Jangan lupa vote dan komentarnya 💚
Biar aku makin semangat 💚
"Mirza, Mirza, Mirza."
Layaknya panggilan horor yang digemakan tiga kali, Mirza ingin sekali menyingkir dari tempatnya duduk sekarang dan menghindari orang yang baru saja masuk ke kelas dengan langkah ringan. Sayang, keinginan itu tidak bisa dilakukan secara sembarang karena tempatnya sekarang sudah diatur sesuai nomor urut selama UAS. Sialnya, Lian, yang tadi memanggilnya, duduk di samping Mirza dan tampak senang bisa berbagi nasib dalam jarak dekat.
Mirza sudah senang sekali duduk di bangku belakang. Bukan karena bisa mencontek, melainkan suasananya yang pas di dekat jendela dan masih bisa merasakan mentari pagi untuk menjernihkan pikiran. Begitu ingat Lian duduk tepat di sampingnya, kesenangan itu seketika sirna dan bertransformasi jadi kekesalan yang harus ditahan sepanjang ujian berlangsung.
"Jangan asem gitu dong mukanya," titah Lian seakan dia pengatur ekspresi yang bisa dituruti dalam sekali bicara. "Udah baikan juga sama Erina. Berarti bisa juga baikan sama gue. Ya, nggak?"
Mirza mengerling malas dan menatap lurus ke arah meja pengawas yang berharap bisa segera tiba dan memulai ujian. Lian baru bisa tenang jika ujian telah dimulai dan itu masih lima belas menit lagi.
"Ayolah, Za. Gue nggak ada maksud buat bikin kalian berantem. Gue juga mana tahu si Galvin bakalan datengin Erina," bujuk Lian yang masih belum menyerah, sudah seperti laki-laki sedang membujuk pacar yang emosinya masih tinggi. "Gue janji nggak akan gitu lagi. Gue traktir lo sepanjang ujian, deh. Ini fix, no tipu-tipu. Sekalian doa juga buat lo sama Erina langgeng."
Jangankan oleh Lian, Johnny saja belum berhasil mendekati Mirza sepenuhnya dan melupakan segala pertikaian kecil yang sempat menimpa. Maka tidak heran jika untuk kali ini lebih sulit berdamai dengan Lian karena dampaknya pada Mirza dan Erina juga cukup besar. Permintaan maaf Lian bisa diterima, tetapi Mirza ingin hati-hati karena mulut dan jari Lian kadang tidak terkendali.
"Ngomong-ngomong, hari ini gue mau jalan sama Sabrina, lho."
Mirza kontan menoleh dan membeliak tak percaya. "Masa, sih?"
Lian tersenyum lebar hingga matanya menyipit karena telah mencuri atensi yang dicari, sedangkan Mirza mengumpat dalam hati karena berhasil dijebak oleh akal-akalan temannya. Mirza merengut sebal, tidak bisa pura-pura abai lagi karena Lian terlalu cerdik untuk dilawan.
"Ini beneran, kok," ucap Lian secepat kilat sebelum Mirza berpikir dia hanya mencari perhatian. "Gue sama Sabrina mau jalan bareng. Enggak ke tempat aneh, paling makan atau nongkrong di mana gitu. Terserah dia deh pokoknya."
"Emang dia mau? Gimana coba caranya lo bujuk adik sepupu El yang rada galak itu?" Lian terkekeh pelan mendengar Mirza yang semangatnya muncul.
"Udah mulai kepo, nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last
FanfictionBermula dari pertemuan di hari pertama semester 5, berhasil membangkitkan rasa dalam waktu yang terbilang singkat. Mirza dan Erina saling mengenal, hingga percaya diri untuk memadu kasih sebagai pasangan. Layaknya pasangan muda pada umumnya, mereka...