seventeen

2.3K 175 7
                                    

Nikwon au / wonki au / highschool au / hurt-comfort / sweet seventeen





Nikwon au / wonki au / highschool au / hurt-comfort / sweet seventeen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

















Katanya, di umur 17 tahun itu kehidupan yang sangat spesial. Bahkan perayaan ulang tahun ke 17 pun biasanya di buat lebih meriah bagi mereka yang sering merayakan.

Dulu, Riki percaya hal itu.

Percaya jika di umurnya yang ke 17 nanti, hidupnya akan lebih berwarna, lebih bahagia.
Dulu ia pikir, mungkin dirinya akan memiliki seorang kekasih yang bisa di ajak berkencan di hari ulang tahunnya.

Dulu, Riki pikir hidupnya tidak akan se buruk yang pernah ia pikirkan.

Nyatanya Riki tidak mengalami semua hal menyenangkan yang orang lain sering sebutkan.
Tidak ada kebahagiaan, hidupnya hampa.

Orang tuanya terus bertengkar, tapi tidak kunjung bercerai. Kadang Riki merasa lebih baik mereka berpisah dari pada setiap harinya ia harus mendengar keributan mereka. Bahkan harus ikut melerai saat ayahnya mulai kehilangan akal dan akan membunuh ibunya.

Tidak ada kebahagiaan.

Tidak di rumah, tidak di sekolah.

Teman? Riki sudah tidak punya teman. Ia sudah tidak ingin berteman. Remaja lelaki itu sudah mengalami terlalu banyak pengkhianatan di hidupnya sampai tidak ingin mempercayai siapapun.

Riki hampir membenci segala hal di dunia ini termasuk dirinya sendiri. Entah memiliki tujuan apa sampai ia masih hidup saat ini, entah untuk apa dirinya bertahan.

Tidak ada yang peduli, dan Riki pun tidak ingin peduli.




















"Mau coca cola?"

Riki menatap pemuda didepannya. Berdiri dengan santai sambil mengulurkan sekaleng soda dengan wajah yang sedang tersenyum manis.

"Kau mau tidak?"

Otaknya berkata tidak, tapi tangannya malah terulur untuk mengambil kaleng minuman itu. Membuat si pemberi semakin tersenyum cerah.

Ada dimple yang dalam di wajahnya. Sangat menarik perhatian Riki.

Tanpa basa-basi, pemuda asing itu duduk di sebelahnya. Meminum soda miliknya sendiri lalu menghela nafas panjang.

"Coca cola di tengah hari macam ini memang yang terbaik"

Riki tidak tau siapa pemuda itu. Tidak tau kenapa pemuda itu menghampirinya saat orang lain menjauh dan tidak tau kenapa dirinya sendiri memberi akses agar pemuda itu menyamankan diri di sebelahnya.

Meminum soda yang diberikan, Riki juga merasa sedikit lega. Ia tidak sadar jika dirinya sudah sehaus itu.

"Aku murid pindahan hari ini. Sekelas denganmu meski kau tidak menyadari hal itu" Riki hanya menatapnya sebentar, tidak tau mau menjawab apa.

"Yang Jungwon. Bisa aku tau namamu?"

Riki membuang sampah kalengnya di tempat sampah. Matanya memandang pada Jungwon yang masih duduk santai.

"Tidak perlu tau siapa namaku. Jangan berlagak seperti kau bisa berteman dengan siapapun"















......




















Namanya Yang Jungwon. Riki jelas masih mengingat pemuda yang kini sedang berlarian di tengah lapangan sekolah tersebut. Pemuda yang dua bulan terakhir terlalu sering ada di depan matanya.
Kembali lagi ke topik utama soal Jungwon yang sedang berlari, Riki tidak tau kenapa pemuda itu berlarian seperti orang gila. Pemuda itu tidak melakukan kesalahan apapun sampai harus di hukum semacam itu. Lalu kenapa Jungwon berlarian di tengah lapangan sore menjelang malam ini?

"Kenapa juga aku peduli" Riki menghela nafasnya panjang. Berjalan santai, berusaha mengabaikan Jungwon yang sedang memanggil namanya.

"RIKI!! KAU TULI?!"

Langkah itu terhenti saat Jungwon menahan pergelangan tangannya.

"Minggir. Kau berkeringat dan aku harus pulang"

Wajah Jungwon terlihat cukup kecewa saat ia melepas genggaman tangannya. Dan lagi, Riki tidak tau kenapa ia peduli pada hal itu.

"Maaf, aku hanya ingin bertanya apa kau memiliki minum atau tidak. Kantinnya terlalu jauh dari sini"

Riki memperhatikannya. Terus melihat Jungwon yang perlahan pergi menjauh dengan kaki yang terlihat cukup lemah. Entah sudah berapa putaran yang pemuda itu lakukan, kemungkinan telapak kakinya pun terluka jika berjalan aneh seperti itu.

"Kau tidak akan bisa berjalan dengan kaki seperti itu"

Riki menghampirinya, membantu Jungwon berjalan dengan perlahan karena tadi pemuda itu hampir saja terjatuh.
Setelah menemukan kursi, Riki dengan cepat membuat Jungwon duduk dan beristirahat.

"Terimakasih. Kau bisa pulang sekarang, aku tidak sesakit yang kau kira"

"Buka sepatumu"

"Huh?"

Riki menghela nafasnya panjang. Ia sudah bergerak sejauh ini dan tidak peduli lagi dengan perintah otaknya yang terus mengajak pulang dan meninggalkan Jungwon sendiri.
Itu sebabnya ia mengangkat kedua kaki Jungwon di pahanya, membuka sepatu itu dan melihat keadaan kaki Jungwon yang sudah pastinya terluka.

"Sudah berapa kali putaran sampai kakimu berakhir seperti ini?"

Jungwon meringis pelan saat Riki sedikit menekan luka disana.

"65 putaran, akh! Kenapa di tekan?!"

"Kau gila? Kakimu terluka dan kau dehidrasi"


Jungwon menatapnya terkejut. Nada bicara pemuda itu memang kasar, tapi Jungwon juga menangkap perasaan khawatir disana.

Tapi kenapa Riki khawatir padanya? Apa perjuangannya untuk menjadi teman Riki selama dua bulan terakhir membuahkan hasil?

Riki bangkit setelah memastikan kaki Jungwon ada di posisi yang nyaman. Mengeluarkan kapas, obat luka, beberapa salep dan obat-obatan kecil lainnya di satu tas kecil.
Ia memberikan itu pada Jungwon yang menerima dengan wajah kebingungan.

"Kau obati dulu itu sebentar. Aku akan membeli minuman"

"Riki!"

Riki menatap Jungwon bingung. Apa pemuda itu masih merasakan sakit? Apa mungkin harusnya ia bawa saja ke klinik terdekat?

"Terimakasih"

Well, Riki tidak berpikir Jungwon akan berkata seperti itu, dengan wajah sumringah seperti itu.
Beberapa detik selanjutnya hanya Riki gunakan untuk menatap pada wajah Jungwon. Memperhatikan senyuman manis nya, lesung pipi, mata yang indah, rambut hitam yang cukup panjang dan berantakan karena angin.

Jungwon terlihat begitu indah.



"Jangan tersenyum"

"Eh?" Agaknya hari ini Jungwon banyak di buat kebingungan oleh sikap Riki.

"Jangan tersenyum. Debaran di hatiku jadi terlalu kencang dan itu menyebalkan"




























Mungkin Riki salah memaknai kehidupan di umur ke 17 nya ini.
Mungkin, tuhan sedang berbaik hati dengan mengirimkan Jungwon kepadanya.



























-end

our jungwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang