Chapter 21;

5.4K 298 7
                                    

*comment utk kritik n saran

"Hallo, Alan?" Tanyaku lewat telepon.

"Alannya sudah tidur, nak." Terdengar suara ibu-ibu disebrang.

"Bundanya Alan, ya? Maaf tante, saya ngga bermaksud ganggu.."

"Gapapa, ini sudah dapat taksi juga"

"Eh?" Tanyaku untuk memperjelas maksudnya.

"Ini sudah di bandara Ngurah Rai, nak" lirih pelan ucapannya. "Alan tertidur di taksi karena kecapean."

"Ah gitu, maaf ya tante. Saya tadi sibuk jadi sulit di telepon Alan."

"Gapapa, besok Alan jemput kamu ya? Selamat malam."

"Iya, Selamat malam, tante."

ALAN DI BALI?!

YEYYYYY.

Okay, kalem na.

Aku terlalu bahagia tanpa sadar pipiku terasa kram akibat senyum-senyum terus.

...

Sebelum pulang, aku mampir ke rumah Claire untuk menceritakan segalanya. Claire bahkan berani bersumpah bahwa dia tidak pernah membicarakan soal kebiasaan anehku kepada orang lain. Saat itu aku berusaha percaya, karena dia sudah cukup besar untuk tidak berbohong seperti anak kecil. Papa akhirnya menjemputku di rumah Claire, karena dasarnya aku ijin ke rumah Claire dan bukan ke rumah Zian. Mustahil anak strict parent tidak berbohong di kondisi ini kan?

...

Sesampainya di rumah, aku mempersiapkan outfit terbaikku untuk kencan dengan Alan besok. Akan aku peluk erat tubuhnya sampai tidak bisa bernafas untuk melepaskan rinduku selama hampir setahun ini.

Alarmku yang pertama berdering, tapi tidak seperti biasanya Hyuna tukang kebo ini bangun lebih awal dibanding alarmnya. Kalian pasti paham alasannya. Weekend dengan pacar, apalagi selain menghabiskan waktu?

Alan menjemputku dengan motor sewaannya. Kemudian kami berangkat ke cafe terdekat untuk sarapan pagi. Tentunya kami belum berpelukan, kecuali di motor.

Sinar matahari pagi membuat wajahnya terlihat cerah dibanding di foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar matahari pagi membuat wajahnya terlihat cerah dibanding di foto. Aku tidak bisa berhenti menatap wajah imutnya, ingin rasanya aku menggigitnya. Alan menyuapiku sosis juga telur (harap pembaca menjernihkan pikiran). Dia tampak seperti pria dewasa yang romantis, tapi aku tau pasti, aslinya tidak begini.

"Kenapa liatin Alan terus sih, malu tau.." cicitnya sambil menunduk.

"Kalau senyum kamu bisa lebih indah dari senja, saya bisa apa selain jatuh cinta?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.

Atan berdiri, kemudian berlari ke taman cafe. Larinya seperti anak kecil, menggemaskan. Aku mengejarnya dari belakang.

"Alaann, kenapa? Ada kecoak?" Tanyaku tergesa-gesa.

"I.. itu.." cicitnya sambil menutupi wajahnya dengan tangan.

" cicitnya sambil menutupi wajahnya dengan tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Salah tingkah.." lanjutnya.

Wajahnya merona diterpa angin, senyum yang berusaha ditutupinya justru menjadi lucu. Ucapannya yang tertatih-tatih malah makin membuatku terpesona. Aku mendekatinya, dan memojokannya dibangku. Kemudian aku menarik kerah bajunya, dan mencium bibirnya. Aku memejamkan mata bersamaan dengannya. Dia mengelus rambutku dengan lembut. Rasanya bahagia didekapnya.

 Rasanya bahagia didekapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"...But you're here in my heart,
So who can stop me if I decide,
That you're my destiny?
What if we rewrite the stars?
Say you were made to be mine,
Nothing could keep us apart,
You'd be the one I was meant to find.."

Bersambung...

Make The Boys Cry [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang