4. (Bukan) Book Date

340 58 10
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

Ada yang masih nunggu, kan?

Anyway, aku mohon maaf banget di chapter sebelumnya ada kesalahan nama. Seharusnya nama adiknya Erina itu Erika, bukan Elina. Makanya sempet bingung ada yang rep malah jadinya kayak adik Erina. Ternyata aku salah baca outline karena jadinya cek yang lama, bukan yang baru. Tapi udah aku revisi, jadi ke depannya kalau nama adik Erina disebut itu bukan Elina lagi, tapi Erika, ya ^^

 Tapi udah aku revisi, jadi ke depannya kalau nama adik Erina disebut itu bukan Elina lagi, tapi Erika, ya ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dah, Kak El. Ketemu lagi pas kuliah, ya."

Kalimat Mirza sebelum pergi dari rumah tertanam sempurna di benak Erina, hingga ketika dia masuk ke kamarnya, ingatannya pada bagian itu tidak kunjung menghilang. Napas Erina memburu cepat, terlalu senang sampai dia melamun untuk beberapa saat sembari membelakangi pintu kamar yang telah ditutup rapat.

Pipinya bersemu, terlebih ketika Mirza sangat paham situasinya yang sering diatur-atur oleh Abigail, padahal baru pertama laki-laki itu menyaksikannya. Memang sederhana, hanya terkait penampilan yang bisa saja bagi orang tidak pentingㅡbahkan Erina sendiri biarkan dirinya diatur karena tidak memiliki kuasa untuk melawan.

Namun, saat ada laki-laki yang peka terhadap situasi itu, Erina sangat menghargainya dan merasa begitu diapresiasi sebagai dirinya. Erina juga ingat saat sentuhan halus Mirza mendarat di rambutnya, membuainya hingga ke hati dan menciptakan debar berirama yang membuat gadis itu melihat separuh dunianya dengan lebih indah. Erina harus banyak-banyak berterima kasih pada Mirza, sebab berkat kehadirannya yang sangat tidak terduga, penghujung libur semesternya jadi sedikit lebih spesial.

"Kamu ngapain bengong kayak orang nggak jelas, Kak?"

Lamunan Erina buyar saat mendengar suara Sabrina yang entah sejak kapan sudah di kamarnya, duduk santai di atas kasur seakan itu adalah tempat pribadinya. Ingin mengusir, tetapi suasana hati Erina terlalu bagus untuk mengacau hanya karena masalah kecil yang bisa dia atasi sendiri.

"Pipinya merah, tuh," sahut Sabrina saat Erina berjalan mendekatinya.

Mata Sabrina menatap penuh selidik ketika Erina sudah duduk di sampingnya dan semburat merah di pipi kakak sepupunya itu tidak kunjung pudar. Tanpa perlu bertanya, Sabrina sudah tahu siapa pelaku utama yang membuat kakak sepupunya sedikit hilang kendali layaknya orang jatuh cinta pada umumnya. Alih-alih menggodanya, Sabrina justru meragukan Mirza yang hadir beberapa saat lalu, menganggap laki-laki itu tidak serius dengan hubungannya dan hanya menjadi penggoda ulung.

"Kak, kamu sesuka itu sama Mirza?" tanya Sabrina, masih belum memercayai status Mirza dan Erina telah berubah ke jenjang baru. "Kamu bilang nerima dia karena nyaman. Kamu juga bilang dia bikin kamu nggak kesepian. Kamu pun pernah cerita pengen hutang budi ke Mirza karena dia udah baik banget sepanjang semester lima. Jangan-jangan kamu nerima dia juga karena hutang budi, ya?"

My First and LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang