PART 8

3.3K 427 60
                                    


Dior membuka mata. Dia yang pertama bangun. Diliriknya Sada yang masih mendengkur. Sembari menguap lebar,
Dior bergerak duduk, menggaruk-garuk punggung, masih belum sepenuhnya terbangun.

"Jii, lo gak kuliah?"

Dior bertanya dengan nada menggumam. Walaupun tahu akan percuma. Seorang Jio tak akan terbangun hanya dengan suara panggilan, apalagi pelan. Tangan Dior lalu terulur, menyalakan handphone. Matanya memicing melihat jam, lalu mengambil handphonenya itu untuk memperjelas melihat jam yang tertera di sana.

"ASTAGA! JAM 11. Da, bangun. Ji, lo kuliah jam berapa????"

Dior beranjak melangkahi Sada. Naik ke tangga untuk membangunkan Jio.

"Ji, bangun. Lo kuliah jam berapa, anjir. Ini dah jam 11 siang."

Jio membuka mata sedikit, menggeliat malas.

"Apaan sih, Bang? Berisik banget," gumamnya samar.

"Lo kuliah jam berapa bego?! Bukannya hari ini lo mulai masuk."

Ya, setelah habis masa liburan, harusnya hari ini Jio masuk.

"Jam 8, bentar, lima menit lagi, Bang."

Jam 8. Jio goblo. Dia kira ini jam berapa.
Tidur kok sampe lupa hidup.

"Ini jam 11, Ji! Bangun cepetan!!!"

Mendengar kata sebelas. Mata Jio langsung terbuka sepenuhnya, terduduk seketika.

"Gue bikin alarm, kok gak nyala," katanya. Menyalakan handphone. Nyata memang sudah menunjukkan pukul 11.00.

"Lunya bangke, kebiasaan banget, makanya hari libur tuh jangan diabisin pake clubbing. Mampus kan lu kebiasaan bangun siang," Dior mengomel.

Mendengar suara ribut. Sada terbangun.

"Paan si pagi-pagi dah ribut aja lo berdua. Malu sama ayam yang belum berkokok," katanya.

"Pala lo belum berkokok. Udah cari nafkah ayam jago jam segini!"

Dior turun dari tangga, melangkah keluar dari area kamar. Sada duduk. Mengucek mata.

"Abang lo yang satu itu berisik banget dah, Ji."

Jio belum turun masih mager.

"Padahal kan gue udah biasa gak ngikut kelas pagi, ya, Bang? Lagian baru masuk juga, gak akan langsung efektif, paling pembagian jadwal matkul baru sama perkenalan dosen baru. Gak peduli gue sama yang begituan," ucap bocah itu. Santai aja.

"Tapi Ji, lu beberapa semester kemaren lulus kan dibantu papa. Sekarang, kan lu udah setengah dicoret dari kartu keluarga. Mampus semester ini gak lulus, lu ngulang sendiri keknya."

Sada bersuara. Cukup jelas terdengar ke ranjang atas. Jio langsung melesat keluar. Turun dari ranjangnya dengan sangat cepat sampai Sada terbengong.

-

"Lima puluh rebu doang? Emang gue anak TK!"

Jio menatap Sada dengan ketidakrelaan. Tangannya yang menengadah masih bertahan dalam posisi itu, padahal uang lima puluh ribu sudah Sada keluarkan dari dompetnya, dan diletakkan di atas telepak tangan itu.

"Makan apa gue, Bang? Dapet aer minum doang segini mah."

Adiknya masih mengeluh. Sada meneguk air mineral dengan tenang.

"Makan nasi sama minumnya aer aqua, jangan starbuck."

Jio mendesah panjang, tangannya yang menengadah belum juga ditarik.

"Bang. Ya Tuhaannnn, jahat banget lu."

"Udah sono berangkat, sekarang lu gak usah sok-sokan deh traktir semua antek-antek lo itu. Bilang ke mereka sekarang lo miskin, terus liat dah, siapa yang masih setia ada di sisi lo," racau Sada.

Dior tak berniat ikut campur, dia hanya terkekeh sembari menggigit roti tawar selai kacang. Jio tidak juga beranjak, anak itu cemberut di tempatnya. Seperti mogok gerak dan mogok ngomong dadakan.

"Nih, gue tambahin dua puluh rebu deh."

Karena tak tega, akhirnya Dior merogoh uang di saku celana, meletakan di atas telapak tangan Jio, kembalian dari makan di McDonalds kemaren.

"Yang bener aja. Please lah, Bang, dua ratus lah dua ratus," rajuknya.

Sada menurunkan roti tawar yang tadinya akan dia gigit.

"Banyak mau bener anaknya Fredrick, berangkat sana. Lo mau taun depan ngulang?"

"Abaaangggg ..." Jio si bocah nakal merengek.

"Adek lo tuh, Yor."

Sada dengan cuek malah beranjak, melangkah menuju dapur.

"Banggg, please lah, Bang. Pleeaasse ... "

Jio terus berusaha, dia tak mungkin berangkat ngampus hanya dengan uang 70 ribu.

"Kasih lah, Da. Lima puluh rebu lagi."

Lama-lama Dior makin tak tega. Dulu dia kuliah jajannya transfer ATM dengan nominal beberapa kali lipat gaji pekerja.
Jio juga sama sebenarnya. Tapi kan jaman Dior tak pernah ada hukuman blockir-blockiran ATM. Eh, giliran Jio. Masa kuliah masih panjang, ATMnya udah diblokir aja. Miris bener.

"Tar kan kita kerja, dapet gaji," ucap Dior, mencoba membantu adiknya agar dibeli uang lebih.

Sada menghela napas, menengok wajah adik bungsunya yang melas. Ya, kasihan sih.

"Yaudah, lima puluh rebu lagi. Udah, ya."

Jio mengangguk-angguk.

"Bentar, gue ambil dulu."

Sada melangkah ke lantai atas untuk mengambil uang. Jio tersenyum lebar melirik Dior. "Makasih, Bang," katanya.

"Kasian banget nasib lo, Ji. Duduk dulu sini, gue bikinin roti."

Jio nurut duduk di kursi depan Dior. Menunggu kakaknya itu mengolesi roti dengan selai coklat.

"Mulai sekarang lo harus kuliah yang bener, jaga-jaga kalo Fredrick bener-bener coret kita dari kartu keluarga. Jangan kesiangan mulu."

"Lo juga dulu kesiangan mulu, banyak absennya lagi," Jio nyahut.

"Ya, jangan diturutin, gue emang bukan contoh yang baik. Nih ... " Dior menyodorkan roti yang sudah selesai dia olesin selai. "Gini-gini gue sayang sama lo, Ji," katanya.

Jio menerimanya, dengan senyum merekah. Lalu menggigit roti itu dengan gigitan lebar.

--

Ji, bocah nackal.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ERSAGA (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang