SND 13

3.1K 301 50
                                    

Hallo kembali lagi di bab yang baru sambungan dari mew's wife season 1.
Yang belum baca cus baca dulu biar nyambung ke bab ini.


🌈🌈🌈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌈🌈🌈

Saat sore, Gulfie bermalas-malasan mencari udara segar duduk bersantai di balkon apartement balik kamarnya, cahaya senja menguning menampilkan warna estetik.

"Di sini rupanya?" Mew datang masih mengenakan jas mendekati Gulfie. Tangannya bertengger di atas kepala Gulfie mengusap semestanya.

"Win belum pulang?" tanyanya.

"Belum," jawab Gulfie seadanya masih setia dengan sebuah ponsel yang sedari tadi menemaninya.

"Phi Mew ...," ucap Gulfie ketika tangan Mew mulai nakal masuk ke dalam kemeja oversize yang digunakan Gulfie sore ini.

Mew dengan tampang manja jongkok menghadap istrinya. " Kangen ...." Sambil menaik-turunkan alisnya.

"Phi lupa? Gupi halangan loh?" ucap Gufie membuat Mew seketika lesu, menjatuhkan kepalanya di paha Gulfie.

"Hpmph ...." Melasnya. "Kok lama sih?" Menatap Gulfie.

"Orang baru tiga harian, masak udah kangen aja, sih?" Gulfie gemas mencubit hidung suaminya membuat Mew mengaduh kesakitan.

"Mandi gih, bau asem soalnya," suruh Gulfie pada suaminya.

Mew dengan lesu berjalan ke arah bilik mandi.

Ketika Mew mandi seorang Gulfie dengan telatennya menyiapkan piama dan alat pakai Mew lainnya. Gulfie beralih memungut tas kerja yang di letakkan Mew sembarangan. Saat mengangkatnya sebuah amplop hitam berisikan sebuah kartu yang diketahui Gulfie itu adalah black card.

"Punya siapa, Phi?" tanya Gulfie bersamaan Mew keluar dari bilik kamar mandi.

"Apa?" Memperhatikan yang di pegang istrinya.

"Oh itu, untuk Win," ucap Mew menyeka rambutnya yang masih basah.

"Untuk Win?"

"Iya, sayang ..."

"Hey, ada apa dengan ekspresimu?" tanya Mew ketika wajah Gulfie mengerut.

"Phi, kenapa Win dibuatkan kartu ini sih?"

"Emang kenapa? Kau punya Win juga harus punya," ucap Mew sambil memakai pakaian yang di siapkan Gulfie tadi.

"Win jangan dikasi ini, Phi." Gulfie menolaknya.

"kenapa sih, lagian kan Win udah besar, udah pantas juga di kasi ini."

"Seharusnya kau bertanya padaku sebelum membuat ini, kau tau tidak anakmu itu sangat gila bermain game online."

"Ya biar aja, Phi kan cuma mau Win bisa dengan bebas menggunakan uang."

"Biar aja Phi bilang? Anakmu mau jadi apa nanti? Dan Win sini!" panggil Gulfie lantang melihat bayangan anaknya di balik pintu, pasti baru pulang setelah bermain seharian seperti biasa langsung mencari Mew dan Gulfie di kamarnya.

"Kebiasaan menguping pembicaraan Papa sama Daddy!" marah Gulfie, dia geram mencubit Win ketika mendekat.

"Duduk!" titahnya agar Win duduk di kasur menghadap Gulfie.

"Win yang minta ini sama Daddy?"

Win semringah melihat kartu yang diinginkannya sudah di depan mata.

"Iy-ya ...," jawab Win ragu-ragu melihat amarah di raut wajah Papanya saat ini.

"Buat apa minta ini hmmm? Buat beli voucher game?"

"Mana ada buat beli voucher, Win mau itu karena teman-teman Win semua sudah punya."

"Ow ... jadi apa yang teman-temanmu punya kau juga harus memiliki." Gulfie semakin menaiki alisnya.

"Kalau temanmu punya Papa baru kau juga mau gitu?"

"Gupi apaan sih?" sela Mew di tengah amarah Gulfie.

"Phi diam saja, sekali lagi Papa tanya buat apa minta ini?"

"Ya kan Win udah bilang-"

"Gupi," sela Mew tidak membaca kondisi.

" Phi!? Win itu tidak membutuhkan ini."

"Kenapa tidak butuh sih pasti butuh lah, anak seusia Win wajar saja kok di fasilitaskan ini."

"Phi kau tidak tau kenapa anakmu menginginkan ini?" Menunjuk benda hitam tadi. "Uang jajannya habis semua beli voucher dan kau tau, Win sampe ngutang sama teman-temannya beli vocher game," jelas Gulfie kesal membeberkan kenakalan Win baru-baru ini biar sekalian Mew marah pada kelakuan anaknya.

"Hah?" kaget Mew menatap Win tajam. "Win sampe ngutang?"

"Iya anakmu itu bela-belain ngutang sama teman-temannya, buat apa? Bilang sama Daddy-mu?" Gulfie menajamkan matanya ke arah Win.

Win menunduk siap menerima amarah sekarang dari Daddy-nya pasti.

"Buat beli skin legend," jawab Win lesu.

"Astaga, Win? Kenapa nggak bilang Daddy, kan bisa Daddy belikan, masa sampai ngutang sih?"

"Phi Mew?" Bukannya marah Mew menawarkan apa yang dibutuhkan Win tentunya itu bukanlah hal baik semakin membuat Gulfie naik pitam.

"Anak sama Bapak sama ternyata, astagah?" Gulfie benar-benar kesal meninggalkan Mew sedang mengusap Win agar putranya tidak terlalu sedih.

"Daddy ...?" keluh Win lemas gagal mendapatkan yang di inginkannya.

"Bujuk gih, Win kan paling pintar melobi Papa, Daddy pakai baju dulu, susul Papamu cepat!" suruh Mew membuat Win mengerti mengikuti Gulfie menuju dapur.

"Papa?" melas Win agar keinginannya dikabulkan.

"Nggak ada, pokoknya Win nggak bakalan Papa izinin pake beginian." Sambil mengeluarkan bahan untuk memasak makan malam.

"Ya udah iya, Win nggak bakal maksa di kasih itu, biar aja teman-teman Win udah punya nggak papa, lagian kan Win cuma anak angkat, nggak mungkin dikasih fasilitas itu," ucap Win mampu membuat Gulfie terhenti dalam pekerjaannya. Gulfie menghela nafas berat.

"Bilang kau anak angkat sekali lagi? Papa lempar kau keluar jendela." Ucapan Win tadi sangat melukai Gulfie.

"Tidak sayang sama Papa lagi hmmm?" tanya Gulfie dengan mata yang berkaca-kaca bahkan suaranya menjadi serak.

Melihat Papanya sedih Win menyesal telah mengatakannya.

"Ambil ini." Melempar kartu tersebut.

"Ini kan yang Win inginkan." Kartu itu di berikan Gulfie dengan perasaan penuh luka di hatinya, bukan begini maksud Gulfie melarang Win memiliki black card, hanya saja Gulfie cemas anaknya nanti semakin candu bermain game, seperti yang terjadi pada anak lainnya.

"Papa, Win nggak mau ini, huwa ...," tangis Win pecah memeluk Gulfie sedang menahan air matanya mulai jatuh membasahi pipi Gulfie.

"Win menyesal mengatakan itu, ma-maaf, Pa. Win nakal, hukum saja Win, tapi jangan menangis karena Win."

"Lepas ...," tepis Gulfie ia melanjutkan pekerjaannya dengan air mata.

"Papa, Win salah. Win minta maaf, uh mulut ini jahat." Memukul mulutnya sendiri. Gulfie langsung menangkap tangan itu kemudian menciumnya.

"Janji sama Papa jangan mengatakan hal tadi lagi?" Menatap Win penuh harap.

Win mengangguk cepat, bening di matanya berjatuhan hingga pipi Win banjir air mata.

"Win tidak akan bilang itu lagi, Win anak Papa, Win juga nggak mau kartu itu hiks ... hiks." Win merapatkan pelukannya menumpahkan kesedihan pada Gulfie.

Mew saat di kamar tidak berani memulai percakapannya dengan Gulfie, setiap kali Gulfie datang bulan, biasanya selalu sensitif dan mudah marah yang sudah dipahaminya, lebih baik tidak menyapanya.

Tangannya nan lembut terus membelai punggung Win dalam pangkuannya, kata-kata tadi terus terngiang di benak Gulfie apa ini salah pikirnya. Pagi seperti biasa Gulfie bangun lebih dulu dari mereka.

"Papa, Win bantu yang mana?" Gulfie terkejut dengan kedatangan Win di belakangnya.

"Win, tumben udah bangun?" tanya Gulfie saat Win langsung berinisiatif membantu Gulfie mengupas bawang.

"Papa udah nggak marah kan sama Win?" tanyanya pelan sambil menunduk.

Saat tidur tadi Win bermimpi melihat dirinya sendiri, tapi dua orang yang berbeda, perasaan bingung saat dirinya yang lain datang dan mendekat lalu berkata.

"Apa kau tidak sadar, Phi, Gulfie itu—Ibumu?" Win sedikit mundur takut siapa diri ini yang di depannya.

"Hei Baby G, lihat hari ini kau membuat Phi Gulfie menangis? Itu jelas kau melanggar kesepakatan kita?"

"Siapa kau?" tanya Win masih ragu pada dirinya sendiri.

"Kau sudah gagal dari beberapa hal, apa mungkin sudah bosan di tubuh ini?"

"Tidak ...." Sambil menangis. "Win mohon jangan jauhkan Win dari Papa."

"Berjanjilah menjadi anak baik dan satu lagi kembalikan cinta seseorang yang terlepas darimu, bisa?"

Gulfie menoleh melihat Win menyesal kejadian semalam memohon ampun padanya.

"Win tidak ingin black card lagi, Pa. Win hanya ingin, Papa." Lagi-lagi Win terisak sejadinya seakan mimpi itu terus menghantuinya.

"Phi Mew, bangun!" panggil Gulfie mengguncang tubuh suaminya.

Mew langsung duduk saat dirinya dipaksa bangun walau hari tidaklah terlalu pagi.

"Apa sih, Gup. Baru jam delapan udah panik gini?" ucapnya, ogah-ogahan membuka mata.

"Win, Phi! Win!"

"Hah, Win kenapa?" membuat Mew langsung melek mendengar nada Gulfie sedikit panik, takut-takut hal buruk sedang menimpa putranya.

"Win mimpi, Phi. Katanya dia bertemu dirinya yang lain dan Win itu anak kita, Phi. Dia Baby G kita." Penjelasan Gulfie yang terlalu semangat membuat Mew kurang mengerti apa yang dikatakan istrinya barusan.

"Pelan-pelan, tarik nafas, sayang." Di ikuti Gulfie menghala nafasnya. "Coba jelaskan lagi?"

"Apa bisa seperti itu?" tanya Mew masih bingung setelah dijelaskan Gulfie.

"Phi juga merasakan hal yang sama, beberapa kali Phi pernah bermimpi itu, terlepas dari itu semua, Phi tidak peduli Win itu Baby G atau bukan, bagi Phi, Win itu anak yang sangat Phi cintai." Memeluk Gulfie kebahagiaan terpancar di antara mereka.

***

"Daddy?" Win setelah mandi langsung menuju kamar orang tuanya ikut bergabung di antara keduanya.

"Daddy, Win tidak sekolah ya?"

"Hmmm kenapa, sayang?" potong Gulfie.

"Win tidak ingin berpisah dengan kalian."

"Heh, sayang." Mengusap rambut Win yang masih basah.

"Papa sama Daddy nggak ke mana-mana, itu hanya mimpi, Nak. Lagian Win kan mau jadi anak baik, mulai dari sekarang dong jadi anak baiknya, kita ke sekolah ya," bujuk Gulfie.

"Tapi bagaimana diri Win yang lain benar-benar mengambil Win."

"Apa sih yang Win bilang, tidak ada yang mengambilmu, Win ya tetaplah menjadi Win, kesayangan Daddy." Mew mengusap kepala anaknya lembut.

"Papa juga," susul Gulfie.

"Papa apaan sih, Win bisa bawa sendiri." Merebut tasnya yang di pegang Gulfie menuju mobil Mew untuk mengantarnya.

"Lagian Papa ngapain sih antar Win sampe bawah?"

"Papa cuma ingin melihatmu pergi." Merapikan rambut Win.

"Papa malu ah, Win kan udah besar." Saat Gulfie memperlakukan Win di luar rumah masih seperti bayi.

"Win hati-hati ya, jangan bandel lagi, Phi juga jangan ngebut, sayang." Saat dua kesayangan sudah berada di dalam mobil dengan kaca masih terbuka. Gulfie memutari ke arah Mew, sekilas mengecup bibir suaminya kemudian kembali lagi ke arah Win.

"Papa mencintaimu, Nak. Dan jika ini membuat Win senang pakailah." Kartu hitam yang didambakan Win disodorkan langsung oleh Gulfie.

"Hah, Papa serius?" kaget Win dengan wajah girang.

"Iya, Win boleh memilikinya, tapi dengan syarat jangan menggunakan ini tidak pada tempatnya, pakailah sesuai kebutuhan Win saja."

"Pa, benarkah? Win boleh memilikinya? Daddy ...." Menatap Mew seakan ini tidak nyata.
Mew mengangguk tanda setuju.

Malam sebelum terlelap Mew sudah membicarakan hal ini berdiskusi dengan istrinya, setelah perdebatan panjang, Gulfie mencoba mencerna semuanya akhirnya setuju Win diberikan fasilitas ini, walau Gulfie sangat khawatir melihat beberapa kenakalan yang Win pernah lakukan, tapi Gulfie menaruh rasa percaya itu untuk anaknya.

Win girang langsung turun memeluk Papanya di parkiran mobil, membuat beberapa pasang mata tertuju pada mereka lagi.

"Katanya udah besar tapi masih peluk Papa manja?"

"Biar,  wek! Win kan anak Papa."

"Ow, jadi gitu?" sela Mew ikut turun bersandar di mobilnya. "Win anak Papa saja, Daddy enggak gitu?"

"Daddy juga, Win sayang sama kalian."

Pemandangan itu sangat indah di mana sebuah keluarga lengkap saling tertawa bersama mencerminkan kebahagiaan yang tiada tara.

Bersambung ....

SI NAKAL DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang