Chapter 51: Kesedihan.

21 8 1
                                    

"Kalian berdua!" teriak Larry, berlarian di lorong koridor. Ia bertumpu pada lututnya, dadanya kembang-kempis, ngos-ngosan. Keringat mulai membasahi pelipisnya yang putih dan bersih.

"Kenapa?" tanya Garry santai.

Saudaranya itu harus menghembuskan napas beberapa kali sebelum membicarakan. Setelah cukup stabil, barulah ia mengatakannya.

"Di, di kelas masak, kita...."

"Peringkat pertama?" tebak Garry cukup yakin.

Larry menggeleng. Senyuman mulai terukir di wajah Clara, ia cukup senang karena tak harus memenuhi keinginan Garry, pikirnya.

"Kelompok kita peringkat ketiga."

Senyuman yang baru saja terlukis tiba-tiba pudar. Clara pikir, sistemnya hanya memenangkan satu orang saja.

"Oh, baguslah," jawab Garry santai, ia menatap gadis itu dengan senyuman sinis.

"Ngapain lo tersenyum gitu? Kek orang mesum tau, nggak?" Clara menatapnya ngeri.

"Masih ingat kan sama taruhan kita tadi?"

"Idih, iya-iya, lo menang!"

Garry tertawa puas. Sementara Clara bersedekap dada, sebal.

"Jadi, lo mau apa?" tanyanya.

"Entah, nanti sepulang sekolah gue kasih tau."

"Lo kebiasaan ya, Gar, selalu ngebicarain sesuatu pasti sepulang sekolah," sela Larry tertawa kecil.

"Karena gue harus menghargai mereka," tunjuk Garry kepada Salwa dan Dara. Kedua siswi itu masih berdiri di tempatnya.

"Emang mereka kenapa? Ada yang ulang tahun?"

Garry menanggapinya dengan gelengan kepala. "Indah memenangkan kelas Debat, dan meminta keduanya buat di DO."

Larry terkejut bukan main. Ia tak mengetahui informasi itu, wajar saja, ia baru tiba di sini. Ia bahkan meninggalkan makanannya demi memberitahu saudaranya hasil Peringkat mereka.

"Sebenarnya cuma gue yang di DO, tapi Dara jadi ikut-ikutan." Salwa maju, menjelaskan. Dara mengekorinya.

"Salwa, lo nggak boleh sedih!" kata Larry tegas. "Kalo lo sedih, artinya misi Indah berhasil."

Salwa tersadar, apa yang Larry bicarakan barusan itu benar. Ia tak boleh sedih, jika ia sedih, Indah akan tertawa lebar melihatnya.

"Lo, bener, Lar, gue nggak boleh sedih!" Salwa menghapus air matanya, ia berusaha tersenyum lebar. "Makasih, Lar. Good luck semuanya!"

Salwa memandangi satu per satu temannya, mulai dari Clara dan Garry, Larry, Naura serta Dina, dan Dara. Ia menghadap gadis itu. Mata keduanya beradu.

"Lo yakin mau ngikut gue?" tanya Salwa memastikan.

Ia mengangguk pasti. "Yakin, Sal."

"Lo janji nggak bakal menyesali apapun yang terjadi?"

"Gue janji!" jawab Dara tanpa keraguan sedikitpun. "Sejujurnya gue bingung saat lo dan Clara musuhan. Tapi akhirnya gue berhasil berpihak ke lo tanpa memutuskan hubungan dengan Clara. Gue bener-bener seneng."

Salwa refleks memeluk Dara. "Makasih ya, udah mau jadi sahabat gue."

"Gue juga bersyukur, Sal."

***

Bell pulang telah berbunyi, seluruh anak berhamburan keluar. Larry dan Clara menunggu di dekat mobil, menunggu kedatangan Garry yang menyuruh keduanya untuk menunggu.

"Duh, lama banget sih," keluh Clara yang sudah kepanasan karena terik matahari tepat di atas kepalanya.

Larry terkekeh kecil. "Yang sabar ya, Ra, Garry emang lupaan orangnya."

"Tapi dia nggak pernah lupa tuh di hadapan gue. Jangan-jangan dia tuh cuma pura-pura alesan aja? Gitu nggak sih?" kata Clara meminta pendapat Larry.

Larry beralih tersenyum kecil. "Entah sih, nggak ada yang tau niat seseorang. Oh ya, lo beneran nggak jijik sama gue?"

"Kenapa emang? Apa yang perlu dijijikkan dari lo?" tanya Clara balik.

"Kan secara, itu berbanding terbalik dengan norma yang ada."

"Gue nggak terlalu tau, Lar, tapi yang pasti, semua orang harus bahagia dengan cara mereka sendiri."

"Maksud lo?" Larry meminta penjelasan lebih lanjut.

"Ya, bahagia dengan melakukan apa yang mereka suka. Gue emang nggak mendukung, tapi gue nggak berhak buat menentangnya. Itu hidup lo, lo yang jalanin, pasti lo udah tau resikonya. Jadi, kuat-kuat aja jalaninnya ya."

Clara beralih menatap Larry yang menatapnya sejak tadi. Mata keduanya beradu, suasananya jadi hening. Tiba-tiba seseorang berdehem cukup jauh.

"Bagus ya! Bumbu-bumbu perselingkuhan mulai tercium dari sini." Garry mendekat, wajahnya sangat sinis. Menatap Larry tak senang.

Clara dan Larry balik menatapnya bersamaan. Gadis itu tersenyum, entah kenapa dia sangat suka dengan ekspresi wajah pacarnya yang cemburuan.

"Lucu deh, Gar, liat lo cemberut gitu."

"Diem lo!" balas Garry cepat.

Clara mengulum senyumnya, tapi tetap saja ia tak bisa menahannya. Ia beralih, kemudian hendak masuk ke dalam mobil.

"Tunggu!" larang Garry cepat. Ia berjalan beberapa langkah mendekat. "Ada sesuatu yang harus gue omongin."

Clara terhenti, ia menoleh setengah ke cowok itu. "Apa?"

"Salwa sama Dara nggak ikut kita. Mereka mau ke suatu tempat."

Clara tampak sedih, tapi ia tak begitu menampilkannya. Senyum di ujung bibirnya masih tertahan.

"Oke," katanya setelah cukup lama terdiam.

"Santai aja, Ra, biasanya mereka minta waktu untuk pindah, kita masih punya hari lain." Larry memberitahu, berusaha menyemangati gadis itu.

Ia kembali melebarkan senyumnya. "Iya, kita punya cukup waktu. Makasih udah ngingetin."

"Makasihnya ke Larry doang?" sela Garry cepat, wajahnya kembali cemberut. "Ke gue nggak?"

Clara menatap Garry dalam, kemudian ia mengelus pipi cowok itu. "Iya, iya, makasih ya, pacar gue yang paling cakep."

Kemudian Clara masuk ke dalam mobil. Garry terpaku diam, ia tak menyangka jika Clara akan memegangi wajahnya.

"Yuk, Gar." Larry mengajaknya, menyadarkan pria itu dari lamunan sesaat.

Ia segera masuk, menyusul Clara dan Larry. Ia memasang sabuk pengamannya, kali ini posisi gadis itu ada di sampingnya, menatap lurus ke depan. Jelas sekali, ia masih terpikirkan hal tadi.

Garry bingung harus berbuat apa. Apa yang harus ia lakukan untuk menghibur pacarnya yang sedih itu. Selama ini, ia tak pernah melakukan hal semacam itu. Baginya, orang lain adalah hal yang tidak berguna. Berbanding terbalik setelah ia mengenal Clara, seolah dunianya yang begitu datar, tiba-tiba menjadi bergelombang.

"Gar, ayo jalan, nunggu apa?" kaget Larry, lagi. Ia cukup kesal melihat saudaranya yang kebanyakan melamun.

"Ah, iya-iya. Kita berangkat sekarang." Garry gelagapan, segera menyalahkan mesin mobil dan bersiap-siap memegang setir. Kembali menatap Clara beberapa detik, kemudian melajukan kendaraan itu. Melewati gerbang sekolah dan hilang di jalan raya.

"Sial, gue telat!" keluh Indah kesal, ia baru saja melihat mobil itu melewati gerbang, padahal ia ingin ikut.

Indah ingin pamer prestasinya barusan. Yah, Indah pikir dengan mengeluarkan Salwa dari sekolah ini adalah tindakan yang akan Garry puji. Ia berandai-andai, bagaimana ekspresi wajah Garry nanti saat mendengar mantannya itu telah dikeluarkan dari sekolah.

Ia mendesah. "Ya udahlah, gue kasih surprise-nya besok aja." Ia berjalan ke dalam, di sebuah lorong sekolah yang sepi.

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang