Muhammad Rosid Aquinas

3K 163 2
                                    



Seorang wanita duduk di depan IGD dengan wajah ber air, dari dalam ruangan penanganan terdengar suara anak bayi yang menangis, pasti anakku yang ada di dalam ruang penanganan tersebut, hatiku ikut sakit tangisan pertama yang ku dengar dari anakku adalah tangisan kesakitan.

Aku duduk di kursi tungggu di  sebelahnya wanita tersebut yang tidak menyadari kehadiranku, matanya terpejam, bibirnya bergerak lembut melafalkan do'a, ingin rasanya ku rengkuh kupeluk dan menenangkannya, kita dalam pesakitan yang sama.

"Dia akan baik-baik saja". Akhirnya setelah cukup lama, aku bersuara, dan lehernya menoleh ke arahku dengan tatapan kegetnya.

"Darren.... Darimana kamu tau aku di sini??" Tanya wanita itu.

"Namanya Rosid??? Dia benar laki-laki seperti mimpiku kan?? Kapan dia lahir??" Aku malas menjawab pertanyaan gak penting dari wanita yang kabur dariku.

"Aku sangat ingin menjadi seseorang yang pertama di lihat nya saat dia lahir, namun aku seorang ayah yang payah, mencari istri dan anaknya saja gak pecus" aku tersenyum masam meratapi kebodohanku dan nasib sialku.

"Hemmm... Kamu bersama Martha??" Wilu mengalihkan pembicaraan dan mengingatkan alasan dia kabur .

"Kenapa aku mengajak dia?" Aku balik tanya.

"Bukankah kalian sudah mendapat restu dari orang tua Martha??" Mata sinis Wilu membuat aku ingin tertawa melihatnya,  dan semakin aku ingin menghukumnya atas ke salahpahamnya itu.

"Bukan berarti aku harus mengajaknya kemanapun aku pergi kan Lu??" Wilu membuang mukanya enggan menatapku, dan aku semakin yakin cintaku terbalas buktinya dia cemburu.

"Orang tua dari Anak Muhammad Rosid Aquinas?" Tanya seorang perawat yang baru keluar dari ruang penanganan anak.

"Iya sus saya Ayahnya". Tanpa ijin Wilu aku langsung masuk ke ruang penanganan dan terlihat seorang bayi berbaring di atas brankar dan selang infus menancap di tangan kirinya.

Sisa tangisnya masih terlihat dan, saat melihatku dia kembli menagis lirih, seolah mengadu kalau dia sakit, pandangan yang sama seperti di mimpiku, seorang bayi laki-laki, dengan rambut lebat berwana coklat lurus keatas, pipinya yang gembul dan kemerahan karena kebanyakan menangis, mata coklat madu seperti milikku, bibirnya yang bawah terdapat garis yang membela bak buah jambe sama persis milikku, janggutnya sama, hidungnya sama, maaf Wilu anakku lebih memilih mirip aku dari pada kamu ibunya.

Ku peluk dia kucium pipinya aku menangis sejadi-jadinya persetan dengan tatapan heran para perawat dan dokter, mungkin mereka mengira aku menangisi anakku yang sakit, benar sih tapi ada plusnya aku terharu dia sudah berumur dua bulan aku baru melihatnya, dan ini gara-gara wanita kolot bernama Wilujeng Rahayu.

...

Wilu

Jantungku mau copot saat melihat sosok Darren berada di Hotel tempat kerjaku, wajah kaget juga terbingkai di wajah Darren.

Rosid. Satu nama yang yang aku ingat ketika milihat pria itu, aku harus bisa mengamankan putraku darinya jangan sampai dia mengambil anakku.

Aku bergegas kembali ke ruanganku, untungnya Darren gagal mengejarku. Hal buruk ternyata terus mengikutiku hari ini, telp dari day care mengabarkan bahwa putraku Rosid demam dan muntah, padahal tadi pagi sepertinya dia baik-baik saja.

Aku pamit pada Clara dan segera ke day care, dan benar saat ini putraku berada di gendongan bu Nissa pengasuh di day care dan saat ke sentuh keningnya terasa panas.

Saran dari pengurus day care Rosid segera di bawa ke RS takutnya dia dehidrasi. Aku bergegas membawanya ke RS di antar oleh mobil day care.

Hasil pemeriksaan di RS putraku harus di rawat dia butuh di infus. Aku nurut saja demi kebaikan putraku.

Aku diminta keluar saat putraku di tangani pihak RS, hatiku rasanya sakit mendengar tangisan putraku, pasti sakit tangan sekecil itu harus di tusuk jarum infus.

Aku menggigit bibir bawahku dengan keras, saat terdengar tangisan Rosid semakin menjadi, ingin rasanya ku dobrak pintu ruang tindakan dan ku peluk putraku.

"Dia akan baik-baik saja". Suara itu, suara bariton yang aku kenal, yang selama ini aku hindari, orang tersebut Darren, sudah duduk di.sampingku, entah sudah berapa lama dia berada di sana

"Darren.... Darimana kamu tau aku di sini??" Aku benar-benar heran, bagiamana pria ini tau keberadaanku.

"Namanya Rosid??? Dia benar laki-laki seperti mimpiku kan?? Kapan dia lahir??" Darren duduk di sebelahku dengan pandangan lurus ke depan, sepertinya enggan menatap wajahku.

"Aku sangat ingin menjadi seseorang yang pertama di lihat nya saat dia lahir, namun aku seorang ayah yang payah, mencari istri dan anaknya saja gak pecus" imbuhnya dengan senyum masam, dan bahu yang merosot penuh kekecewaan, harusnya aku yang kecewa karena penghianatanya.

"Hemmm... Kamu bersama Martha??" Ku ingatkan ke Darren tentang penyebab kecewaku.

"Kenapa aku mengajak dia?" Dia masih sama dengan sikap acuhnya

"Bukankah kalian sudah mendapat restu dari orang tua Martha??" Sakit rasanya mengingat aku sudah di bodohi oleh kata cinta dan sikap manisnya kemudia aku melemparkan tubuhku padanya, padahal hatinya masih milik Martha

"Bukan berarti aku harus mengajaknya kemanapun aku pergi kan Lu??" Ku alihkan pandanganku, mataku terasa panas, ingin meleleh air mata, aku sudah move on darinya, namun entah kenapa saat dia datang dengan sikap angkuhnya dan pasti dia akan mengambil anakku untuk hidup bersama Martha.

"Orang tua dari Anak Muhammad Rosid Aquinas?" Tanya seorang perawat yang baru keluar dari ruang penanganan anak.

"Iya sus saya Ayahnya". Tanpa ijinku Darren mendahuluiku masuk keruang tindakan

Dia membungkuk mensejajarkan tubuhnya dengan putraku yang baru saja selesai menangis, bak sudah kenal, putraku menatap Darren dengan tatapan rindu. Apakah yang aku lakukan ini salah, memisahkan seorang anak dan ayahnya

"Maaf pak, putranya akan kami pindahkan di ruangan." Seorang perawat menjeda tangisan Darren


Bersambung
 

Stuck With Best Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang