PART 9

3.2K 471 28
                                    

"Tinggal bilang anak temennya Bapak Chris, kan?"

Dior mengangguk. Dua-duanya hari ini memakai setelan rapi. Ya, walaupun hanya kemeja dengan bawahan jeans, tapi itu setelan rapi untuk mereka. Dior dan Sada melangkah bersama dari pinggir jalan tempat taksi online yang membawa mereka berhenti, menuju gedung supermarket yang cukup besar di depan sana. Supermarket yang cukup terkenal dan punya banyak cabang.

Karena tak mungkin langsung samperin managernya, jadi Dior dan Sada terlebih dulu menghampiri petugas keamanan.
Pria berpakaian hitam itu langsung membawa mereka ke tempat manager.

"Saya Ersada Dion, Pak."

"Saya Ersaga Dior."

"Kalian kembar?" tanya Manager supermarket, yang baru mereka ketahui namanya Pak Dandi itu. Orangnya tinggi, perutnya berisi lemak, dengan wajah ramah, dan sepertinya tipe-tipe orang yang suka becanda, tapi soal pekerjaan dia bisa jadi garang.

"Nggak, Pak. Adek-kakakan aja," sahut Sada.

Dior hanya tersenyum.

Pak Dandi mengangguk-angguk sembari berseru, ohhh ... "Ersaga-Ersada," ulangnya menyebut seraya menunjuk bergantian dua pemuda di depannya.

"Panggil saya Sada aja, Pak."

"Saya Dior, Pak."

Pak Dandi pun kembali mengangguk-anggukkan kepala. "Oke, Sada-Dior. Jadi, di antara kalian, siapa yang punya asma?"

Pertanyaan itu dilontarkan Pak Dandi sembari menatap mereka lekat.

Dior mengacungkan tangan. "Saya."

"Parah?"

Dior ragu antara mau mengangguk atau menggeleng. Soal keparahan dia juga tidak tahu. "Lumayan akut," sahutnya dengan nada suara menimbang, agak ragu. "Kayaknya." Kemudian menambahkan kata itu dengan suara pelan.

Pak Dandi langsung mengembuskan napas panjang. "Haduhhh, kalo ada apa-apa nanti jangan maksain diri, ya? Istirahat aja. Saya gak mau beda-bedain pekerja walaupun kalian anak temennya bos, tapi untuk kamu, saya juga gak mau sampe terjadi apa-apa sama kamu. Sada kamu yang paling tahu kondisi adik kamu, suruh istirahat aja kalo udah keliatan capek."

Sada mengiyakan saja walaupun dalam hati merasa sedikit tersentil oleh ucapan Pak Dandi.

"Hari ini kalian belum mulai kerja, ambil seragam dulu aja, terus nanti supervisor akan jelaskan kerjaan kalian. Kalian belum ada pengalaman, jadi nanti kerja sambil belajar aja, ya? Nanti dibimbing sama supervisor atau seniornya. Dan besok mulai kerja. Inget, pagi."

Sada dan Dior mengangguk. Mereka hari ini datang pukul 13.00. Yaaa, emang keliatan banget sih rajinnya.

Sesuai perkataan Pak Dandi. Hari ini Sada dan Dior hanya mengambil seragam, lalu bertemu supervisor yang menjelaskan dibagian apa mereka kerja, dan bagaimana mereka kerja. Menjadi team toko yang tugasnya banyak, memastikan stock barang yang dipajang lengkap, didisplay sesuai aturan FEFO. Pastikan bersih, rapi, tertata, teliti, dan tujuan paling utama, membuat pembeli puas. Selalu ramah dan murah senyum. Banyaklah tugas mereka yang di bilang bapak-bapak tadi. Sada dan Dior tak ambil pusing. Seperti prinsip hidup mereka, "Gimana nanti aja dah."

Selepas dari supermarket, sekarang keduanya lagi makan di warteg. Dicari warteg yang paling nyaman, bersih, dan tak ada asap rokok pokoknya. Jujur mereka belum pernah masuk ke warteg atau apa pun warung makan di pinggir jalan. Jadi, ini pertama kali, makanya mereka pilih-pilih.

Sada dan Dior duduk bersebrangan. Di hadapan mereka sudah ada sepiring nasi dan lauk pauk yang dipilih.

"Gue jadi kepikiran kata Pak Dandi." Sada mengeluarkan suara disuapan pertamanya.

"Apaan?" tanya Dior sembari menyuap santai sesendok nasi dengan lauk tumis ayam suwir dan tempe orek. Enak. Dior suka. Kebetulan dia suka masakan rumahan kayak gini, makanya Dior selalu makan malam di rumah, walaupun kadang sendiri, karena bibi yang masak.

"Lo kerja gak pa-pa, kan, Yor?" Sada memandang dengan sedikit khawatir dan dari tadi terus kepikiran. Takut-takut Dior nanti malah tumbang pas kerja.

"Gue liat orang-orang tadi pada sibuk banget, supermarketnya juga rame banget. Apa kabar asma lo?" Sada masih memandang dengan pandangan serius.

Dior meneguk minum. "Santai aja. Kalo gue capek tinggal istirahat. Yang punya tempat kan temennya papa ini. Yang penting dapet cuan lah, Da. Kasian si Jio kalo tiap hari dapet bekel 50 ribu doang," katanya.

"Eh, seratus, ya! Gue tambahin," Sada meralat.

Dior melengos. "Seratus ribu juga doang kali, Da. Lu pas kuliah dapet bekel berapa coba??? Mana ditambah kredit card, kan? Gak ada limit."

Sada diam. Iya sih. Kalo dipikir-pikir. Miris sekali adeknya itu. Tiba-tiba Jadi kepikiran, sekarang Jio lagi jajan apa ya ... ? Mana bawa mobil, duit bensin termasuk duit jajan, gak Sada kasih lebih. Ya, gimana mobil dibawa Jio. Berarti Sada dan Dior harus pakai taksi online, ongkosnya lumayan.

"Tuh bocah makan siang apa, ya? 50 rebu kan biasanya buat minum doang dia," ucap Dior. Sama seperti yang tadi lewat di otak Sada, mempertanyakan itu.

"Eh, 120 rebu, ya! Kan gue tambahin 50, lu 20." Sada meralat lagi dengan rinci. Enak aja dibilang 50, kesannya kan dia jadi keliatan jahat banget kalo gitu, kasih jajan adek ngampus lima puluh ribu doang.

Oh iya, Dior lupa. 120. Tapi tetap saja. Dior ragu adiknya tahu tempat makan murah. Anak Fredrick yang satu itu kan dari kecil kebiasaan dimandiin pake dolar biar gak rewel. Sekarang dikasih blangsak. Bawa uang 120 ribu. Bisa hidup kagak dia??? Dior jadi kepikiran.
Daripada terus mengira-ngira, Dior buka handphone, langsung menghubungi yang bersangkutan.

"Ji, lo masih idup, kan?"

Jio terdengar mendesah panjang. "Setengah mati. Gue lagi geletakkan aja di rumah. Gak bisa nongkrong, duitnya gak cukup. Sedih banget lah. Kapan pada pulang?"

Jio mengadu dengan miris. Sada juga bisa dengar karena Dior sengaja loud speaker.

"Bentar lagi, kita makan dulu. Lu udah makan?" tanya Dior, sebagai kakak yang agak perhatian.

"Belom. Laper banget gue, tadi cuma bisa beli burger di drive thru."

Bisa dipastikan Jio lagi pasang wajah cemberutnya sekarang.

"Kasian banget lu, mau makan apa?"

"Mmmm." Di sebrang sana anak itu mengeluarkan suara gumaman panjang, pertanda sedang berpikir.

"Gue masak aja, Ji." Sada mendekatkan mulut pada handphone Dior yang ada di meja.

"Dih, emang lo bisa. Gak usahlah, nyalain kompor aja kagak pernah," sahut Dior cepat. Baru dengar niatnya doang, udah ngeri aja dia.

"Yor, lo kira kita beli telor kemaren buat apaan? Makan mentah? Ya, buat dimasak lah!" kata Sada sewot.

"Gak percaya gue. Ji, mau apaan?" Dior tetap bertanya. Tak ada sedikit pun kepercayaan pada Sada kalau soal masak memasak. Dia nyalain kompor aja, 24 tahun hidup kayaknya gak pernah.

"Bang, jangan racunin gue, plis. Gue mau ayam spicy mcd aja, Bang," pinta Jio.

Dior mengangguk. "Oke," sahutnya. Lalu mematikan panggilan.

"Yor, kita harus hemat. Beli mulu."

Sada menatap dengan raut wajah tak rela. Uang di dompet nya akan terpakai lagi, kesel banget, padahal tinggal goreng telor apa susahnya. Dia juga bisa kok.

"Tapi gue lebih sayang sama perut Jio," ucap Dior.

Sada mendecih. "Awas aja lo pada, tar gue belajar masak. Masakan gue bakal enak!"

Dior hanya mengunyah. Tidak terlalu mendengarkan ucapan Sada yang penuh ambisi itu.

---

🌱
🤗

Tak bosan kubilang..

Jangan berharap gini gitu ya..

Soalnya cerita berjalan seringnya gak sesuai harapan.

ERSAGA (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang