__________
Tersenyum bukan berarti selalu bahagia.
___________
***Di sebagian kegelapan malam, yang disinari lampu-lampu jalan. Sebuah mobil merah melaju dan berhenti di depan sebuah rumah kecil dua lantai. Seseorang turun dari mobil itu dengan mengenakan pakaian yang cukup elegan dan sedikit ketat.
Ia melepas kacamata hitamnya dan memandangi rumah itu dengan ekspresi sinis dan bibirnya terangkat ke samping.
Rumah apa gubuk? Kecil banget. Hinanya dalam hati.
Meski begitu, ia tetap melangkah ke depan pagar dan memencet bel rumah. Tak lama, pintu pun terbuka dan terlihat Clara yang hanya berpakaian ala kadarnya, ia membuka gerbang besi itu dan sedikit terkejut dengan penampilan Indah.
Mulut Clara ternganga lebar. "Kit-Kita mau ke rumah Larry, 'kan?"
"Iya, bukannya baju lo saat ini terlalu simple, Clara? Maksud gue, ayolah, beri kesan pertama yang baik kepada orang tua kembar itu. Siapa tau, nanti lo jadi menantunya." Indah tertawa terbahak-bahak dengan leluconnya barusan. Sedangkan Clara hanya tertawa kecil.
Clara melirik jam tangannya. "Keknya gak sempet deh buat dandan lagi. Udah jam segini, jam sembilan nanti Ayah gue pulang."
"Oh ya udah, yuk berangkat."
"Tunggu, ini mobil lo?"
Indah menatapnya dan perlahan mengangguk kecil. "Yuk!"
Clara terdiam, dia tak pernah tau jika anak remaja seumurannya bisa memiliki mobil pribadi sebagus itu.
Tanpa basa-basi, Clara mengunci pagarnya dan segera naik ke mobil Indah. Dia agak gugup, terlebih lagi suhu malam ini lumayan dingin. Mobil pun melaju.
***
Di meja makan panjang itu, terdapat Empat kursi yang saling berhadapan dengan satu kursi disudut lain. Di sisi kiri, ada Garry Alexandre dan Mamanya. Di depan keduanya, ada Paman dan Bibinya yang sedang memotong daging mereka dengan pisau dan garpu.
Masing-masing dari mereka menggunakan Jas kantor hitam yang sedikit mengkilat jika terkena sinar.
"Dia lagi?" Sang Bibi membuka obrolan. Meski begitu, ia terfokus pada makannya.
"Apa maksudmu dengan 'Lagi', Kakak Ipar?" respon Mama Garry santai.
Bibi pun menghentikan aktivitas garpunya. "Kamu tidak mengerti ya, Adik Ipar? Tidakkah menurutmu membosankan bertemu orang bisu? Ini sudah ketiga kalinya kita makan malam keluarga." Bibi membalas dengan nada sinis dan melanjutkan aktivitasnya.
"Lalu, apa yang kamu mau? Bukankah kamu sendiri yang bilang tidak bisa membedakan mereka?"
"Itu dulu." Bibi membalas cepat. "Sekarang dari sorot matanya yang tajam benar-benar mengerikan. Bukankah itu tidak sopan?"
Garry yang sejak tadi diam pun, angkat suara. "Bibi, sadarkah Anda sedang body shamming?"
Bibi terkekeh tak percaya. "Body shamming? Anak sekecil dirimu bahkan tak bisa membedakan mana Fakta dan menghina."
"Tidak," potong Garry. "Bibi baru saja menghina bentuk wajahku. Bukankah itu benar, Paman? Ah, maaf, aku lupa lagi. Calon kepala Rumah Sakit Alexandre?"
"HENTIKAN, GARRY!" Papa Garry berteriak keras dengan suara berat. "Aku tidak mengajarimu untuk kurang ajar di depan orang yang lebih tua."
Garry memandangi Papanya dengan malas. Akhirnya dia memilih untuk diam.
"Apa yang kau lakukan? Minta maaf sekarang...."
"Kenapa?" Garry memotongnya. "Kupikir aku tidak berbuat salah?"
Papanya melototinya tanpa berkedip sedikitpun. Sang Paman yang menyadari hal itupun dengan sengaja menjatuhkan garpunya.
"Ah, maaf. Aku menjatuhkannya. Tolong garpunya lagi." Dia mengangkat tangan, dan seorang pelayan segera memberikannya garpu yang baru.
Paman tersenyum kepada semua orang. "Aku minta maaf jika kehadiran kami di sini hanya membuat keributan. Ke depannya, kami akan lebih jarang untuk berkunjung. Tidakkah kamu senang dengan hal ini, Keponakanku?"
Tak ada respon dari yang bersangkutan. Ia berpura-pura tak mendengar dan sibuk dengan makanannya.
"Maafkan Paman yang tidak bisa membedakan kalian berdua. Paman cukup sedih, begitu mendengar saudaramu sakit, hingga tak bisa menghadiri pertemuan kali ini."
"Sakit?" beo Garry dengan wajah yang kebingungan.
"Iya. Si ...." Pamannya tampak berpikir sebentar. "Si Larry itu. Semoga cepat sembuh ya."
Garry melirik Mamanya perlahan, namun wanita yang melahirkannya itu hanya diam dan menguyah makanannya tanpa membalas lirikannya.
Setelah pertemuan itu, Garry segera menuju kamarnya, tetapi di tengah jalan ia melihat para pelayan sedang menerima tamu di depan rumah. Ia melirik sedikit dan terkaget begitu melihat tamunya.
Indah sama cewek itu?! Ngapain mereka kemari?!
Garry segera berlarian turun dan memperhatikan mereka dari jauh. Mengawasi dan menebak-nebak siapa yang akan mereka temui. Hingga Larry muncul di depan dua cewek itu dan berbincang-bincang.
Garry yang penasaran pun tak bisa menahan rasa keingintahuannya dan berusaha mendekat. Namun, suara mereka masih tak terjangkau olehnya.
Setelah berbincang sedikit, mereka berjalan di pandu oleh Larry yang terlihat masih membicarakan sesuatu. Garry terus mengikuti mereka hingga keduanya menghilang di balik pintu kamar Larry.
Ke kamar Larry?! Ngapain coba? Pokoknya gue harus tau apa yang mereka bicarakan.
***
"Wow Larry, kamar lo besar banget," kata Clara begitu memasuki kamar temannya itu. Ia terkagum karena banyak rak buku serta ada meja tamu di kamar itu.
Larry yang dipuji pun tersenyum malu. "Ah, sudahlah. Kamar ini gak ada apa-apanya ketimbang kamar Garry. Kalian mau ke kamarnya nanti?"
"Serius lo?!" Malah Indah yang kelihatan bersemangat. "Boleh tuh."
"Ndah, bukannya lo udah pernah ke kamar Garry? Kok heboh gitu."
Indah mengulum bibirnya. "Ya gak papa, dong? Sekalian gue pengen lihat perbedaannya."
Krekk!
Pintu terbuka dan terlihat Garry di ambang pintu. Cowok berjas itu terlihat salah tingkah, entah apa penyebabnya.
"Garry?" sapa Larry. "Udah selesai pertemuan Keluarganya?"
Namun, Garry tak membalas apapun.
"Garry!" sambar Clara cepat. "Lo ngikutin kita ke sini ya?!"
"Hah?!" balas Garry. "Mana mungkin! Gosah ngadi-ngadi lo. Gue ke sini, karena ... karena pengen bilang ada salam dari Paman. Dah gitu aja. Gue cabut!"
Garry menutup pintu dengan keras, Clara yang melihat perilaku tidak sopan dari cowok itupun hanya mendengus kesal.
"Apa sih, tuh cowok?!"
Tak sengaja Clara menatap Indah yang masih terbengong-bengong ke arah pintu. Lah, kenapa pula ini si Indah?
Indah benar-benar terpesona dengan penampilan Garry malam ini. Rambutnya yang mengkilat, serta pakaian jas sampai aksesoris yang dipakai Garry benar-benar melelahkan hati Indah. Dia hampir saja tak bisa mengendalikan dirinya tadi.
"Ndah."
Clara menyentil pundaknya, hingga Indah tersadar dari lamunannya. "Iy-iya?"
"Lo bengong?"
"Nggak kok." Indah tersenyum.
"Kalau begitu, gue ambil dulu buku catatannya ya. Lo berdua mau netep di sini atau ngikut gue ambil bukunya?"
"Di sini aja sih." Clara merespon. Dibalas dengan anggukan Larry.
Larry segera beranjak dan pergi ke rak bukunya untuk mengambil buku catatan yang ia janjikan di sekolah tadi. Namun, tanpa sadar ia malah mengambil buku yang salah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Your Doll [END]✅
Подростковая литература[UPDATE SETIAP HARI] "Kenalin! Ini selingkuhan gue." Gimana perasaan lo ketika, ada cowok asing yang tiba-tiba merangkul pundak lo dan berkata demikian? Pasti Ilfil, 'kan? Begitu juga dengan Clara yang tiba-tiba di pertemukan dengan Garry dalam situ...