Sada masuk kerja hari ini karena sudah lama absen. Malu lah sama teman-temannya, keliatan banget the power of orang dalem. Dior di rumah sendiri, udah baikkan juga gak pa-pa. Tapi tetap saja selama bekerja Sada tak tenang. Sampai dia chat Dior terus-terusan. Satu jam lagi sebelum pulang. Jio menelepon terus. Sada izin ke belakang pada temannya untuk membuka handphone yang terus bergetar.
"Apa, Ji?"
"Bang Dior kumat. Udah pake nebulizer sama inhaler gak mempan."
Suara Jio terdengar panik. Jelaslah, anak kecil itu tak pernah menangani Dior secara langsung, biasanya selalu Sada. Tapi Sada juga jadi ikut panik, dia tahu bagaimana Dior kalau kambuh akhir-akhir ini.
"Bawa ke klinik yang di depan dulu aja deh, Ji. Lo bisa kan bawanya?"
Secara postur, tubuh Jio lebih tinggi. Tidak akan sulit untuk memapah Dior.
"Bisa, tapi kan, Bang, di rumah ada motor doang."
Oh, iya. Sada mengusap jidatnya yang berpeluh. Lupa, mobil dia yang bawa.
"Telepon aja kalo gitu, Ji. Di dompet Dior ada kartu klinik. Di sana ada nomor telepon kliniknya, kalo gak salah. Coba deh lo cari."
Beberapa lama hanya terdengar suara grasak-grusuk.
"Oh iya, ada, Bang. Yaudah gue telepon dulu, ya."
Telepon dimatikan. Sada mau pulang, tapi tanggung, tapi rasanya harus pulang. Dia kembali ke dalam supermarket, melangkah cepat mencari atasannya. Sada izin pulang, Pak Bambang langsung mengizinkan begitu dia bilang Dior kambuh.
-
Kemampuan balapnya digunakan di saat darurat seperti ini walaupun dicaci oleh pengendara lain, tapi Sada tutup telinga kali ini. Rumah kosong saat Sada sampai.
Sada menelepon Jio. "Ji, di mana?"
"Di klinik, Bang. Abisnya gue telepon nomor yang ada di kartu, gak diangkat-angkat. Yaudah nekat aja bawa bang Dior pake motor, deket ini."
"Terus sekarang Dior gimana?"
"Ya, gitu."
"Gue nyusul ke sana."
Sada mematikan telepon, kemudian kembali masuk ke dalam mobil. Mengeluarkannya dari halaman rumah, melaju menuju klinik yang berada tak jauh dari perumahan.
-
Kondisinya sama seperti kemarin. Napasnya terlihat berat. Di balik masker oksigen, Dior tampak kepayahan menarik napas.
"Ke rumah sakit ajalah, Yor. Seenggaknya gue tenang ninggalin lo di sana. Bisa titip suster," kata Sada.
Dior menggeleng. "Sabtu, Da. Jio libur. Biar bareng-bareng, gue gak mau sendirian di sana. Tar sekalian balik rumah," katanya, disela tarikan napas yang berat.
Sada menghela napas. "Ngapain balik sih, Yor?"
"Lo gak kangen rumah, Da?"
Sada menggeleng. Tidak sama sekali.
"Mama pulang," ucap Dior.
"Terus kenapa kalau Mama pulang? Mau ngapain juga ketemu dia." Sada menatap tak suka.
Saat pernikahan Manda. Waktu itu, Sada sudah mulai menghapus marahnya, tapi setelah pernikahan ternyata Manda tidak berubah. Tetap jarang menghubungi mereka. Gak usah dalam cakupan kata 'mereka' deh. Seenggaknya, Jio gitu yang anak bungsunya atau Dior yang sering nunggu-nungguin. Sekadar nanya kabar aja, gak akan ngabisin waktunya yang berharga kok. Manda kalo gak dihubungin duluan sampe matahari terbit dari arah barat pun kayaknya gak bakal ngehubungin. Membuat Sada kembali merasa kesal pada wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERSAGA (Selesai)
Fiksi Umum**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang Ersaga Dior dan dua Saudara Er nya.