Malam yang dingin ini Juan ditemani oleh orangtuanya. Juan sudah terlelap setelah memakan obat sejak makan malam tadi, tetapi tiba-tiba terbangun saat samar-samar mendengar suara kedua orangtuanya.
"Yah, Bun, kok ga pulang sih? Istirahat dirumah aja, aku gapapa sendiri lagian kan ada suster nanti.." suara Juan parau, pandangannya beralih ke jam dinding menunjukkan pukul 11 malam.
"Kamu ini aneh, ditemenin malah kita disuruh balik.." Bunda terkekeh lembut merapikan selimut Juan
Tiba-tiba tubuh Juan terasa kaku. Dahinya mengernyit menahan rasa nyeri yang muncul lagi. "Argh!" Juan menekan kepala seraya mencoba menggerakkan badannya
Tubuh Juan terasa begitu sulit untuk digerakkan, ia bahkan tak sanggup untuk sedikit bangun agar dapat bersender. Juan meringis kesakitan
"Kenapa Nak?! Kepalanya sakit lagi?"
Sang Ayah segera memanggil pertolongan dokter untuk melihat kondisi laki-laki itu. Sang Ibunda mencoba menenangkan Juan dan mengontrol rasa khawatirnya. "Sebentar ya Nak, sebentar lagi dokter kesini.."
Dokter tiba mengecek kondisi Juan. Dokter mengarahkan perawat untuk memberikan suntikan obat pereda nyeri untuk sementara, lalu fokusnya beralih ke orangtua Juan.
"Juan harus segera di operasi, pendarahan otaknya sudah menyebar..ini menyebabkan organ lainnya bisa terganggu."
"Loh, tapi sebelumnya Juan tidak apa-apa dan tidak butuh operasi?! Bukankah ini berisiko?" Ayah Juan mulai panik
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk memberikan obat penanganan saat diagnosis awal, karena memang seharusnya pendarahan pasien bisa pulih secara perlahan."
"Namun ini diluar kendali, pasien tidak boleh stress, menyebabkan tekanan darahnya tinggi dan itu sangat mempengaruhi proses pemulihan."
Orangtua Juan mulai kebingungan. Dokter menyarankan untuk segera di operasi namun mereka takut membayangkan bahwa operasi otak sangat berisiko sekalipun dokter yang menyarankan.
"Yah.. Gimana?" Ibunda Juan semakin menunjukkan raut wajah khawatir saat melihat anaknya sudah terbaring lemah menahan rasa nyeri itu
"Dok, tolong bantu anak saya." Pinta Ayah Juan kepada dokter dengan sungguh-sungguh
Dokter mengangguk dan memerintah perawat untuk segera memindahkan Juan ke ruang operasi. Orangtua Juan tak henti memanjatkan doa demi kesembuhan Juan, lagi.
"..sisanya kita serahkan pada Tuhan." Sambung Ayah Juan lirih
Sebelum memasuki ruang operasi, Juan meminta perawat untuk menyampaikan ke orangtuanya agar tidak menghubungi teman-temannya dulu. Juan tidak ingin mereka khawatir.
"Suster, kalo detak jantung saya tiba-tiba berhenti, tolong sampaikan lagi ke orangtua saya.."
Perawat itu tersenyum simpul, ia tak goyah dengan ucapan Juan dan melanjutkan suntikan bius "Mas Juan pasti sembuh, kita akan berusaha semaksimal mungkin."
Dalam beberapa detik lampu di ruangan operasi itu tak terlihat lagi dalam pandangan Juan, dan dokter memulai tindakan operasi.
Orangtua Juan menunggu di luar ruangan sambil berdoa, berharap operasi otak itu akan berjalan dengan baik. Terlihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan wajah lelahnya menghampiri mereka.
"Bun, Juan kenapa?! Kok tiba-tiba harus dioperasi? Katanya bisa pulih perlahan?!" Ghiffar panik melontarkan pertanyaan sekaligus, tak peduli jika penampilannya saat ini kacau karena selesai shift.
"Agip, duduk dulu, Nak. Jangan panik, Juan sedang dalam penanganan dokter. Kami berharap yang terbaik saat ini." Ayah Juan menarik bahu Ghiffar agar duduk disebelahnya
Perlahan orangtua Juan menceritakan keadaan Juan sehingga kondisi laki-laki itu membutuhkan penanganan serius. Tak ada yang menduga hal ini akan terjadi, karena sebelumnya mereka melihat kondisi Juan tampak baik-baik saja.
Padahal Juan sering menahan rasa nyeri itu, bahkan ketika dokter datang memeriksa saat dirinya sendiri tanpa pengawasan yang lain, Juan meminta agar dokter memberikan obat saja seperti biasa.
Juan juga sering diam-diam berkunjung ke ruang dokter memohon agar tidak memberikan penjelasan ke orangtuanya yang bisa membuat mereka lebih khawatir.
Namun malam ini, hal yang ditakutkan terjadi. Kondisi Juan memburuk. Ghiffar menatap kosong pintu ruang operasi, pikirannya sangat kalut saat ini.
Satu sisi ia ingin mengabari yang lain mengenai Juan namun Ibunda Juan sudah melarangnya, seperti permintaan Juan sebelum masuk ruang operasi.
"Ju, lo egois." lirih Ghiffar hampir tak terdengar
Berjam-jam mereka habiskan menunggu di depan ruang operasi. Waktu menunjukkan dini hari, akhirnya dokter muncul di balik pintu itu. Dokter menyampaikan operasi berjalan dengan baik dan Juan segera dipindahkan ke Ruang Pemulihan.
***
Viona membolak-balikkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah namun pikirannya tak bisa diajak kompromi untuk istirahat. Wanita itu merasa gelisah.
"Jam 1..Gue harus ngantor besokkk!!" Viona mengacak kasar rambutnya. Berbagai cara ia coba agar terlelap namun tak terbantu juga. Pikirannya masih dipenuhi dengan Juan dan rasa khawatir yang terus mendominasi kecepatan detak jantungnya.
"Ju.. Gue telfon aja kali ya.." Ia mengambil ponsel di nakas "tapi udah jam segini, pasti udah tidur istirahat.."
Viona tetap memencet panggilan ponsel itu namun tak ada jawaban dari Juan. Ia kembali menekan salah satu nomor yang memunculkan nama Ghiffar. "Gip angkat..."
"Masih shift apa ya? Tapi harusnya udah selesai.."
Tak ada yang mengangkat panggilan telfon Viona. Ia juga segan jika harus menghubungi orangtua Juan, sudah larut malam takut mengganggu.
"Ah udah ah, kayanya sebelum berangkat besok gue mampir aja sebentar" gumamnya menatap jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Viona memejamkan mata memaksakan dirinya terlelap.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, JH.
Hayran KurguJuan Hardika, membuat orang yang paling berarti dalam hidupnya harus menunggu untuk mendapatkan sebuah jawaban. Namun laki-laki itu tetap diam tanpa suara sepatah katapun, dalam sebuah penantian yang begitu panjang. Haruskah mereka mengandalkan tak...