Makan Bersama

4.2K 574 71
                                    

☁️ : Cerita ini hanya imajinasi semata. Aku harap kalian sebagai pembaca dapat menyikapinya dengan bijak. Disclaimer, cerita ini mengandung male pregnant. Jadi bagi yang tidak menyukainya, bisa pencet tanda panah di pojok kiri atas. Kemudian, ada banyak perubahan tokoh. Itu alasan aku unpublish cerita ini, jadi tolong diperhatikan tokohnya. Sekian.

🌧️🌧️🌧️

Rain

🌧️🌧️🌧️

Rumah Maleakhi cukup ricuh. Di malam yang dingin ini— seharusnya malah terasa hangat dikarenakan lima remaja tampan tengah duduk melingkar di ruang tamu beralaskan tikar anyam merah.

Di atas tikar sudah tersaji berbagai jenis makanan dimulai dari rendang, ayam kecap, babi panggang, sup kentang, nugget, dan masih banyak lagi makanan yang mengundang liur keluar. Belum lagi minuman berbagai rasa di sudut sudah dipersiapkan.

Seperti wacana siang tadi, anak-anak tampan itu berkumpul di rumah Maleakhi untuk merayakan kepulangan sang kepala keluarga kembali ke rumah setelah melakukan pelayanan. Suasana hangat, namun berisik itu cukup menghibur sang kepala keluarga yang terlihat lelah setelah berpergian jauh.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Setelah Haikal menunaikan ibadah sholat, mereka semua berkumpul di ruang tamu. Teriakan-teriakan rusuh memilih tempat duduk terdengar. Hal-hal kecil diperdebatkan membuat sang ibu rumah tangga kewalahan berakhir menggetok panci berukuran sedang sebagai pertanda untuk diam.

Memang mereka kalau sudah disatukan tak ayal seperti kera-kera kelaparan meminta pisang.

"Ribut kali kelen semua. Udah duduk manis, di mana aja kelen duduk ga berubah makanannya itu" ucap Mamah Maria— mama Maleakhi setelah menurunkan panci putih kesayangannya. Duh panci mahal malah digetok-getok hanya menertibkan remaja-remaja ini ck.

Papah Martin selaku kepala keluarga hanya bisa tertawa dari dapur. Dia sedang memotong bebek panggang omong-omong.

"Sabar, entar lagi makannya kita. Haikal jangan pula salah makan, ya. Kelen makani pula babi itu, aku yang kena dosa" ucap Mamah Maria main-main. Dia jongkok kemudian menggeser beberapa piring dari piring lain yang memang sengaja dipisah untuk Haikal mengingat anaknya itu tidak bisa memakan babi.

"Makasih mah" ucap Haikal setelah Mamah Maria selesai menyusun piring-piring dibalas anggukan olehnya.

"Nah ayo makan kita. Ini bebeknya udah papah potong" pekik Papah Martin yang terlihat serius membawa dua piring besar diisi bebek-bebek yang sudah dipotong rapi.

"Adooooh tau aja papah ini udah lama kami ga makan bebek" teriak Jevan kesenangan melihat salah satu makanan kesukaannya. Jovan memutar matanya malas kemudian memukul punggung kembarannya itu.

"Ga usah juga kau pukul kimak" ini logat bataknya Jevan keluar. Bukan karena dia orang Batak, namun keseringan bermain dengan Maleakhi. Jadi logatnya ikut terbawa.

Papah Martin terkekeh melihat teman anaknya itu. Dua piring tadi diletakkan di tengah-tengah tikar. Pantatnya dibawa duduk di sebelah istrinya yang juga terlihat sibuk membagikan piring dan gelas untuk anak-anak.

Omong-omong, Papah dan Mamah Maleakhi tidak terlalu membawa serius ucapan toxic dari teman-temannya anak mereka. Namun selaku orang tua, mereka tak lupa untuk mengingatkan agar ucapan toxic dikurangi. Takut kebiasaan dan dibawa hingga beranjak dewasa.

Lagian mereka semua sudah dewasa. Sudah menginjak di bangku menengah atas artinya mengerti mana yang baik dan buruk. Papah Martin selaku pendeta pun tidak muluk mengingatkan anak-anaknya untuk mengurangi ucapan kotor. Tak perlu tiap detik diingatkan, cukup sekali saja.

Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang