Garry diam-diam menghapus sedikit tetesan air matanya.
"Gue? Nangis? Apa itu nangis?" Ia berbalik arah menghadap Clara. Mendekatinya, gadis itu mendongak karena Garry cukup tinggi ketimbang dirinya.
"Lo nggak liat muka gue?" tanyanya, kembali ke mode menyebalkan.
"Iya gue liat, liat muka orang paling nyebelin di dunia."
Garry malah tertawa. "Gosah muji gue gitu dong." Lantas dia menggenggam tangan mereka, menatap Garry. "Gue yakin lo pasti bisa, Larry. Ingat kata-kata gue barusan."
Kemudian dia pergi sambil menyeret tangan Clara. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah Larry dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
Larry masih terdiam di ruang kelas. Dadanya benar-benar ringan sekarang, tapi baru saja ia hendak beranjak, tiba-tiba ada tangan yang menarik bahunya, kembali terduduk.
Ia segera memutar kepalanya, terlihat Ferdi dengan seringai lebarnya, selayaknya serigala yang tersenyum kepada mangsanya.
"Fer?" panggil Larry, sedikit terkejut.
Ia melepas tangannya dari bahu Larry, berpindah ke atas meja. "Main yok!"
Larry tak menanggapinya, hanya terdiam di tempat.
Ia mendekatkan wajahnya beberapa senti, sambil mengelus-elus pelan tengkuk Larry.
"Ayolah, gue jarang-jarang loh minta ginian. Biasanya lo selalu mau, ini kenapa kek ragu gini?" tanya Ferdi, berbisik tepat di depan telinga Larry.
"Karena ...." Larry tak melanjutkan omongannya. Ferdi memegangi dagu Larry, dipaksa menatapnya, alis Ferdi terangkat tinggi.
"Karena apa?"
"Karena lo ... mainnya kasar, Fer."
Ekspresi penasaran Ferdi seketika sirna. "Ya elah, gue kira mau ngomong apaan. Emang lo mau mainnya kayak gimana? Gang-bang? Yakin lo?"
"Bukan gitu maksud gue, Fer." Seketika Larry teringat percakapannya dengan Garry barusan. Ia harus jujur kepada semua orang.
"Gue pengen," lanjutnya, "lo bisa lebih lembut lagi sama gue, Fer. Perlakuin gue selayaknya pasangan, bukan hewan pelampiasan nafsu doang."
"Hah?!" Ferdi mendorong sembarang dagu Larry, ia melepaskan tangannya dari dagu. "Siapa yang bilang lo hewan pelampiasan nafsu gue? Gue tuh suka sama lo, masa sih lo nggak paham-paham? Udah berapa kali gue bilang?"
"Tapi gue nggak ngerasain itu dari lo, Fer. Gue lebih merasa jadi bahan pemuas nafsu lo doang."
"DIEM!" bentaknya. "Keknya saudara lo udah ngasih pengaruh buruk ya ke lo. Ini semua pasti pengaruhnya dia ke lo kan. Ngaku ga?!"
Ferdi beranjak dari meja, ia berpindah ke depan Larry, kemudian melepas sabuk celananya. Sementara Larry hanya meliriknya tanpa mendongak.
Ferdi membuka resletingnya, terlihat celana dalamnya berwarna hitam.
"Ayo kita main, bakal gue buat lo jadi Larry kayak sebelumnya. Gue nggak terima lo di ubah kek gini sama saudara lo itu!"
Ia menarik kepala Larry dan mendorongnya ke benjolan kelaminnya, Larry terus memberontak sekuat tenaganya. Ia berpegangan pada ujung meja.
"Ayo, Larry! Lo gosah ngelawan napa!" erang Ferdi sambil terus berusaha mendorong kepala Larry.
"Nggak mau, Fer, bukan ini yang gue mau!"
Mendengar itu, Ferdi sontak melepas genggamannya. Ia menghela napas panjang. "Jadi lo mau kayak gimana? Diajak main nggak mau. Gue bingung! MAU LO APA, LARRY?!"
Larry merapikan kembali rambutnya yang berantakan, ia menarik napas berat. Terengah-engah, napasnya memburu dengan cepat.
"Gue tuh cuma ngajak lo main, apa susahnya sih nurut?!" lanjutnya lagi, mencekam rambutnya sendiri, frustasi.
"Ngomong woy!" teriak Ferdi, hilang kesabaran. Ia berkacak pinggang, benar-benar tak punya kesabaran sedikit pun. Matanya menatap tajam cowok di depannya.
"Diem mulu, ayo ngomong?! Gue heran sama lo. Diajak main nggak mau, disuruh ngomong nggak mau. Apa sih yang lo mau?! Gue tuh cape tau gak ngeladenin sifat manja lo gini."
"Gue juga cape ngelayanin nafsu lo terus, Fer."
Ferdi seketika menatapnya kembali. Mengangkat kerah bajunya tinggi sejajar dengan dadanya. "Apa lo bilang barusan?"
Larry berusaha sekeras mungkin melepas genggaman tangan kekar itu dari kerah bajunya, ia sedikit tercekik, sementara Ferdi tak peduli sama sekali.
"APA LO BILANG BARUSAN?!" Ia mengguncang tubuh kecil Larry, cowok itu sampai terbatuk-batuk karena tercekik cukup lama.
"AH!!!" Ia melempar tubuh Larry ke gerombolan kursi kosong, tubuh Larry melesat tepat diatas kursi itu, bahkan ada beberapa bagian yang patah.
Ferdi mendatanginya dengan buas, ia menarik rambut Larry dengan kasar dan kembali menyodorkan benjolan kelaminnya.
"Buka mulut lo, Larry! Buka. Gue cuma mau main, bukan ngebunuh lo!"
Tapi Larry dengan sekuat tenaga menutup rapat-rapat mulutnya. Ia masih terus teringat setiap perkataan yang Garry katakan.
Ternyata benar, ia memang sangat lemah sampai dimanfaatkan banyak orang. Larry juga terlalu penurut, hingga tidak bisa menolak satu pun permintaan orang meski itu hal-hal yang aneh. Garry benar, ia harus membuat perubahan, ia tidak bisa dimanfaatkan terus-menerus seperti ini. Ia harus berubah!
Tiba-tiba bahu Ferdi yang kekar itu ditendang bebas oleh seseorang, Ferdi terpental cukup jauh dari Larry. Punggung Ferdi menabrak meja guru dan menjatuhkan buku-buku yang ada di atasnya.
Garry berdiri dengan tegap, bak pahlawan yang datang. Ia menatap lurus ke arah Ferdi dengan genggaman tangan erat. Matanya benar-benar tajam dan aura mengintimidasinya benar-benar keluar.
Ferdi segera bangkit, ia tak terima di tendang seperti tadi. Begitu melihat ke depan, ia terkaget karena saudara Larry sudah ada di sampingnya.
"Pengacau!" Ferdi dengan tubuh besarnya berlari ke arah Garry, bersiap melayangkan pukulan dengan tangan kekarnya.
Namun, Garry menghindarinya dengan mudah dan justru memukul banyak di area perut dan bahu Ferdi. Karena tubuhnya yang begitu besar, Ferdi jadi kesulitan untuk menghindari setiap serangan yang Garry layangkan.
Ia kebanyakan bertahan dari serangan Garry, meski sudah gonta-ganti trik bertahan, tetap saja Garry berhasil menemukan titik lemah dari trik bertahan tersebut. Hingga Ferdi muntah darah dan pingsan di tempat.
"Udah lo rekam, kan?" kata Garry setengah menoleh.
"Udah, Gar!" teriak Clara dari ambang pintu.
Larry perlahan bangkit, terduduk di lantai, Garry menyamakan tinggi mereka, berlutut. Melihat wajah Garry yang begitu kotor tersapu debu meja.
"Udah gue bilang, ngelawan." Ia menghela napas panjang, sepertinya Garry cukup kecewa.
"Udah ah, Gar!" balas Clara mendekati mereka. "Jelas-jelas Larry tadi tuh ngasih perlawanan loh, yah walaupun ujung-ujungnya kalah. Yah wajar sih, tubuh musuhnya gede gitu."
"Oh, jadi kalo lawan gue itu baru wajar?" balasnya mendongak ke pacarnya.
"Ih, nggak gitu, Gar." Clara menghantam kakinya pelan. "Udahlah ah, gak penting."
Clara juga menyamakan tingginya. "Lar, ada yang sakit gak?"
Larry menggeleng. Garry segera menyentuh goresan luka gesekan dari meja, Larry mendesah kesakitan.
"Masih nggak mau jujur?" tanyanya dengan nada menyebalkan.
"Gue ... gue cuma nggak mau dianggap lemah lagi, Gar."
"Ya gue tau, tapi lo juga harus jujur sama diri lo sendiri. Kuat bukan berarti harus berbohong. Paham lo?!"
***
Astaga Garry😂
Saudara lagi sakit bukannya dibawah ke rumah sakit malah diceramahi 😎Guys oh guys, tolong Votenya ya🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Your Doll [END]✅
Ficção Adolescente[UPDATE SETIAP HARI] "Kenalin! Ini selingkuhan gue." Gimana perasaan lo ketika, ada cowok asing yang tiba-tiba merangkul pundak lo dan berkata demikian? Pasti Ilfil, 'kan? Begitu juga dengan Clara yang tiba-tiba di pertemukan dengan Garry dalam situ...