Awal

10K 722 81
                                    

Kisah ini berawal dari seorang remaja yang tengah bergelut dengan pikirannya. Wajahnya tak menunjukkan emosi apapun, punggung tegak, kaki tertutup rapat dengan kedua tangan meremas satu sama lain. Netra serupa rubah itu menatap kedua orang tuanya yang tengah cekcok akibat ulah dirinya.

Bibirnya terkatup kian rapat kala suara dari masing-masing orang dewasa itu meninggi. Dia linglung, tidak tau harus berbuat apa. Apa yang diharapkan dari remaja polos yang baru menginjak usia 15 tahun empat hari yang lalu. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Tiada hari tanpa teriakan atau lemparan barang-barang di sekitar.

"Aku ga mau urus dia! Kamu pikir aku sudi mempunyai anak bolot sepertinya?! Gila saja!" teriak si wanita yang berperan sebagai seorang ibu. Ah ibu ya, apakah dia harus tetap menganggapnya seorang ibu kala wanita itu tak pernah bertindak seperti perannya?

Si pria mendengus kasar. Netra tajam itu mendelik pada anak bungsunya yang terus duduk berdiam diri seolah pertengkaran mereka adalah tontonan seru. "Jadi aku harus apa? Aku juga tidak mau mengurusnya! Apa kata client-ku jika melihat anak— argh!" rambut yang masih hitam itu diusak kasar dengan tangan besarnya. Wajah merah, nafas terengah menunjukkan bagaimana emosinya mencapai ubun-ubun.

Suara pintu utama terbuka, mengalihkan tiga kepala di sana. Di ambang pintu, si sulung baru saja pulang sekolah. Tampak raut lelah di wajah sang anak membuat wanita selaku ibu itu mendekati anak emasnya.

"Abang capek? Mau mami buatin teh hangat atau apa? Mami belum sempat masak soalnya mami juga baru pulang" cerocosnya sembari mengambil tas sekolah anak sulungnya. Dengan telaten wanita itu menuntun anaknya untuk duduk di sofa yang awalnya dihuni oleh anak bungsunya.

Entah pergi ke mana anak itu, dia tidak peduli. Keluar dari rumah yang ada dia mengucap syukur karena tidak perlu direpotkan lagi.

Sang kepala keluarga memilih untuk menenangkan pikirannya di dapur dengan air dingin. Perdebatan yang memakan waktu hampir satu jam itu cukup membuat kepalanya ingin pecah. Belum lagi kerongkongannya terasa kering akibat berteriak terus. Tak sengaja dia menatap anak bungsunya terduduk di ujung tangga. 

Kepalanya tertunduk dengan tangan yang terus memilin ujung bajunya hingga kusut pertanda si bungsu dalam perasaan kalut. Berusaha tidak peduli, dengan cepat air dingin itu diteguk kemudian kembali lagi ke ruang tamu bergabung dengan istri dan anaknya.

"Dede mana? Abang ga liat dede dari tadi? Udah makan belom dia?" tanya si sulung yang sadar tak hadirnya presensi sang adik. Kepalanya menatap sekeliling rumah berakhir menatap adiknya yang tengah duduk di ujung tangga. Dengusan terdengar, "Kalian berantam lagi?" ucapan terkesan datar itu berhasil membuat sang ibu panik.

"Ga ada yang berantam. Kamu kan tau kalau adikmu itu selalu diam. Mami aja ga pernah dengar suaranya selain dia nangis atau teriak marah-marah"

Si sulung menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Dia berdiri, berjalan menuju sang adik untuk membawa malaikat kecilnya ke loteng— tempat kamar sang adik.

Sesampainya di kamar sang adik, pria selaku kakak itu mengelus lembut surai madu adiknya. "Tadi mami sama papi berteriak lagi ya, de?" si bungsu tetap bungkam. Tangannya semakin cepat memilin ujung bajunya.

Tidak mau membuat suasana hati sang adik berlarut sedih, dia mengambil sesuatu dari saku bajunya. Sebuah gantungan kunci dengan boneka lembut sebagai hiasannya.

"Tadi abang liat ini di sekolah. Lucu, sama kaya dede. Jadi abang langsung beli, ini untuk kamu" kepala itu mendongak pelan menatap ragu gantungan kunci lucu di tangan besar abangnya. Dalam pikirannya yang kalut, dia memuji kalau gantungan itu memang lucu dan terlihat empuk dipencet.

Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang