Chapter 19: Tidak pandang bulu

27 21 13
                                    

___________
Tak ada keluarga yang bahagia dengan kekerasan.
~ Larry Alexandre
___________
***

Pada akhirnya, hal yang tidak diinginkan pun terjadi juga. Berita perkelahian antar saudara itu sampai ke telinga sang Papa yang langsung mendadak pulang dari kantornya.

"Jalan!" perintahnya cepat, sesaat setelah memasuki mobil. Sopir berjas serba hitam itu pun menginjak pedalnya dan mobil pun melaju kencang.

Sesampainya di rumah pun, si Papa langsung mendobrak keras pintu kamar Garry dan tak menemukan anaknya itu.

"Kemana anak sialan itu?!"

Ia bergegas pergi ke ruang makan, namun hanya menemukan Larry dan istrinya yang tengah makan.

"Ada apa, Sayang? Wajahmu sangat tegang."

Sang suami itu tidak menggubris pertanyaan istrinya, tetapi malah bertanya balik. "Kemana anak itu?"

Si Mama kebingungan, tak lama setelahnya dia barulah mengerti. "Mama lihat, dia ada di ruang baca, Sayang. Ehm, ayo duduk, kita makan bersama."

"Nanti saja," balas suaminya acuh, kemudian bergegas pergi begitu saja dari sana.

"Ma, Larry mau ke toilet sebentar ya."

Mamanya menghela napas berat dan mengijinkan anaknya pergi. Mama paling benci saat ditinggal sendiri saat makan. Jika ada di posisi ini, Mama merasa semua orang seolah tak pernah memperhatikannya.

Garry yang tengah berjalan berlawanan arah dengan Papanya itu langsung dipanggil, mendekat. Namun, alih-alih menuruti, Garry melewatinya begitu saja.

"Sudah Papa bilang, jangan BUAT MASALAH!"

Teriakan Papanya barusan menghentikan langkah Garry. Ia menghela napas kecil dan menoleh ke samping, ada saudaranya yang menonton. Tatapan Garry berubah datar saat melihat Larry.

"Jadi, apa yang bakal Papa lakukan? Mengalihkan warisan, begitu?"

Sang Papa itu membalik badan Garry dan memukul keras kepala anaknya hingga tersungkur ke lantai.

"Papa!" teriak Larry, menghentikan keduanya. Ia berlarian dan berdiri tegap di depan Papanya, dengan pandangan menduduk. "Se-Semua ini terjadi karena Larry. Aku yang salah, hingga Garry marah dan membuat kegaduhan."

Garry yang mendengarnya pun langsung mengangkat alisnya tinggi. Kenapa si Bangsat tolo ini malah berbohong?!

"Ah, begitu?!" Papa mengkretek kedua tangannya dan sedikit melonggarkan dasinya, kemudian....

Sebuah pukulan mentah dari tangan Papa menghantam perutnya lagi. Bahkan sampai berkali-kali. Garry yang melihat itu pun langsung mendorong Papanya dengan keras.

"KALIAN BERDUA?!"

"Kau maju selangkah lagi, aku keluar dari keluarga ini," ancam Garry, tepat di samping Larry yang terkapar lemah.

"Sayang!" Mamanya berteriak histeris, ia berlarian kecil dan menahan gerakan suaminya yang masih memanas. "Aku ... aku tak rela jika Garry sampai keluar dari sini. Hal kecil seperti ini, janganlah diperbesar."

Papa menatap Mama dingin. "Kamu memang selalu seperti itu, Sayang." Ia membuang dasi kantornya ke lantai dan pergi begitu saja. Sementara Mama menghela napas lega sebentar...

Ia langsung mendatangi Garry yang masih ngos-ngosan. "Garry, berdamailah dengan Papamu. Setidaknya ... setidaknya lakukan itu demi Mama. Tidakkah kamu bisa menuruti kemauan Mama ini? Mama mohon."

Mamanya itu sampai menggenggam erat kedua tangan Garry. Namun, karena tak kunjung dapat jawaban, ia memilih untuk membiarkan putranya itu menenangkan diri. Dia percaya, bahwa suatu hari nanti, Garry akan berdamai dengan keadaannya.

Garry berjongkok setelah Mamanya menghilang di balik pintu ruangan. "Aksi lo barusan itu SAMPAH. Lo nggak bakal bisa mendapatkan belas kasihan dari gue dengan kemunafikan."

"Ja-Jangan salah paham, Gar, gue lakuin ini bukan demi lo." Larry membalasnya lemah, ia tetap terkapar.

"Jadi, lo beneran suka sama pacar gue?! Sampe-sampe nekad ngelakuin ini?"

Larry mendengus kecil, bibirnya mengukir senyuman. "Coba lo pikirkan, berapa banyak siswa yang akan terlibat dalam hal ini, kalo lo yang jadi biang masalahnya?"

Sekarang terbalik, malah Garry yang mendengus sinis dan membuang mukanya sesaat. "Naif!"

Ia segera berdiri dan meninggalkan saudaranya yang masih terkapar di lantai itu sendirian. Ia muak, bisa-bisanya ada manusia naif seperti itu. Demi kepentingan keselamatan banyak orang?! Cih! Seharusnya Garry memukul kepalanya agar dia itu bisa berpikir keras ke depan.

Sementara Larry yang sudah sedikit pulih perlahan berdiri, perutnya benar-benar mati rasa, bahkan untuk menarik napas saja, ada rasa ngilu sesaat. Namun, tak apa, paling tidaknya ia bisa melindungi banyak temannya yang tak bersalah dari masalah kecil ini.

***

Beberapa pelayan mengetuk pelan pintu kamar sebelum memasukinya. Di kamar itu terbaring lemah Larry yang terus saja memegangi perutnya yang sejak tadi sangat peri tak tertahankan.

"Pak Dokter, tolong segera masuk."

Seorang Dokter berumur cukup tua memasuki kamar itu dengan koper mini berisi obat-obatan miliknya. Ia segera berjongkok dan meminta ijin yang bersangkutan.

Tak lama setelahnya, ia membuka perlahan baju Larry dan terlihat perut putih mulus yang dipenuhi banyak memar. Dokter itu sampai menggeleng.

"Kenapa, Dok?" tanya Larry dengan nada lemah.

Dokter itu perlahan berdiri kembali. "Luka memar yang ada di perut tuan muda nampaknya sangat parah. Saya menyarankan untuk pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit."

"Nggak," tolak Larry cepat ia sedikit bangun, "cukup resepkan aku obat yang bisa mengurangi rasa nyeri saja."

"Tapi, tuan muda."

"Jalankan saja apa yang aku perintahkan." Larry memandangnya lurus.

"Ba-Baik, tuan muda."

Dokter itu berbalik dan menghela napas berat. Para pelayan pun juga ikut melakukan hal yang sama. Dokter itu khawatir jika luka separah itu dibiarkan begitu saja, sebagai seorang Dokter, dia tak bisa hanya melihat pasiennya terluka.

Namun, apa boleh buat, untuk sekarang dia hanya bisa meresepkan obat terbaik yang bisa meredam rasa nyeri dan penyembuhan memar itu.

Ia memberikan secarik kertas itu ke salah satu pelayan. "Tolong tebus obatnya di rumah sakit," perintahnya kemudian menghilang di balik pintu.

"Biar aku saja," kata Larry perlahan bangun dari kasurnya.

"Tidak, tuan muda, biarkan saya yang melakukannya."

"Tapi ...." Tiba-tiba rasa nyeri itu muncul lagi, Larry berusaha menahan sakitnya tetapi rasa sakit itu benar-benar diluar kemampuannya. Ia kembali terhempas ke kasur.

"Tuan muda!" Seluruh pelayan wanita yang ada di ruangan itu panik dan sebagian berusaha menenangkan Larry yang sejak tadi meronta-ronta.

"Cepat tebus obatnya," perintah salah satu dari mereka. Pelayan yang menerima kertas resep tadi langsung bergegas pergi dari sana.

Selain karena kewajiban, mereka juga khawatir jika mereka yang akan disalahkan jika tuan muda (Larry) mereka kenapa-kenapa. Hal itu sudah tertulis jelas dalam kontrak kerja. Mereka harus berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa tuan mereka.

Setelah cukup lama menahan rasa sakit, Larry perlahan menghela napas lega. Rasa nyeri itu sudah cukup berkurang. Ia menutup matanya dan tertidur saat itu juga. Pelayan mengangkat selimut hangat itu hingga menutupi seluruh badan Larry.

***

I'm not Your Doll [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang