Part 4

18.1K 2.6K 22
                                    

"Selamat pagi," sapa Nayela ramah disertai senyum hangat. Namun tak dihiraukan. Lawan bicaranya tak menyahut atau bahkan menoleh ke arahnya. Nayela tidak tersinggung dan tetap tersenyum.

Gadis itu menatap Keiran kemudian melirik ke arah buku yang pemuda itu baca. "Ah, bukankah itu buku yang kemarin? Boleh aku meminjamnya setelah kau selesai?"

Keiran masih tidak menyahut. Nayela tak menyerah dan terus berbicara, "Kemarin saat aku bertanya ke petugas di toko, dia bilang itu adalah buku terakhir. Dan aku tak tahu, kapan mereka akan re-stock. Jadi aku ingin tahu apa kau mau meminjamkan bu—"

"Pinjam?"

Nayela termenung mendengar suaranya. Ini adalah kali kedua ia mendengar suara rendah dan datar itu. Ia belum bisa bereaksi untuk beberapa saat.

Keiran melanjutkan dengan sinis, "Kau punya banyak uang, untuk apa pinjam?"

Lagi-lagi gadis itu terkejut. Dirinya tidak menyangka akan mendengar perkataan penuh intimidasi seperti itu, meski ia mengetahui bagaimana tabiat Keiran.

"Aku—"

Belum sempat gadis itu menyatakan pembelaannya, seorang guru masuk dan pelajaran pagi itu dimulai. Ia melirik Keiran yang sudah menyimpan bukunya ke dalam tas.

Nayela mengeluarkan buku cetak dan catatannya. Ia menggenggam pena di tangannya erat dan berbisik, "Asal kau tahu, tidak semua bisa dibeli dengan uang dan kekayaan."

Setelah mengucapkan itu, Nayela menenggelamkan fokusnya di antara teks buku dan penjelasan guru. Ia tak menyadari bahwa Keiran terdiam sambil melihat ke arahnya dengan tatapan rumit.

Namun hanya sesaat sebelum Keiran kembali fokus ke depan dan mendengarkan penjelasan dari guru.

Setelah dua kali empat puluh menit, mata pelajaran pertama itu akhirnya selesai. Ketika Nayela tengah sibuk menyimpan kembali bukunya, guru memanggil dan memintanya membantu membawakan buku.

"Astraea, Keiran, tolong bantu saya membawa buku-buku ini ke ruang guru, ya?" ucapnya.

"Baik, Ma'am." Nayela menjawab sopan, sedangkan Keiran hanya mengangguk.

Keiran lebih dulu mengambil beberapa buku di meja guru sebelum berjalan keluar. Ketika Nayela hendak mengambil sisa buku dan mengejar Keiran, seorang pemuda mendekat.

"Senior, biar aku saja yang mengantar bukunya," ujar pemuda itu menawarkan diri.

Nayela tersenyum ramah. "Tidak perlu, terima kasih atas tawaranmu." Lalu ia berlari keluar dan menyusul Keiran ke ruang guru.

Dari jarak empat meter, Nayela menangkap sesosok pemuda yang tengah berjalan lurus membawa buku-buku di dekapannya. Gadis itu lantas menyamakan langkahnya.

Keiran melirik sekilas kala gadis itu berhasil berjalan di sebelahnya lalu kembali menatap ke depan. Gadis itu kini berganti meliriknya diam-diam.

Ekspresi di wajah Keiran hari ini sedikit berbeda dari yang hari lalu. Entah hanya perasaan Nayela saja, ia mendapati wajah Keiran sedikit pucat dan keringat di dahinya hampir seukuran biji jagung.

"Apa buku itu terlalu berat untukmu? Biar aku ambil beberapa," ucap Nayela. Ia sedikit khawatir melihat kondisi Keiran saat ini.

"Tidak," ujar Keiran datar dan memperlebar langkah kakinya, berusaha membuat jarak dengan gadis itu.

Namun, tiba-tiba mata Keiran berkunang-kunang. Ia merasa sedikit pening sesaat. Nayela menyadari dia tidak baik-baik saja ketika melihat langkahnya yang sedikit goyah.

"Keiran." Nayela berlari kecil menyusul pemuda yang saat ini telah berdiri sambil bersandar di dinding dan memejamkan matanya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Nayela khawatir. Sebelah tangannya terulur untuk menyentuh dahi pemuda itu. Ia terkejut kala suhu yang tinggi itu menyentuh kulit tangannya.

"Astaga, kau demam!"

Keiran hanya diam sambil memejamkan matanya. Ia merasa sedikit nyaman dengan sesuatu yang sejuk yang menempel di dahinya yang terasa panas.

Nayela menarik tangannya, membuat Keiran merasa kehilangan. Gadis itu kemudian mengambil alih buku dari tangan Keiran dan berlari ke ruang guru dengan gesit.

Keiran membuka matanya dan tersenyum miris. Apa yang ia harapkan? Gadis itu membantunya? Jangan bermimpi, Keiran! Ia dan gadis itu bahkan tak kenal dekat, bagaimana mungkin dia mau membantunya.

Pemuda itu akhirnya memutuskan untuk duduk dan bersandar di dinding untuk meredakan peningnya. Ia tak akan mengharapkan siapa pun membantunya.

Karena ia tahu, bagi orang-orang, ia tidak berharga dan akan sia-sia saja untuk membantunya. Seburuk itulah pandangan orang lain terhadap dirinya.

Saat ia dengan tenang memejamkan matanya, suara derap langkah kaki di koridor tertangkap telinganya.

Sebuah sentuhan sejuk kembali ia terima setelahnya disertai dengan aroma bunga mekar di musim semi yang harum dan menenangkan.

Perlahan Keiran membuka matanya dan hal pertama yang dilihatnya adalah sesosok gadis cantik berkulit putih dengan dua netra cokelat terang yang hangat sedang menatapnya dengan pupil bergetar khawatir.

"Keiran, kau masih bisa mendengarku? Apa kau bisa berdiri? Aku akan membantumu ke ruang kesehatan, oke?" ucap gadis itu. Keiran terdiam sesaat sebelum mengangguk patah-patah.

Keiran bangkit dengan bantuan Nayela yang berada di sebelahnya menopang hampir separuh bobotnya dan berjalan menuju ruang kesehatan yang tak jauh dari posisi mereka.

Dengan jarak sedekat itu, Keiran dapat merasakan betapa keras usaha gadis itu. Ia bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan gadis ini selalu membantunya? Ia tak punya apapun untuk membalas hutangnya. Jadi, untuk apa dia berusaha keras membantunya?

Saat tiba di ruang kesehatan, Nayela membantunya duduk di atas brankar lalu mengambilkan segelas air untuknya.

"Minum, kau banyak berkeringat. Kau akan dehidrasi nanti," ucapnya lalu beralih menuju kotak obat untuk mencari obat penurun demam.

"Apa kau sudah sarapan pagi ini?" tanyanya. Keiran bergumam, tapi Nayela dapat menangkap suaranya. Dia belum sarapan.

Gadis itu berbalik keluar dan memanggil seseorang untuk membelikannya makanan. Lalu berbalik dan kembali menghampirinya.

"Berbaringlah, aku akan mengompres dahimu, oke?" ucapnya sambil tersenyum tipis. Karena rasa pening di kepalanya, Keiran tak membantah.

Nayela mencelupkan selembar kain ke dalam wadah berisi air lalu memerasnya hingga hampir kering dan meletakkannya di atas dahi Keiran. Terus berulang kali hingga sarapan Keiran datang.

"Ayo, makan dulu agar kau bisa minum obat." Suara gadis itu amat lembut hingga Keiran merasa seolah dirinya terhipnotis.

Nayela juga membantunya makan dan minum obat. Setelah selesai, gadis itu mengemasi bekas kotak makanannya dan menyodorkannya segelas air lagi.

"Aku akan kembali ke kelas dan meminta izin guru atas namamu. Kau istirahat saja sampai kau merasa lebih baik, oke?" ucap Nayela.

Ketika gadis itu hendak berlalu, Keiran menahannya. Ia menatap Nayela dengan tatapan rumit. "Apa yang kau harapkan dariku sebagai balasan?"

Gadis itu termenung sesaat sebelum tersenyum dan melepas tangan Keiran dengan hati-hati. "Aku harap kau segera sembuh."

👾Tbc👾

Bale's Note:
Mari taburkan sedikit serbuk peri untuk melembutkan hati Keiran~🧚🏻 *eh maaf gak jelas*

Haloo! Aku lihat udah hampir memenuhi target nih, kurang dikit lagi sih, tapi gak apa-apa deh. Mood aku lagi bagus karena lagi gak ada tugas alias nganggur🤩

Ternyata pake target ini ampuh juga ya fufufu *ketawa licik*

Bab 4 ini 10 vote lagi okei? Tapi target yang sebelumnya penuhin juga ya🥺*memelas*🥺

Terima kasih sudah mampir. 

Ciao!💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang