Chapter 52: Setelah kesedihan.

16 8 0
                                    

Keesokan harinya.

Suasana kelas seperti biasanya, Clara datang dan terus-menerus menatap meja Salwa dan Dara. Memori saat mereka ada di kelas itu kembali terngiang-ngiang di kepala Clara.

Ia meletakkan tasnya di samping mejanya, meski banyak anggota kelas yang melihatnya, ia tak begitu menggubrisnya. Yang harus ia lakukan sekarang, membuat banyak kenangan bersama Dara sebelum keduanya pergi.

Seorang guru laki-laki melewati lorong kelas mereka, ia masuk ke dalam kelas dan berdiri di hadapan semua murid.

"Selamat pagi semuanya," sapanya ramah, "Bapak informasikan bahwa Salwa Amanda Jaya dan Dara Febriani telah mengundurkan diri dari sekolah ini."

Beberapa murid kaget, beberapa lagi tidak terkejut sama sekali. Sebagian dari mereka sudah tau saat mengikuti kelas Debat kemarin. Clara yang mengetahui itu jelas kaget. Ia bahkan beranjak dari tempat duduknya.

"Berarti, mereka sudah tidak masuk mulai hari ini, Pak?" tanya Clara, mata melebar besar, wajahnya tiba-tiba pucat basi, kepalanya terasa berat, hendak pingsan saat itu.

Guru itu mengangguk. Membuat Clara terpekik sesaat, ia segera menutup mulutnya dengan tangan. Bendungan air matanya pecah, ia tertunduk.

"Loh, bukannya bagus, Ra?" ucap Indah enteng, ia berbalik menghadap Clara. Tersenyum penuh kepuasan dan kemenangan.

"Itu semua karena lo," ucap Clara lirih, ia mengepalkan tangannya erat. Masih tertunduk.

"Hah? Maksud lo apa?!"

"Sudah-sudah!" lerai guru tersebut. Menghentikan keduanya. "Clara, duduk. Indah, tolong hormati temanmu yang sedang bersedih."

"Tapi, Pak!"

"Tidak ada tapi-tapian."

Clara perlahan tertunduk. Suasana kelas kembali kondusif, kelas berjalan seperti biasanya, Garry yang mempunyai kebiasaan telat, datang di tengah pelajaran. Guru itu memaklumi hal tersebut dan tak memarahinya.

Ia berjalan santai sambil terus melihat Clara dari mejanya. Sepanjang pelajaran, gadis itu tidak melirik papan tulis sedikit pun. Ia lebih banyak tiduran di meja dan memandang alam dari belakang jendela.

Garry pikir itu wajar, tapi ia telat menyadarinya, kedua orang itu, Salwa dan Dara, sudah tidak ada di kelas ini.

"Baik, sekian untuk materi hari ini. Atas perhatiannya, Bapak ucapkan terima kasih."

Guru itu pergi dan menghilang di balik koridor. Segera Garry beranjak dari kursinya dan berdiri tepat di depan Clara. "Sayang."

"Hem," jawab Clara lesu, tidak bersemangat.

"Kantin yuk?" tawar Garry, ia berharap gadis itu mau menerimanya untuk melupakan sesaat saja tentang kehilangan itu.

"Ikut!" Sontak Indah berdiri, tersenyum lebar ke arah Garry, membuat cowok itu merasa risih seketika.

"Ikut? Atas alasan apa gue harus ngajak lo?" tanya Garry, memiringkan kepalanya dengan alis terangkat.

"What? Gar, lo udah lupa yang kemaren? Itu baru kemaren loh, belum genap 24 jam. Jangan bilang kalau lo nggak ingat peristiwa penting itu."

"Oh itu," respons Garry datar. "Kenapa emang? Bangga banget keknya."

Indah tersenyum miring. "Oh jelas dong, siapa sih yang nggak bangga ngusir pengganggu kek dia?"

"Kalo lo mampu ngelakuin itu, kenapa nggak lo lakuin sejak dulu?" tanya Garry, memojokkannya.

"Hah? Apa sih maksud lo, Gar? Gue nggak punya kekuasaan buat ngelakuin itu." Indah berpura-pura tak mengerti.

"Lagi? Selalu begitu saat lo udah di pojokin, lo—"

"Cukup!" sela Clara memotong, menghentikan keduanya. Ia beranjak dan memegang tangan Garry, membawanya pergi dari kelas tersebut.

Indah berdecak kesal karena hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Harusnya mereka memujanya karena telah melakukan hal yang mulia. Lantas kenapa sekarang malah mereka memusuhinya? Apa jangan-jangan, ini semua rencana Salwa? Liat aja kalian semua!

Sementara itu, Garry terus memandangi punggung gadis itu yang memegangi tangannya, pergi entah kemana. Cengkraman tangannya begitu kuat, ia juga sesekali membersihkan wajahnya, jangan-jangan...!

Garry berjalan cepat, memotong dan menghadangnya. Gadis itu memalingkan wajah, berusaha menyembunyikannya.

Garry hanya memandangi dalam diam.

"Apa?" tanya Clara serak, ia lagi-lagi menghapus air matanya yang mengalir ke pipi chubby-nya.

Garry perlahan mendekapnya, mengelus rambutnya yang hitam cukup panjang itu. "Luapin aja ke gue," ucap Garry pelan.

Clara masih berusaha menahan isaknya, tapi semakin ia tahan, rasanya semakin sakit. Akhirnya ia terisak, kemudian memeluk erat tubuh Garry, ia menangis sejadi-jadinya.

Di tengah lorong, Clara menangis sekencang mungkin! "Kenapa sih?!" ucapnya di sela isakkan. "Kenapa dunia nggak pernah biarin gue bahagia!"

Garry meliriknya pilu, ia cukup mengerti dengan apa yang pacarnya itu alami. Rasanya sama saat mengetahui Larry punya penyimpangan orientasi seksual.

Ia menepuk-nepuk punggungnya, berusaha menenangkan gadis itu, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Tak apa, Garry yakin, setelah ini kondisinya akan jauh lebih baik lagi.

Sepanjang jam sekolahan, Clara hanya bersandar pada bahu Garry, tatapannya kosong, matanya merah seperti petir, Garry setengah memeluknya, terus menggosok bahu gadis itu, menenangkannya.

"Kira-kira gue dosa apa ya?" tanya Clara datar, entah dia tujukan pada siapa kalimat itu.

"Bukan dosa, tapi cobaan," balas Garry menatapnya, tapi gadis itu tetap tak bergerak, terus memainkan jemarinya.

"Tapi kenapa, cobaannya melebihi batas?" tanya Clara lagi.

"Pasti ada hikmahnya dibalik semua ini. Mungkin Tuhan ingin lo fokus ke diri lo sendiri. Mungkin juga Tuhan punya rencana lain yang jauh lebih baik ke depannya."

Mata Clara melirik cowok itu. "Tumben lo ngomong kayak gitu."

"Tumben juga gue ngeliat lo nangis."

Clara menarik kepalanya dari bahu Garry, duduk. "Gue tau gue lebay, tapi rasanya bener-bener berbeda. Sebuah perpisahan yang dirayakan, dan sebuah perpisahan yang tidak terduga. Keduanya berbeda, Gar."

Garry tetap diam, menunggu gadis itu melanjutkan omongannya.

"Saat kami masih satu sekolah, perpisahan itu begitu menyenangkan dan berharga, kami saling berjanji akan kembali bertemu di tempat yang sama. Gue tau, itu cuma janji bocah ingusan, dan hal itu nggak akan pernah terjadi. Tapi, kami ketemu lagi, dan harapan itu pun terwujudkan."

"Iya, gue paham kok."

"Boleh nggak sih, Gar, gue ngelupain dia dalam hidup gue?"

"Emang lo yakin? Kalo lo ngehapus dia dari hidup lo, berarti udah siap konsekuensinya? Sama halnya kayak Salwa dan Dara, mereka udah tau konsekuensi itu tapi mereka tetap menyanggupinya. Artinya, Salwa dan Dara udah siap angkat kaki dari sekolah ini. Coba lo masuk ke pandangan Dara. Dia pintar, jenius, tapi tidak terlalu pandai bergaul, hanya Salwa yang bisa berteman dengan dia. Lo mau tau satu hal menarik? Hanya Salwa, ya, Salwa yang bisa membantu Dara menghadapi kesendiriannya.

"Hanya Salwa yang bisa mengeluarkan pontensi yang dimiliki Dara hingga ia mendapatkan banyak beasiswa. Mungkin ini kesannya kayak membanggakan Salwa, mantan gue, tapi perlu gue akui, bahwa semua itu benar berdasarkan pandangan gue."

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang