Chapter 9: Dibalik layar Indah

65 45 41
                                    

____________
Setiap manusia, pasti memiliki topeng tersembunyi.
____________
***

"Malam ini temenin gue makan," kata Garry. Itu bukanlah sebuah permintaan melainkan perintah yang dilontarkan dengan nada ketus dan acuh.

"Hah? Ngapain juga gue nemenin lo makan? Minta disuapin? Kek anak kecil aja lo." Clara menolaknya mentah-mentah tanpa berpikir.

Mereka sedang diskusi di ujung koridor sepi.

Garry tak merespon apapun. Clara menduga cowok dengan mata sadis itu sedang pura-pura tak mendengarnya.

Sekesel-keselnya gue, paling kesel kalo di kacangin kek gini.

Tuuttt.... Tuuttt...

Tak lama, sebuah panggilan masuk. Namun, tidak ada yang mengecek teleponnya masing-masing.

"Eh, itu telepon lo, 'kan?" tuduh Garry kepada Clara dengan wajah dinginnya.

"Hah? Nada dering gue nggak kek gitu. Periksa gawai lo," perintah Clara.

Garry memutar matanya malas sambil mengambil teleponnya di saku celana. Ternyata memang benar itu panggilan gawainya.

"Bener kan?" Clara merasa bangga karena dia benar.

Garry melirik nama panggilan, begitu tau ia segera berbalik.

"Dari siapa?" tanya Clara.

"Gue angkat dulu." Garry menjauh dari cewek itu yang masih dipenuhi rasa penasaran.

"Kenapa, Ma?" jawab Garry setelah cukup jauh.

"Datangi pertemuan malam ini. Bibi serta pamanmu akan datang."

"Kenapa harus? Aku memiliki opsi untuk menolaknya." Garry berkata santai, tidak bergairah dan malas-malasan.

"Tidak, kamu hanya memiliki satu pilihan. Kau tau apa yang akan terjadi dengan saudaramu, kan jika menolak hal ini."

"Mama mengancamku?" Garry sedikit emosi.

"Hanya itu saja yang bisa Mama sampaikan. Jangan mengacaukannya seperti kemarin."

Tut.

Panggilan telepon pun berakhir, tangan Garry terjatuh lemas. Ia terkekeh sesaat, benar-benar tak menyangka jika memiliki orang tua yang melahirkan mereka hanya demi kerakusannya pribadi.

Clara menepuk pundak Garry pelan, cowok itu tak merespon apapun meski Clara sudah menatapnya dengan tingkah yang aneh.

"Makan malamnya batal, lo bebas hari ini." Ia memasukkan kembali ponselnya dan berjalan maju tanpa menoleh sedikitpun.

Cowok kampret! Selalu aja seenaknya. Padahal gue mau ngasih nomor Dara mumpung dia pegang HP.

"Sorry ya, Dara, gue gagal." Clara berbicara sendiri.

***

Saat kelas kembali berlangsung, baik Indah maupun Larry tidak saling mengobrol. Semuanya fokus dengan mata pelajaran Fisika yang sedang dijelaskan oleh Guru mereka.

"Minggu depan akan ada ujian persiapan UTS. Pelajari materi yang selama ini telah kita pelajari," perintah pria berkacamata itu. Ia mengenakan kemeja belang dengan warna coklat dan hitam.

"Baik, Pak."

Clara perlahan mengangkat tangan, gurunya yang menyadari hal itu memberi kode kepadanya untuk berbicara.

"Saya siswa pindahan, Pak, jadi belum mencatat materi pada pertemuan sebelumnya."

Gurunya sedikit berpikir. "Tentang masalah itu, minta catatan dengan Larry. Kalian bersebelahan kan? Jadi, manfaatkan waktunya sebaik mungkin. Kalau begitu, Bapak akhiri pertemuan kali ini."

Ia pun pergi meninggalkan kelas. Para siswa di kelas itu mengembalikan buku-buku paket ke dalam tas dan bersiap untuk pulang.

"Ra, catatan terdahulu ada di buku satunya. Gue lupa bawa. Gimana kalo lo ke rumah gue aja? Sekalian mampir buat perkenalan," tawar Larry saat sedang berkemas pulang.

"Boleh tuh," sambar Indah cepat. "Gue ikut ya. Udah lama kan gak ke rumah lo."

"Lo ikut, Dah?"

"Iya, gak boleh Lar?"

Larry jadi salah tingkah, merasa bersalah juga."Ya gak papa sih."

"Gue takut Clara lo apa-apain." Indah memeluknya dari belakang.

Larry pun tertawa lebar. "Padahal lo tau sendiri gue belok."

"Walaupun. Gue masih khawatir lo tiba-tiba tergoda sama kecantikan Clara."

Clara yang di puji pun merasa malu sendiri.

"Ya udah iya. Datangnya jam 7 malem ya. Dari belakang aja, Dah, soalnya hari ini ada tamu."

"Oke," balas Indah, sementara Clara hanya planga-plongo seperti orang asing. Ia memang belum pantas berada di antara mereka, setidaknya dia sudah ada teman di sini. Indah si baik hati, Larry yang friendly. Clara rasa itu sudah cukup sempurna. Apalagi jika dia tidak terlibat dengan Garry.

Akhirnya, gue punya kesempatan. Senyuman kecil terukir di wajahnya.

***

Sepulang sekolah, Indah tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan pergi ke sebuah gang sempit yang dihimpit bangunan-bangunan besar. Sopirnya pun menghentikan mobil tepat di depan gelandangan wanita yang kusam.

Indah pun turun dari mobilnya, sang gelandangan tersenyum tipis saat Indah menghampirinya.

"Hari ini butuh pelampiasan lagi?" tanyanya.

"Ya." Indah menjawab dingin. "Aku akan bermain cukup kasar hari ini, tapi bayaranmu akan naik 2x lipat."

Senyuman gelandangan itu semakin melebar. "Baiklah, setuju."

Seperti biasanya, Indah memasang sarung tangan medis ke tangannya dan memberikan sejumlah uang kepada gelandangan itu.

Tak lama setelah menerima uang tersebut, seketika Indah menampar wajahnya dengan keras dan cepat. Bahkan gelandangan itupun sampai terkaget.

"Tunggu nona, aku belum siap."

"Berdiri!"

Ia perlahan menegakkan badannya dan lagi-lagi Indah menamparnya. Begitu pun seterusnya. Ia membutuhkan seseorang untuk pelampiasan rasa kecemburuannya tadi di sekolah. Benar, Indah sangat marah saat melihat Garry yang membelai wajah Clara.

"Wanita murahan! Menjauh dari Garry atau lo bakal mati di tangan gue!" hina Indah sampai menjerit. Ia benar-benar mengeluarkan semua unek-uneknya yang ia tahan beberapa jam lalu.

"Nona, ampun. Ampun."

Gelandangan itu melindungi kepalanya dari hantaman kerasnya sepatu Indah. Meski begitu, gadis tersebut tak begitu peduli dengan rintihannya. Toh, dia sudah dibayar.

Indah sebelumnya tak pernah memikirkan hal ini. Ia terinspirasi dari sebuah Film barat dan iseng-iseng mencoba. Siapa sangka, efeknya terasa dan sangat menyenangkan. Menjadi baik di depan semua orang sungguh melelahkan.

"Mati! Mati! Mati!"

Sang supir yang melihat hal itu segera beranjak dari mobil dan menenangkan tuan putrinya yang sudah di luar kendali. Gelandangan itu bisa saja mati jika di teruskan.

"Nona muda, tolong tenanglah," kata supir itu menahan tubuhnya.

Namun, Indah malah menamparnya seperti gelandangan tadi. "Lo siapa?! Lo siapa ngatur-ngatur gue! Lo udah gak sayang sama pekerjaan lo, HAH?!"

Pipi sopir itu memerah, tetapi ia malah menunjuk ke arah Gelandangan itu terbaring lemah dan sakit-sakitan.

"Liat, nona! Apa nona tidak melihatnya sebagai manusia? Jika terus berlanjut, dia bisa saja mati. Tolong, nona muda untuk mengatur tingkat emosinya."

Indah mendengus kesal. Ia segera berbalik dan kembali ke mobil sambil membuang sarung tangannya sembarang.

Diambang pintu mobil ia berkata, "Bawa dia ke rumah sakit terdekat. Gue bakal pulang sendiri."

Tak lama, mobil di gas dan melesat jauh dari sana. Sang Gelandangan bernapas lega mengetahui Indah telah pergi. Badannya benar-benar mati rasa. Ia juga terpaksa melakukan hal ini demi makan untuk esok hari.

***

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang