| 23

45 11 3
                                    

January, Winter 2022

"Terus inget gak kita sering jalan-jalan dan makan bareng, main, selalu ngetawain hal-hal receh.."

"Tiap tahun tuh selalu kita lewatin penuh warna."

"Ada satu moment kita makan di warung deket toko musik favorite gue, gue nyadar senyum Mila bedaaa banget. Senyum paling teduh yang pernah gue liat.."

"Tapi sekarang, gue gabisa lagi ngeliat senyum cantik itu."

Viona terus mengucapkan kalimat-kalimat itu dalam suara lirih. Selalu saja memaksa dirinya agar menahan sebuah sayatan di hati.

"Hari ini..sebulan kepergian Mila." Viona menatap seorang laki-laki di hadapannya

Laki-laki itu hanya diam. Tidak merespon sepatah katapun. Bahkan tidak menatap balik Viona

"Kok lu masih diem sih, hm?" Viona menatap laki-laki itu lekat, bertanya untuk kesekian kalinya

"Mila udah ninggalin kita..Gue harus apa?"  Suara wanita itu sedikit bergetar, ia merasakan hati bergemuruh yang menyesakkan.

"Kenapasih lu dari dulu gapernah jawab pertanyaan gue?"

"Gue masih selalu nungguin.."

"..tapi gue takut, gue capek..lu jangan ikut pergi. Lu harus balik kesini."

Tiba-tiba air mata Viona dan laki-laki itu mengalir bersamaan, namun laki-laki itu masih saja dalam posisi diam tanpa suara.

"Juan?" Sontak Viona saat menyadari air mata mengalir ke sisi wajah laki-laki yang sedari tadi dihadapannya, Juan.

Hanya ada keheningan yang menyelimuti ruangan mereka. Keheningan yang sendu, dan sesuatu yang terus membantu Juan untuk mampu bertahan di ruangan itu.

"Juan?!" Viona berusaha memanggil Juan namun laki-laki itu tetap tidak merespon, diam tanpa kata.

Tak lama setelah Viona menekan sebuah tombol darurat di nakas, seorang laki-laki muncul di balik pintu ruangan, menggunakan pakaian kerjanya.

"Gip.. Juan nangis. Dia ngerespon gue!" Viona berusaha meyakinkan Ghiffar

Ghiffar mencoba mencerna perkataan wanita itu, memerhatikan sekitar ruangan dalam keheningan yang semakin berkurang, karena di dominasi oleh suara monitor helter.

"Vio..gue harus bilang itu cuma refleks dari kondisi tubuh Juan." Ghiffar mengucapkan kalimat itu tak tega

"Tapi gue yakin dia denger gue...air matanya ngalir..dia denger gue." Ucap Viona penuh penekanan saat matanya semakin memerah

"Ju, mau sampe kapan?" Viona menatap Juan yang tak berdaya di ranjang rawat itu, untuk kesekian kalinya ia memaksa hatinya tersayat.

"Vi, lu harus lebih sabar dan kuat. Juan bakal balik buat kita.." Ghiffar menatap Viona dan Juan bergantian, penuh harap.

Tak dapat mengontrol dirinya lagi, perasaan Viona bergemuruh. Wanita itu dipenuhi rasa marah, sedih, dan sesal yang begitu membakar diri. Viona keluar dari ruangan rawat itu disusul Ghiffar yang sedikit panik melihat keadaannya saat ini.

"Mau sampe kapan? Mau berapa lama lagi?!" Suara Viona bergetar seraya gadis itu mengusap kasar air mata yang jatuh

"Bertahun-tahun, Gip. Gue nunggu Juan yang cuma diem aja gapernah ngerespon gue lagi, gue harus nunggu bertahun-tahun." Viona tak dapat mengontrol emosinya, gadis itu menitikkan air mata.

Mata Ghiffar ikut memerah melihat keadaan Juan terbaring tak berdaya melalui pintu ruangan itu. Viona kini sudah begitu kalut. Seandainya saja keajaiban dapat hadir untuk menolong mereka saat ini.

Ghiffar menoleh menatap Viona begitu dalam. Mereka duduk di kursi tunggu depan ruangan dalam emosi yang tak terkendali, lagi.

"Gue bahkan gabisa ngelakuin banyak.. sekalipun dengan ini semua." ucap Ghiffar saat menarik kerah snelli yang ia kenakan.

"Kita cuma bisa selalu berdoa, dan harus yakin.." sambungnya kini bersender lemas

Viona tak merespon ucapan itu. Gadis itu memfokuskan pandangan ke pintu ruangan dengan tatapan kosong, dan mata yang masih memerah.

*****

Seorang laki-laki harus berusaha bertahan hidup dengan bantuan alat-alat medis. Sejak hari itu, telah menghancurkan segala impian dan harapan bersama dirinya.

Juan, membuat orang-orang terdekatnya harus menunggu selama bertahun-tahun demi sebuah keajaiban, demi menyambut kembali dirinya.

Tetapi Juan tidak pernah sadar. Juan tak pernah membuka matanya, tak pernah bersuara. Yang terdengar hanya detak jantung laki-laki itu, sebuah harapan besar untuk terus dipertahankan.

Jika keajaiban itu benar-benar ada, maka Juan harus menjadi salah satunya. Juan harus terus berusaha melewati ini semua agar kembali.

Setiap hari, laki-laki itu selalu di temani oleh seseorang. Membantu Juan merapikan sisi selimut, mengusap lembut lengan dan kakinya, menggunting helai rambut yang mulai memanjang secara perlahan, dan tiada henti mendoakan setiap hari, setiap tahun yang di lalui.

Viona melakukan itu semua demi Juan. Namun Juan tak pernah merespon apapun.

Saat gadis itu terus mengajak Juan mengobrol, meskipun tak ada respon, Juan merasakannya. Laki-laki itu refleks menggerakkan salah satu jarinya yang panjang. Namun Viona tidak menyadari itu.

Sekalipun Juan belum sadarkan diri, apapun yang terjadi di balik koma itu, Juan menitikkan sesuatu membasahi sisi wajahnya. Air matanya mengalir.

Entah dunia seperti apa yang kini Juan lewati untuk bertahan, laki-laki itu terus berjuang untuk dirinya sendiri, demi orang-orang yang selalu menunggu dalam penantian panjang.

















*****

Sincerely, JH.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang