Dior dan Sada keluar rumah di saat langit masih gelap. Mereka juga masih ngantuk, tapi tadi Sada sudah menyempatkan diri menyesap kopi terlebih dulu, biar dia melek, bahaya kalau menyetir saat mengantuk. Dior tidur lagi di mobil. Sada membiarkannya. Dia pacu kendaraan roda empat itu dengan cepat agar tidak terlambat untuk mandi dan sarapan di rumah lalu pergi bekerja.
-
"Tumben banget, Da, gak secerah biasanya. Tar Bu inggrid khawatir lho, liat lo lemes gitu."
Temannya menggoda dengan menyebut nama ibu-ibu langganan, yang ngefans banget sama Sada. Sada hanya menanggapi dengan senyum tipis lalu berfokus kembali pada pekerjaannya.
-
"Da, ikut gue."
"Eh, Rik, titip." Sada memberikan kotak makan yang dia bawa pada temannya. Jam istirahat baru berjalan lima menit.
Sada hendak makan setelah mengambil jatah makan siangnya, tapi tiba-tiba Dior datang menarik tangannya. Membawa Sada ke parkiran, kemudian masuk ke dalam mobil."Mau ke mana?" tanya Sada.
"Gak ke mana-mana. Mau ngomong aja di sini," sahut Dior. Setelah menjeda beberapa lama, dia mengembuskan napas panjang. "Abis istirahat, kita izin," katanya sembari melirik Sada.
Sada menatap dengan kening mengkerut.
"Jio. Gue dapet panggilan dari kampus dia masuk dalam keadaan mabok. Badannya bau alkohol. Gue gak tahu seberapa banyak yang tuh anak minum sampai tumbang, sekarang dia di rumah sakit, katanya pingsan. Nanti kita ke kampusnya dulu, terus jemput Jio di rumah sakit."
Sada diam saja tak menyela selama Dior berbicara. Sesudahnya. Menjeda beberapa detik. Baru Sada mengembuskan napas keras. Menarik rambut ke belakang, lalu menghempaskannya. Tampak ingin mengumpat, tapi berusaha ditahan.
"Ck, sekarang gue makan dulu dah. Laper!" Sada keluar dari mobil. Masuk kembali ke supermarket lewat pintu belakang.
-
"Da, awas lo marahin Jio."
Melihat wajah Sada yang datar sejak pagi, dan tampak merah padam sejak Dior memberitahukan tentang Jio. Dior takut Sada akan kelepasan mengeluarkan amarah pada adiknya.
Walaupun Dior sendiri agak kesal. Ya, sebenarnya udah biasa mereka clubbing.
Hanya salahnya, Jio tidak menghubungi dan susah dihubungi, terus mabuk sampai hangover. Entah si kuat Jio minum berapa banyak. Mana masih mabok, masuk kampus lagi. Nambah masalah.-
Sebelum menghampiri adiknya. Sada dan Dior memenuhi panggilan kampus terlebih dulu. Atas perbuatan tak baik Jio, mereka meminta maaf pada dosen, dekan, dan rektor. Pokoknya tadi mereka di kelilingi petinggi-petinggi kampus, yang tampak menahan kesal karena kelakuan mahasiswanya itu yang memalukan. Tapi seperti yang sudah-sudah, pihak kampus tak pernah berani bertindak lebih, Fredrick tetap orang penting untuk mereka.
Setelah selesai urusan dengan kampus. Mereka bergegas menuju rumah sakit, tempat Jio dilarikan saat jatuh pingsan.
Jio masih di UGD karena belum ada wali yang mengurus ruang rawatnya. Sada kemudian mengurus ruang rawat untuk Jio, sementara Dior menemuinya di balik tirai UGD. Jio sedang tertidur. Matanya tampak bengkak, dan wajahnya agak memerah. Dior menghela napas, duduk di kursi samping ranjang.-
"Catet, Yor. Pengurangan jajan 50 rebu."
Mata Sada lurus menatap Jio dengan tajam. Walaupun dia sedang duduk di sofa, tapi bisa melihat, baru saja adik kecilnya membuka mata dan menutupnya kembali saat menyadari di mana dia dan ada siapa di sana. Jio tetap menutup mata seolah belum bangun.
"Pura-pura tidur, dikurangin lagi 20 rebu."
"Ishh!" Jio langsung buka mata. "Gak usah dikasih jajan sekalian! Biar gue jual diri aja buat jajan. Udah gak disayang juga sama lo," katanya kesal.
"Heh, bocah! Gak sayang lo bilang, kemaren gue semaleman cariin lo, ya! Karena apa???? Karena gue sayang lah, goblok! Males banget gue nyetir sana-sini kalo gak sayang," cerocos Sada. Bibirnya mendecih diakhir. Raut wajahnya lebih kesal dari Jio.
Dior yang semula berdiri di dekat kaca lebar. Melangkah mendekat ke ranjang,
duduk di tepian. "Minum berapa banyak lo? Satu club lo borong semua? Dapet duit dari mana?"Jio terdiam, diserang dengan pertanyaan oleh Dior, dia menunduk, bibirnya mengatup.
"Dapet duit dari mana?" Pertanyaan Dior diulang Sada. Lebih galak. Kakak pertamanya itu beranjak, ikut duduk ditepian ranjang yang satunya. Jio merasa terpojok.
"Tante." Akhirnya Jio menyahut dengan sangat pelan dan kepala menunduk dalam. Walau bagaimanapun seorang Jio selalu jujur. Sekalipun dia tahu resikonya tinggi. Itu nilai plus dari bocah polos brengsek itu.
"Seriusan, Ji." Sada tak percaya. Dia menuntut jawaban jujur dengan suara dan tatapan datarnya. Jio pasti becanda.
Kepala Jio makin menunduk. "Beneran," katanya dengan suara lebih pelan. Matanya menutup saat Sada beranjak cepat lalu menggebrak nakas keras. Dior pun sampai terperanjat.
"Lo belajar dari siapa sih, Ji?! Gak ada harga dirinya ya, lo?! Manda jangan diikutin!" Sada menatap ke arah Jio, tampak sangat marah. Napasnya berembus keras dan rahangnya tajam.
"YA TUHAANNNNN!!!!!! Boleh kali gue nyebut sekali aja." Sada mengembuskan napas kasar. Menghempaskan pantat di sofa. "Gue keluar dulu, dah. Daripada emosi di sini," ucapnya kemudian. Baru duduk, bangkit lagi. Membuka pintu lalu menutupnya dengan keras.
Setelah Sada pergi. Jio makin menunduk.
"Tapi lo pake pengaman, kan?" Dior jauh lebih bisa tenang, walaupun sama, merasa ingin marah. Goblok banget adiknya. Jio sekali dua kali emang jajan cewek, tapi dia gak pernah jadiin diri sebagai jajanan cewek. Apalagi tante-tante. Jio menggeleng.
"Ji--" Dior menahan napas. Kebodohan macam apa lagi. Gak bisa kalo gini, kalo gak marah. Ketololan lah!
"Maksudnya. Gak ngapa-ngapain, Bang. Cuma nemenin minum doang," ungkap Jio. Menghela napas, melirik Dior. Melihat wajah kakak keduanya yang sudah merah padam seperti akan meledak.
Amarah Dior yang sudah ada diubun-ubun, tertahan.
"Gue gak kayak Mama muda." Kepala Jio kembali menunduk dalam, takut dengan tatapan tajam. Padahal dia juga tahu, Dior tak mungkin menatap tajam seperti Sada.
"Ck, Mama juga gak pernah jual diri. Dia dapet uang dari Papa," ucap Dior. Itu kenyataannya, hanya saja Sada sering berpikir lain.
"Lo kenapa? Ada masalah di kampus? Angkat kepala lo, Ji. Sejak kapan lo doyan nunduk."
Jio mendongakkan kepala. Raut wajahnya seperti anak kecil yang takut dimarahi.
"Ada masalah di kampus?" Dior mengulang pertanyaan. Jio menggeleng.
"Jangan bohong. Kalo ada yang gangguin lo. Bilang kita."
Jio kembali menggeleng.
"Terus kenapa mabok sampe segitunya? Mana gak bisa dihubungin lagi. Biasanya lo selalu bilang kalo mau dugem."
"Gak tahu, lagi pengen aja," Jio menyahut. Dior menatap seolah ingin menilik kebohongan.
"Gue laper, gak sarapan, terus makanan semalem habis dimuntahin lagi tadi pagi. Lo berdua gak siapin makan? Jahat banget."
Wajah Jio kini cemberut seperti bayi. Yang kayak begini semaleman maen sama Tante. Tapi pantes sih, tante-tante pasti suka sama dedek-dedek macam Jio begini. Bahaya juga dipikir-pikir. Harus Dior jaga lebih ketat bayinya itu.
"Bentar gue minta Sada beli."
"Jangan Bang Sada. Dia masih marah," cegah Jio. Ciut emang dia kalau Sada udah kayak gitu.
"Gue marahin balik, kalo dia marah lagi sama lo," ucap Dior, lalu mengangkat handphone, meletakkan di telinga.
Menunggu panggilannya diterima dengan mata terus memandang Jio yang terdiam menggigit bibir. Takut sama Sada.--
KAMU SEDANG MEMBACA
ERSAGA (Selesai)
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang Ersaga Dior dan dua Saudara Er nya.