Chapter 44: Sadar

17 7 1
                                    

"Udah ah, Gar," sela Clara menghentikan Garry. Ia segera menggandeng lengan Larry ke tengkuknya, berusaha berdiri.

Melihat Clara yang kesusahan, Garry segera mengambil tindakan. Ia menyelip diantara mereka dan menggeser posisi Clara. "Biar gue aja," balas Garry menggantikan posisi Clara.

"Oh ya udah."

Mereka segera pergi ke mobil Garry, cowok itu mengemudi dengan kecepatan cukup tinggi. Clara duduk di bangku belakang sambil membersihkan debu yang menempel di sekitar lengan Larry.

"Ngapain kalian?!" gertak Garry menatap spion kecil dalam mobil. "Gosah mesra-mesraan ya kalo nggak mau gue masukin nih mobil ke jurang."

"Apaan sih, Gar?! Cemburuan banget lo jadi orang. Gue cuma ngebersihin doang loh."

"Udah, gak papa, Ra, makasih ya udah perhatian sama gue. Cukup ya, gue nggak mau kalian bertengkar gara-gara gue lagi." Larry menarik tangan Clara dari lengannya. Kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi, menutup matanya perlahan.

Garry sesekali masih mencuri pandang ke belakang, melihat aktivitas keduanya. Clara beralih menatap langit sambil menyenderkan lengannya, kaca setengah terbuka.

Tiba-tiba kaca itu naik ke atas, Clara terkaget, itu perbuatan jahil Garry. Ia segera menatapnya kesal. "Ih, apa lagi sih, Gar?!"

"Ntar lo masuk angin, udah, pake ac mobil aja."

"Beda lah, Gar, AC mobil nggak sesejuk angin alami."

"Hadeh, protes mulu lo."

"Biarin, gak peduli gue. Pokoknya gue mau angin alami."

"Iya-iya, bawel!"

"Diem ih, dedemit!"

Garry berdecak kesal, setiap kali mendengar kata-kata itu, ia merasa ngilu di sekujur tubuhnya.

Garry menambah kecepatan mobilnya, Clara menyadari hal itu, tetapi responnya sangat santai. Ia malah mengeluarkan kedua tangannya, bergelantungan di luar mobil.

Untunglah saat itu Garry melewati jalan tol, dengan sedikit kendaraan yang lewat. Garry bisa bebas untuk mengatur kecepatan mobilnya. Tak lama, mereka sampai ke rumah Garry.

Satpam membukakan gerbang rumah, memberinya bungkukkan tubuhnya sesaat. Clara cukup risih dengan sikap mereka, menurutnya, itu terlalu berlebihan.

Garry keluar dari mobilnya saat sudah di depan pintu garasi besi, Rolling door otomatis.

Ia beralih ke pintu mobil bagian belakang dan membukakan pintunya, ia masuk dan menggandeng Larry yang sudah bersiap-siap.

"Badan lo berat banget," keluh kesah Garry saat menggandeng tubuhnya.

Larry menanggapinya dengan tersenyum canggung.

Clara mengekori keduanya. Ketika pintu utama terbuka, para pelayan pria segera mengambil alih Larry dan menggendongnya sampai ke kamar. Garry hanya berdiri di depan ambang pintu, ia tak berani masuk. Hanya memperhatikan Larry yang terbaring di kasur. Para pelayan sibuk melayani Larry dengan segala hal terbaiknya.

"Gar," panggil Clara pelan dari belakang. Garry menoleh setengah. "Lo nggak masuk?"

Garry kembali menatap Larry. "Gue belum pantes, Ra, selama ini gue terlalu jahat dan egois. Gue cuma mementingkan apa yang gue mau."

Clara mendekat, melingkari tangannya ke dada Garry. Wajahnya menempel di punggung Garry. Cowok itu menoleh ke belakang cepat, ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja Clara lakukan.

"Gue bisa denger kok, Gar, suara tulus hati lo. Lo bilang ke Larry untuk nggak berbohong lagi, tapi lo juga berbohong ke diri lo sendiri."

"Lo benar." Garry membenarkan. "Gue belum pantas buat ngajarin sesuatu ke orang lain, sedangkan gue sendiri juga terjebak di dalam hal yang sama."

Kemudian suasana berubah menjadi senyap, para pelayan berbaris rapih dihadapan Garrry. Menunduk sesaat, kemudian berjalan secara teratur melewati Garry dengan Clara yang masih memeluknya dari belakang.

Clara melepas pelukannya, tapi cowok itu dengan cepat menangkap ayunan tangan Clara dan menggenggamnya. Ia berbalik badan, menatap gadis itu dalam.

"Gue harap, gak bakal ada masalah baru lagi." Ia mengangkat genggaman tangan mereka, kemudian tersenyum canggung.

"Gue nggak tau dan gue nggak berhak buat tau hal itu, Gar. Gue cuma bisa berharap, apapun masalah yang lo hadapi, lo harus mengatasinya dengan kepala dingin."

Garry mengangguk, "Thanks buat supportnya."

Mereka bersamaan memandangi Larry, tertidur pulas dengan selimut yang menutupi kaki sampai dadanya. Pelayan tadi juga sudah membersihkan tubuh Larry dengan baik. Sekarang mereka bisa meninggalkan cowok itu dengan tenang.

Mereka kembali ke depan gerbang, Garry sudah menawari Clara tumpangan, tetapi ia bilang Ayahnya akan menjemputnya. Garry tak bisa memaksa, ia harus belajar menghargai keputusan orang lain.

"Yakin nggak mau diantar?" tanya Garry sekali lagi, sudah ketiga kalinya.

Clara tersenyum, ia hanya menatap wajah cowok itu dalam.

"Iya-iya, besok pagi gue jemput ya, Sayang," ucap Garry sambil mengacak-acak rambut hitam Clara.

Ia berusaha menangkap tangan Garry yang begitu cepat mengacaukan rambutnya. "What? Sayang?"

Garry menghentikan tangannya dan mengangguk. "Kenapa emang? Emang gitu kan cara panggil spesial orang pacaran?"

Clara mengalihkan pandangannya, wajahnya memerah, tersipu malu. "Nggak tau ah!"

Tiin, tiin!

Sebuah klakson di luar pagar berbunyi, Clara meliriknya dan mengenali mobil tersebut. Itu Ayahnya, ia segera berlari keluar pagar, meninggalkan Garry begitu saja.

"Hati-hati, Sayang!" teriak Garry dengan merapatkan tangannya di daerah mulut.

Clara terus saja berlari, berpura-pura tidak mendengarkan teriakan Garry barusan. Ia hanya menahan malu dihadapan Ayahnya yang sedang menunggunya diambang pintu mobil.

"Tumben kamu mau minta jemput nak?" tanya ayahnya.

"Salah ya, aku minta jemput?" tanya Clara di hadapan ayahnya.

"Nggak, bukan gitu maksud ayah. Ayah cuma tanya saja."

Clara melewati ayahnya begitu saja dan masuk dari pintu belakang mobil.

"Kita lanjutin di dalam aja, Yah," kata Clara dari jendela mobil.

"Oh, oke." Ayahnya segera masuk ke dalam mobil dan menutup rapat pintu mobil. Ia segera melajukan kendaraan beroda empat itu.

Terlihat Garry melambaikan tangannya tinggi atas pagar pembatas berbahan beton. Clara menahan tawa melihat tingkah laku cowoknya itu.

"Kenapa, nak?" tanya ayahnya sambil menyupir. Ia sedikit penasaran kenapa anaknya tertawa seperti itu.

"Ah, nggak papa kok Yah, hehe." Clara menghentikan tawanya.

Perjalanan mereka cukup jauh, tak ada percakapan lagi setelah itu. Ayahnya fokus menyupir, sedangkan Clara bersandar di punggung kursi dan menutup matanya. Menikmati setiap getaran mobil karena jalan yang sangat berlubang.

"Nak," panggil ayahnya, sesekali ia menatap spion kecil dalam mobil.

Clara terdiam cukup lama. "Iya, Yah?" jawabnya dengan posisi yang sama.

"Ehmmm." Ayahnya bergumam panjang. "Itu tadi rumah cowok itu ya?"

"Iya."

"Gede ya."

"Iya," jawab Clara tak bersemangat, mengantuk.

"Beda kayak rumah kita yang cuma dua tingkat."

Clara membuka matanya cepat, bangkit. "Maksud Ayah apa ngebandingin kayak gitu?"

"Ah, nggak gitu kok maksud Ayah."

"Yah ... Clara minta, Ayah perjelas maksud Ayah barusan."

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang