ruangan. Maka sudah dipastikan nama putra bungsunya tidak pernah absen disebutkan. Bukan hal yang menyenangkan tentunya.

Tapi Widi tidak pernah sedikitpun merasa Catur anak yang gagal,  bahkan saat anak itu baru-baru ini di bawanya ke panti rehabilitasi. Malahan ia sendiri yang merasa dirinya gagal, sebab membiarkan putranya terjerumus ke arah yang salah

"Ayah." Panggilan pelan Gagan, membuat Widi menengok di sela-sela menyetir. "Iya, ada apa?" Jawabnya.

Ada jeda waktu, diantara pertanyaan Widi yang dibiarkan mengambang begitu saja.

Sebelumnya akhirnya dijawab,

"Gagan, mau pulang ke Toronto yah."

Dan membuatnya kaget.

*****

"Gue besok gak sekolah."

Jingga yang tengah memasukan bukunya ke tas, menoleh cepat.

"Lah ngapa?"

"Ada urusan penting."

Jingga memutar matanya, "Idih sok penting banget loh, paling-paling cuman alesan doang aslinya mah rebahan."

Ajun terkekeh, kemudian menaik- turunkan alisnya. "Tau aja Lo sobat, makin cinta deh ach~" Ucap Ajun seraya memberikan flying kiss ke arah Jingga.

Yang sontak membuat pemuda itu bergidik ngeri, ia pun dengan cepat-cepat membawa langkahnya menjauh dari jaraknya dengan Ajun. "Cringe gila!"

Sementara Ajun sudah tergelak tertawa. Senang sekali rasanya menggoda Jingga teman baru yang tidak pernah disangka-sangkanya kini menjadi salah satu teman dekatnya.

Meski awal pertemuannya tidak baik. Tapi siapa sangka justru itulah yang membuat keduanya menjadi dekat.

Masih dengan gelakan tawa dan beberapa kali menggoda lagi Jingga, langkahnya pun tak terasa sudah ada di ambang pintu.

Sebelum menyusul Jingga yang sudah jauh disana.

Ajun, berhenti sebentar.

Memutar langkahnya, lalu dengan cepat mematikan kipas angin kelas yang masih menyala.

"Sebelum pulang, pastikan semua lampu dan kipas angin dalam kondisi mati." Gumam Ajun mengikuti ucapan pidato pak polisi yang ikut sekalian juga memberikan penyuluhan.

Barulah setelah itu, kembali ia membawa langkah cerianya sambil menggendong tas meninggalkan kelas  yang pintunya tidak dapat tertutup.

Sebab pintunya yang tidak ada sebelah.

*****

Sementara itu, berbeda dengan Ajun.

Ada Montha yang tengah tertidur pulas dengan ac dan televisi dalam kondisi yang menyala dengan ruang yang tertutup gordennya rapat-rapat.

Beserta juga belasan ponsel yang tergeletak di sekelilingnya, penuh dengan banyaknya notifikasi yang tidak henti-hentinya menyala.

Montha baru bisa tidur tadi, pukul sepuluh pagi.










To be continued...

Cung anu mau Jingga dipercepat tamatnya☝️

Jingga Bercerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang