Jangan lupa vote dan komentarnya 💚
Biar aku makin semangat 💚
"Umur hampir 30, nih. Apa lagi yang kamu cari?"
"Uang, Ma."
Jawaban singkat yang begitu realistis itu Erina ungkapkan secara jujur pada Abigail sambil jarinya fokus menggulir online shop di ponsel, berniat membeli skincare yang stoknya hampir habis secara bersamaan.
Abigail yang duduk di hadapan putrinya menghela napas panjang, sudah mulai lelah menerima jawaban yang sama selama bertahun-tahun sejak Erina mulai mendapat pekerjaan dan menghidupi dirinya sendiri.
Meski tahun depan usianya sudah menginjak kepala tiga, Erina tetap tinggal bersama orang tuanya. Bukan sebatas tidak ingin meninggalkan Darius dan Abigail berdua, Erina hanya merasa lebih hemat jika dia tinggal bersama orang tua selagi uang hasil jerih payahnya ditabung untuk DP rumah.
Tentu dia masih butuh waktu sedikit lebih lama untuk menabung agar uangnya terkumpul, sebab itulah sekarang yang Erina pikirkan hanya mencari uang untuk dia dan keluarga. Berbeda dengan keluarganya sendiri yang inginkan hal lain seperti menantu dan cucu.
Maklum saja. Keduanya sudah memasuki pertengahan 50, maka jelas Darius dan Abigail menginginkan hal lain sebelum mereka berpulang; Erina bisa menikah dan tidak akan kesepian bila ditinggalkan. Jangankan menungu orang tuanya berpulang, mereka juga berharap Erina tidak terlalu merasa sendirian bila sudah berhasil mendapatkan rumah. Anak tinggal satu, jadi jelas sulit dilepas bila tidak ada orang yang bisa dipercaya untuk membantu.
"Maksud Mama bukan itu, Nak," ucap Abigail.
"Aku udah beli makanan juga, jadi Mama nggak perlu masak."
Erina menginterupsi Abigail yang berusaha membahas soal pasangan. Sengaja agar sang ibunda melupakan agenda terkait pasangan untuk sejenak karena telinga Erina mulai pengap tiap mendengar. Sejak usianya memasuki 25 tahun, pertanyaan soal pernikahan, rumah tangga, bahkan anak jadi teman setia Erina yang masih ingin menata hidup. Meski sudah terlalu sering, bukan berarti Erina terbiasa dan berharap orang-orang berhenti mengungkit hal yang tidak ada, khususnya dari orang tua.
Yah, tentu sulit dan sayangnya Erina tidak punya kuasa untuk menghentikan, sebab dia tahu ujung-ujungnya pasti akan kalah juga.
"Erina, simpan dulu handphone-nya. Mama masih mau ngomong."
Erina menurut dan meletakkan ponsel di atas meja yang dihias bunga artificial agar tidak terlalu suram. Erina bersidekap, menyiapkan telinga untuk sekian kalinya dan mendengarkan Abigail membicarakan hal sama tanpa merasa bosan.
"Kamu harus serius soal ini, Nak. Mama sama Papa nggak mau kamu kesepian. Kami nggak maksa kamu buat langsung nikah, kok. Minimal ada pacar yang bisa bikin kamu semangat, bikin kamu seneng, terus nggak sendirian di rumah, dan punya alasan keluar. Sejak Sabrina udah nggak nginep lagi, kamu jadi di kamar terus. Bagus sih, tapi kamu juga harus bersosialisasi selain karena kepentingan kerjaan. Masa kebiasaan dari remaja dibawa sampai sekarang? Kamu harus bisa lebih baik, tapi nggak perlu maksain."
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last
FanfictionBermula dari pertemuan di hari pertama semester 5, berhasil membangkitkan rasa dalam waktu yang terbilang singkat. Mirza dan Erina saling mengenal, hingga percaya diri untuk memadu kasih sebagai pasangan. Layaknya pasangan muda pada umumnya, mereka...