Chapter 59: Garry

16 7 1
                                    

Clara menyerup coklat panas miliknya sambil men-scroll layar gawainya. Ia melihat postingan Instagram Dara yang sedang berpose bersama Salwa di sebuah terminal bus.

Ia mengetuk dua kali layar, hingga muncul emot Love sesaat di postingan itu. Ia cukup lama memandanginya.

"Lagi liatin apa sih, Sayang? Fokus banget kayaknya," tanya Bunda yang sedang memasak, ia sesekali memperhatikan putrinya yang duduk tak jauh dari sana.

"Nggak, Bun, cuma lagi liatin Dara."

"Darah? Darah apa sayang? Kamu nggak eneg liatin Darah?"

Clara mendesah panjang. "Bukan Darah itu, Bun, tapi Dara temennya Clara. Dara anaknya Bu Ija, tetangga kita dulu."

Bunda ber-oh panjang. "Kirain. Emang dia kenapa Sayang? Bukannya kamu kemarin cerita kalo dia satu sekolah sama kamu?"

"Itu dulu, Bun, sekarang dia udah nggak di sana lagi. Udah pindah."

Bundanya yang sedang menyicipi makanan diujung lidahnya, berdehem panjang. "Kalo emang itu yang dia mau, kita nggak bisa cegah, Sayang. Tapi, hubungan kalian masih baik-baik aja, kan?"

Clara mengangguk. "Iya, Bun, hubungan kami baik-baik aja kok."

Bell rumah berbunyi cepat, Clara dan Bundanya menyadari hal itu dan merasa terganggu.

"Siapa sih yang datang?! Rusak lama-lama kalo di pencet terus-menerus," keluh Bunda seketika. Ia mematikan kompornya dan bergegas ke pintu depan.

Begitu pintu dibuka, terlihat Suaminya yang langsung menatapnya dalam.

Bunda memutar matanya malas. Ia berkacak pinggang. "Mau apa lagi, Mas? Kurang puas marah-marahnya kemaren?"

"Aku mau, kamu kesampingkan dulu hal itu. Yang pertama-tama, aku mau ambil Clara dulu."

Ayah hendak masuk, tapi langsung dihadang oleh Bunda. "Kamu pikir, aku bakal langsung biarin aja, gitu? Ah, kamu salah, Mas."

Ia menatap mantan istrinya. "Kamu tuh selalu egois ya, Sit. Overhate kamu udah mendarah daging."

"Terserah Mas mau bilang apa, yang pasti, aku nggak bakal ngelepas Clara lagi. Silahkan Mas bawah ke meja hijau lagi. Kali ini, aku bakal lebih tegas terhadap Mas."

Ayah berdecak. "Bukan demi aku, Sit, tapi demi pacar si Clara. Dia datang ke rumah."

"Apa, Yah?" sela Clara yang ternyata diam-diam menyimak obrolan keduanya, dia mendekat. "Garry datang ke rumah? Dia ngapain, Yah?"

"Katanya ada sesuatu yang mau dia omongin ke kamu, Nak. Ayo pulang, sebentar saja." Ayah menatap wajah Bunda, wajahnya cukup mengharukan.

"Ya udah, tapi aku ikut, Mas." Akhirnya Bunda mengalah.

Ayah mengangguk cepat. "Ayo."

Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam mobil, Clara berada di kursi belakang, sedangkan Ayah dan Bunda duduk bersampingan.

"Kira-kira Garry kenapa ya?" tanya Clara ditengah perjalanan. Ia bingung, apa ada hal yang genting?

"Dia terlihat khawatir, Nak, sepertinya ada sesuatu yang memang harus dia sampaikan ke kamu."

"Sedikit lebih cepat, Mas," ucap Bunda dengan nada yang sama khawatirnya. Tak tahu kenapa, ia merasakan marabahaya.

"Siap, Sit."

Meski sesaat, tapi mereka akhirnya bisa akur. Begitulah mereka menjalin cinta sebelumnya.

***

Tepat setelah mobil berhenti, Clara langsung membuka pintu mobil dan keluar cepat. Ia membuka gerbang, disusul dengan kedua orang tuanya.

"Garry," panggil Clara setelah membuka pintu depan. Terlihat punggung cowok itu yang menunggunya di kursi meja makan. Ia tak menyahut.

"Gar?" panggil Clara lagi, mendekat kemudian duduk di samping cowok itu. "Ada masalah apa?"

Garry perlahan mendongak, kemudian menggenggam tangan Clara cukup erat. Gadis itu bisa merasakan tangan pacarnya bergetar hebat.

"Lo kenapa, Gar? Ayo, cerita ke gue."

"Tapi lo harus jujur ya," pinta Garry pelan, nadanya tak karuan. "Janji dulu, Please."

"Iya janji, gue bakal jujur ke lo. Emang ada apa sih, Gar?" Clara beralih duduk di sampingnya.

"Tolong, please, kasih tau gue lokasi Larry." Garry mengatakannya dengan nada pasrah.

"Larry? Bukannya dia kemaren pergi buat nenangin diri? Ke sesuatu tempat. Oh iya, ini udah hari ke berapa dia pergi ya?"

"Dia nggak bakal balik dalam waktu dekat," balas Garry, "dan respons itu sudah kalian rencanakan, kan?"

Dahi Clara mengkerut. "Maksud lo, Gar? Ngerencanain apa?"

"Respons lo terlalu mencurigakan saat Larry mau pergi. Juga, lo kelihatan santai-santai aja selama beberapa hari ini. Sayang, lo pasti tau kan dimana Larry berada? Please beritahu gue."

Clara menggeleng. "Nggak, Gar, sumpah demi Tuhan, gue nggak tau apa-apa soal Larry. Lo kenapa tiba-tiba gini, Gar? Siapa yang bilang kalo Larry nggak bakal pulang dalam waktu dekat?"

"Dia nyelipin surat di lacinya," ucap Garry lirih. Ia kembali menunduk.

"Surat? Surat apa?"

"Surat keterangan kalo dia nggak ngebolehin gue buat nyari dia." Garry menggertak meja cukup keras. "MANA BISA SEPERTI ITU!"

Lagi, air mata mengalir di pipi pria itu.

Clara sampai terkejut, ia sontak mendekap pacarnya. "Tenang, Gar, tenang."

"Berani-beraninya—"

Baru saja Ayah hendak masuk ke dalam, tapi segera ditahan oleh Bunda. Ia menggeleng cepat, sang Ayah menghela napas.

"Kamu biarin dia ngebentak di depan anak kita?" tanya Ayah tak habis pikir.

"Berhenti ikut campur masalah pribadi Clara, Mas. Mereka udah dewasa, biarkan mereka menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri."

Ayah berdecak kesal, tidak setuju tapi tidak bisa membantah juga.

"Gue harus kemana lagi nyari Larry, Ra."

Clara tak menjawab, ia masih mengelus rambut Garry pelan. Dari matanya, ia mencoba berpikir keras. Tapi mau dipikir sejauh apapun, Larry memang tak punya tempat tertentu. Ia lebih suka dirumah.

"Gimana kalo kita ikuti kemauan Larry? Dia pasti minta sesuatu ke lo kan, Gar?"

"Kok lo tau?"

"Setiap ada larangan, pasti ada kemauan. Gue juga pernah kek gitu, dulu."

"Larry minta gue buat nungguin dia telepon duluan."

"Itu aja?"

Garry mengangguk.

Clara perlahan tersenyum. Ia melepas dekapannya, kemudian duduk kembali.

"Lo udah mulai percaya kan sama Larry?"

Garry kembali mengangguk.

"Kenapa emangnya?" tanya Garry yang tak tahu arah pembicaraan.

"Seperti yang gue bilang di awal tadi, Gar. Menurut gue, Larry pasti bakalan ngehubungin lo kok, cepat atau lambat. Saat momen itu tiba, gue harap lo bisa ngehadapinnya dengan kepala dingin."

"Kepala dingin?" beo Garry.

Clara mengiyakan. "Tolong sambut Larry dengan baik, Gar. Itu yang dia harapkan saat kalian kembali berhubungan. Mungkin saat ini dia butuh waktu buat menenangkan diri."

Garry tersenyum tipis. "Lo bisa ngomong kek gitu. Belajar dari mana?"

"Keadaan, Gar. Sebuah keadaan yang memaksa gue buat bersikap sedikit lebih dewasa."

"Thanks, Sayang, kalo nggak ada lo, gue nggak tau bakal gimana ke depannya." Garry benar-benar berterima kasih.

"Sama-sama, Say—"

Tiba-tiba gawai Garry berbunyi dari sakunya. Ia dan Clara terkaget. Segera mereka keluarkan gawai itu dan nama yang ada di layar panggilan adalah....

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang