| 41

35 10 9
                                    

Malam ini giliran Randy yang menjaga Juan di rumah sakit. Meskipun Ibunda Juan sudah melarang ketiga temannya jangan terlalu lelah dan memaksakan diri, namun mereka masih dengan senang hati mau merawat Juan.

Sejak sakit kepala yang sering muncul tiba-tiba, orang tua dan teman-teman Juan jadi lebih khawatir akan kondisi laki-laki itu.

"Ju, serius kata dokter gaperlu operasi? Tapi lo sampe nyeri banget katanya tadi?" Randy memastikan keadaan Juan kali ini dengan cermat. Berulang kali rasa khawatir itu menghantui dirinya yang tak bisa membantu banyak selain merawat dan mendoakan Juan agar cepat pulih.

"Ck, lo udah nanya 10x sejak tadi pagi ya Ran jangan sampe gue suruh minum infus."

"Ya tapi gue khawatir??? Lo harus bener bener sembuh yaaa bangsul jangan sia-sia gue tidur di sofa ini sampe boxer gue terbang."

"Si anjir pamrih"

"Bukan pamrih, ini tuh bentuk keoptimisan. Agip juga selalu ngejar target stase koasnya supaya bisa bantu lo lebih banyak ya, Jangkung. Lo harus berterimakasih sama dia."

Juan tersenyum simpul mendengar ocehan Randy. Tak ada yang lebih menghangatkan hati selain mendengar curhatan sahabat lama yang suaranya hampir saja terlupakan.

"Makasih ya, Ran. Kalian selalu jadi yang terbaik kok. Gue janji, bakal usaha supaya cepet pulih."

"Harus." Randy duduk santai di sofa kamar rawat sembari memakan sebuah apel. "Gue ngerasa, sejak kejadian itu nimpa kita, hidup kita berenti."

Juan duduk bersender di ranjang merapikan selang infus saat fokus mendengar Randy. Garis bibirnya naik sebelah. "Harusnya gue yang ngomong gitu."

"Moment hidup gue berenti cuma di masa SMA. Sisanya juga kepingan memori yang bahkan ga nyata.."

"...di saat lo pada ngejalanin hari penuh rasa sakit, sesal, benci, sedih, haru, dan rasa senang yang gue yakin bisa dihitung pake jari, gue cuma bisa diem tanpa tau yang kalian lewatin. Semua karna gue, Ran."

"Gue bahkan ngerasa cuma tidur dan tiba-tiba kebangun tapi rasanya hampa, kenangan gue cuma bayangan. Hidup gue yang berenti."

Juan terkekeh halus dibalik kesenduan itu, seberapa banyak ia berusaha menerima keadaan dan bersyukur masih diberi kehidupan, tetap saja hatinya teriris.

Randy sangat mengerti akan perasaan Juan. Ia tak membantah omongan Juan sedikitpun. "Tapi emang masa sekolah cepet banget berlalu. Sekarang aja kita yang udah kerja malah kangen balik jaman kuliah. Gue bahkan jadi ambis karena keinget lo terus."

"Ini lo pada jadi anak teladan di saat gue sekarat ya, ada hikmahnya juga ya cuk? Sialan emang" Juan mencibir dengan kekehan

"Wow tentu saja, apalagi sepi, ga ada yang rusuhin. Agip juga waktu itu jadi lebih kalem, karena Mila juga sih.."

"Tapi Ju, gue masih penasaran sesuatu. Kalo gue nanya ini sakit pala lo gabakal kumat kan?!" Randy mendekat ke sisi ranjang dengan wajah serius

"Lo kira gue aki aki kalo dikasih pertanyaan bikin pusing. Apa?"

"Lo kenapa bohongin gue soal lo sebenarnya naksir Viona sejak awal? Berlindung dibalik topeng sahabat pula najis banget anjirrrr alay"

"Karena gue tau yang lo semua gatau."

"Apaan?"

****

Flashback
Autumn, 2014

Juan menggenggam sebuah kotak susu strawberry. "Kali aja tu curut tobat nyuekin gu—" ucapan dan langkah Juan terhenti saat melihat Viona bersama seorang lelaki di lapangan basket dari kejauhan. Tampak laki-laki itu menyodorkan paper bag biru kepada Viona.

Sincerely, JH.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang