Chapter 46: Perselisihan.

18 7 1
                                    

"Bun ... Bunda?" Clara segera tersadar dari lamunan singkatnya, ia membuka pintu sepenuhnya dan mempersilahkan Bundanya masuk ke dalam.

"Mas! Mas!" panggil Bunda teriak-teriak dalam rumah, bahkan suaranya menggema di rumah kecil itu. Ia berjalan ke depan kamar Ayahnya, pintunya tidak terkunci dan terbuka setengah.

Terlihat Ayahnya telanjang dada dengan handuk biru yang mengelilingi tengkuknya. Mata Bunda langsung membulat, ia segera menutupnya dengan telapak tangan.

"Kamu apa-apaan sih, Mas! Pake bajunya!" perintah Bunda cepat.

Ayah yang terkejut dengan kedatangan mantan Istrinya itu menutup dadanya dengan tangan menyilang.

"Kamu, kok bisa ada di sini?" tanyanya cepat.

"Nanti aku jelasin, yang jelas, pake sesuatu, kita bukan muhrim, Mas!" balas Bunda, masih menutup matanya rapat.

Ayah mengambil kemeja polos yang tergantung di dinding kamar, ia dengan cepat mengenakannya, memasang setiap kancing bajunya. Sedikit menyisir rambutnya yang berantakan sehabis mandi.

"Udah," kode Ayah. Bunda perlahan menurunkan tangannya, melirik sedikit ke arah mantan suaminya.

"Nah gitu dong, kamu apaan sih nggak pake baju di kamar sendirian."

"Sit, kamu nggak liat rambut aku? Aku baru selesai mandi tau, kamu juga, tiba-tiba masuk nggak pake ketuk pintu dulu."

"Udah deh, Mas, kamu tuh emang rajanya ngeles. Udah sejak dulu." Bunda berbalik arah, pergi dari ambang pintu kamar Ayah dan pergi ke arah dapur.

Ayahnya mengangguk dengan angkatan alis cukup tinggi. Mengkodekan kepada Clara, meminta penjelasan.

Clara malah merespons dengan mengangkat bahu, tidak tahu juga. Ia menyusul Bundanya ke dapur.

Baru di dekat dapur, suara omelan Bundanya terdengar jelas, layaknya mesin yang terus mengetik tanpa henti. Tidak ada titik koma, mulut Bunda lebih baik dari mesin ketikkan.

"Apa ini? Astaga Mas, yang kek gini diletakkin di sini, ya jelas berkarat dia. Emang ya, tuh manusia nggak bisa sama sekali berubah. Padahal ya, bukan sekali dua kali aku ngajarin dia buat ngebersihin ini...."

Dan banyak lagi ocehannya.

"Bunda," panggil Clara pelan.

"Kamu juga!" gertak Bundanya sambil menoleh tanpa menghentikan aktivitas bersih-bersihnya. "Kan udah berulang-ulang Bunda bilang, kalo sehabis makan itu langsung di cuci, jangan ditumpuk kayak gini."

Clara hanya terkekeh dan mendekat, berdiri di samping Bundanya. "Maaf, Bun, kemaren Clara nggak enak badan, lagi kena juga, jadi benar-benar nggak mood mau ngapain aja."

Bundanya kembali melihatnya, kemudian mencolek ujung hidung Clara dengan busa sabun cucian. Ia tersenyum lebar.

"Ih, Bunda."

"Bisa banget sih kamu nyari alasannya. Gemes deh liatnya." Ia membasuh tangannya dengan air bersih dan mengeringkannya dengan kain lap.

"Yuk, kesayangan Bunda mau makan apa pagi ini?"

"Masakin makanan favorit Clara aja gimana, Bun? Udah lama nggak makan itu soalnya."

"Oke siap." Bundanya memeriksa laci dapur, mengambil beberapa bungkus bumbu dan peralatan masak lainnya.

"Sayang, spatulanya mana ya?"

"Ehm, kurang tau, Bun, biasanya Ayah yang pake."

Bundanya seketika terhenti. "Oh gitu." Kemudian melanjutkan pencarian lagi.

"Nyari apa kamu?" tanya suaminya yang baru sampai ke ruang dapur. Berpenampilan rapih, lengkap dengan dasi dan celana hitam ala kantoran.

"Spatula," jawab Bunda singkat. "Mas kok nyimpennya sulit banget sih. Itu benda kan harusnya digantung, Mas."

"Iya, maaf. Kelupaan."

Bundanya hanya menghela napas. Ayahnya maju beberapa langkah, membuka lemari kayu atas dan mengambil spatula plastik biru itu, kemudian memberikannya ke mantan istrinya.

Bunda segera menerimanya, ia tidak berkata sedikit pun. Ayah Clara segera minggir, duduk di meja makan persegi panjang berbahan kayu jati itu.

"Kamu mau apa, Mas?" tanya Bunda sesaat setelah menghidupkan gas di kompor.

"Samain kayak Clara aja. Ngomong-ngomong, makasih ya, udah datang pagi-pagi tapi malah ngerepotin gini. Biasanya selalu pesan dari luar."

"Iya sama-sama. Aku udah tebak kok, Mas," jawab Bunda terus mengolah makanan. Mengecilkan sedikit api di kompornya. "Aku udah tebak kamu nggak bakal banyak berubah, kamu nyaman sama pribadi kamu yang sekarang, aku cuma bisa pasrah aja. Tapi, aku ingetin ya, Mas, sering-sering beli makanan cepat saji tuh nggak baik buat kesehatan."

Ayahnya terkekeh kecil, malu. "Iya, iya, nanti dikurangi." Ia beralih ke Clara. "Kamu belum mau mandi? Ntar kesiangan loh."

"Oh iya, Clara sampe lupa, Yah. Kalo gitu, Clara mandi dulu ya." Gadis itu segera beranjak dari kursinya dan buru-buru masuk kamarnya untuk mengambil handuk.

Bundanya hanya geleng-geleng kepala.

"Sit, katakan, apa maksud kedatangan kamu di sini."

"Nggak ada kok, Mas, aku cuma kangen sama anak kita."

"Yakin? Setelah perselisihan malam tadi?"

Aktivitas Bunda terhenti, meliriknya sedikit tapi tidak sampai menoleh. "Yang semalam tolong dilupain aja, Mas."

"Nggak bisa, Sit, aku semalaman terus kepikiran. Itu bukan perselisihan biasa."

***

Pada malam tadi, tepat setelah Clara menutup pintu kamarnya. Ayah pergi ke meja dapur dan duduk di sana, ditemani secangkir kopi hangat dalam mug kaca.

"Mas, aku mau ke intinya aja, tolong jangan ikut campur permasalahan anak kita. Biarkan dia menentukannya sendiri."

Ayah Clara cukup terkejut dengan apa yang Mantan Istrinya katakan barusan.

"Clara cerita ya, sama kamu, Sit?"

"Iya, dia cerita semuanya, bahkan saat kamu mukul pacarnya tanpa alasan."

"Semuanya ada alasannya, Sit. Mereka nggak setara, pacarnya itu juga bukan siswa baik-baik."

"Kamu tau darimana, Mas?! Jangan suka fitnah orang kek gitu. Tuhan bisa marah, loh."

"Aku nggak fitnah. Temenku yang jadi guru saksinya. Dia sering liat anak itu mukul saudaranya sendiri di sekolah. Ayah anak itu Donatur terbesar sekolah, jadi mereka tidak berani menghukumnya."

"Lantas, apa hubungannya?! Aku nggak paham deh sama pola pikir kamu, Mas!"

Ayah menghela napas berat. "Aku takut, Sit! Aku takut anak itu bakal memperlakukan Clara dengan cara yang sama."

"Kamu udah liat sendiri dia mukul saudaranya? Kamu udah buktiin sendiri sifat anak itu? Coba Mas jawab. Apa setelah Mas pukul dia waktu itu, dia melawan? Nggak kan. Mas emang suka lupa diri, nggak heran kita bisa cerai."

"Kamu apa-apaan, Sit? Kenapa nyambung ke sana? Aku nggak suka loh ya."

"Mas nggak capek ya, ikut semua permasalahan orang? Juga, coba Mas ngaca deh, liat diri sendiri dulu. Gimana semisal kita belum pernah ketemu, tapi karena aku dengar desas-desus buruk tentang Mas, terus setelah kita bertemu, aku mandang jelek kamu, apa Mas nggak kesinggung?"

Ayah hanya diam, dia memijit pelan dahinya dengan ujung jari. "Ya terus, kamu maunya aku biarin Clara menjalin hubungan dengan dia, gitu?"

"Mas udah tau jawabannya."

"Kamu juga udah pasti tau jawabanku, Sit."

"Egois kamu, Mas!"

Baru saja ia hendak membalas, panggilan sudah terputus. Ia meletakkan gawai itu, menghela napas panjang nan berat. Berusaha menetralkan diri dibawah cahaya lampu rumahnya.

***

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang