(2) Part 6

6.5K 1.1K 102
                                    

Sander memutar-mutar gelas sampanye beningnya di udara seraya menatap ke arah jendela kaca ruang kerja pribadinya. Pikiran pria itu masih teringat akan percakapannya dengan sang tunangan beberapa jam lalu.

"Luka apa ini?

Nayela tampak gelagapan untuk sesaat. Gadis itu bahkan membuang mukanya guna menghindari kontak mata dengan Sander sebelum menjawab dengan kikuk.

"A-aku pernah tiba-tiba jatuh pingsan dan tergores kran air di kebun kakek," jawabnya.

Mata biru Sander memincing tanpa Nayela ketahui. Jawaban gadis itu agaknya tidak bisa diterima oleh logikanya. Baiklah, mungkin goresan dari ujung kran dapat membuat luka gores yang cukup panjang, tapi itu belum cukup panjang.

Namun meski dirinya sempat berpikir demikian, Sander tak bertanya lebih jauh. Dan sekarang ia menyesal tidak bertanya, sebab hal itu justru mengganggunya.

"Sial!" decaknya. Sander benci saat ia dihantui rasa penasaran akan sesuatu. Ia merasa tidak akan bisa tidur jika tak dapat menemukan jawabannya.

Sander meraih ponselnya dan mengirim sebuah pesan pada asistennya. Setelah itu ia kembali meletakkan benda berlayar pipih itu ke meja dan beralih menyesap sampanyenya.

Tatapan matanya kini tertuju pada sebuah pigura berukuran kecil di atas meja kerjanya. Dalam pigura itu, terdapat sebuah foto keluarga harmonis yang beranggotakan tiga orang.

Sebelah tangan Sander meraih benda itu dan lantas menggerakkan ibu jarinya di atas kacanya. Tatapan mata birunya berubah sendu menatap senyum bahagia ketiga orang di foto itu, terutama satu-satunya wanita di foto itu.

Seorang wanita yang selalu ada untuknya dan memberinya kasih sayang yang melimpah. Sosok hangat yang tidak pernah gagal untuk menenangkan pikirannya dan menyejukkan hatinya. Wanita itulah, ibunya.

Sebenarnya, Sander tak membual saat mengatakan bahwa Nayela mengingatkannya akan ibunya, karena itu memang benar adanya. Nayela mirip dengan ibunya. Bukan di wajah, melainkan kepribadian mereka.

Ibunya adalah wanita paling penyabar dan paling pengertian yang pernah ia temui di dunia ini. Sander selalu berharap ia kelak akan mendapatkan jodoh yang seperti ibunya agar ia bisa selalu merasa di rumah.

Dan kini, saat ia mungkin telah mendapatkan keinginannya, ia justru merasa tidak ingin menerimanya.

•••

Meskipun matahari sudah condong ke arah barat, gadis itu tampak masih nyaman berada di dunia khayalannya bersama sebuah buku tebal yang berada di pangkuannya dan enggan untuk beranjak barang sedikit pun.

Akhir-akhir ini, tepatnya setelah hari kepindahannya, Nayela cukup jarang bertemu Sander, kecuali di malam hari. Sander tampaknya sangat sibuk akhir-akhir ini, entah apa yang pria itu lakukan.

Namun Nayela tidak terlalu mempermasalahkan. Meskipun sistem beberapa kali mengingatkan dirinya bahwa misinya belum mengalami kemajuan apa pun, Nayela justru tampak masa bodoh.

Sebenarnya, tidak masa bodoh juga. Gadis itu hanya tengah berusaha menyusun beberapa skenario untuk merebut hati Sander. Hanya saja belum ada satu pun ide yang cocok dan terlintas di kepalanya. Jadi Nayela memilih berleha-leha.

Puk.

"Huft ...." Nayela menghela napasnya bosan seraya menutup buku bacaannya.

Entah sudah berapa banyak buku yang ia baca untuk menghilangkan kebosanannya. Namun entah bagaimana, ia bukannya merasa lebih baik, tapi justru semakin bosan.

Nayela akhirnya memutuskan untuk meletakkan kembali bukunya ke rak dan berjalan keluar dari kamar setelah meraih sebuah jaket rajut miliknya yang berwarna moka.

Lantai marmer yang dingin bertemu langsung dengan telapak kakinya yang tak dilapisi alas sesaat setelah ia keluar dari kamarnya.

Namun ia tak terlalu mempermasalahkan hal itu dan tetap terus berjalan dengan langkah pelan sembari mengamati desain interior kediaman Donovan yang berkali-kali lipat lebih mewah dibandingkan mansion Everdine. Tentu saja.

"Reya."

Gadis itu bermaksud menuruni anak tangga sebelum sebuah suara memanggil namanya dan membuat langkahnya terhenti. Nayela berbalik dan mendapati Sander berdiri tak jauh dari posisinya.

Sander mendekati Nayela dengan sebelah tangan yang tersimpan di balik saku celana kain miliknya. Ketika jarak di antara mereka cukup dekat, Sander menyadari bahwa Nayela tak memakai alas kaki.

Dahinya mengernyit tak nyaman melihat hal itu. Lalu tanpa aba-aba, ia mengangkat dan membawa tubuh mungil sang tunangan ke dalam gendongannya sebelum kemudian berjalan menuruni anak tangga.

Nayela spontan memekik tertahan dan memeluk bahu lebar Sander dengan erat karena takut terjatuh karena perlakuan yang tiba-tiba itu.

Sedangkan Sander hanya diam bahkan setelah menurunkan tubuh gadis itu di sebuah sofa di ruang keluarga.

Nayela baru saja ingin bertanya, tapi pria itu lebih dulu pergi dari hadapannya dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawa sepasang sandal rumahan dengan motif bunga daisy di atasnya.

Pria itu berlutut dan memakaikannya di kaki Nayela dengan telaten lalu menengadah menatap gadis itu.

"Kenapa tidak memakai sandal? Bukankah lantainya terasa dingin?" tanya pria itu.

Nayela menggaruk pipinya malu. "Maaf, aku tidak terbiasa."

Kamar pribadi Nayela di kediaman Donovan telah dipasangi karpet beludru atas permintaan Sander, karena itulah ia tak perlu khawatir kedinginan tanpa memakai alas kaki saat sedang berada di kamarnya.

"Huft ...." Terdengar helaan napas dari Sander. "Jangan begitu lagi, oke? Kau membuatku khawatir."

"Maafkan aku," sahut Nayela seraya menunduk dan memilin jemarinya yang mungil. Perasaan Sander terasa ringan ketika melihat tindakan kecil Nayela yang tampak manis itu.

"Tidak apa-apa," kata Sander akhirnya lalu mengusap puncak kepala Nayela dengan lembut.

"Ngomong-ngomong, kenapa keluar? Kau bosan?" tanya pria itu kemudian. Nayela menganggukkan kepalanya, merespon pertanyaan Sander.

"Em, aku bosan. Jadi aku ingin jalan-jalan," jawabnya pelan.

"Begitu ya ...," ucap Sander. Kemudian ia bangkit dan mengulurkan sebelah tangannya pada gadis itu. Nayela menatap ke arah tangan itu tak mengerti.

"Aku akan menemanimu," katanya.

Ekspresi Nayela berubah semringah mendengarnya. Gadis itu buru-buru mengulurkan tangannya untuk menyambut ajakan Sander.

Keduanya berjalan bersisian menyusuri semua sudut di kediaman mewah itu. Sander menjelaskan banyak hal dan dengan penuh kesabaran menunggu langkah kaki sang tunangan yang pendek dan lamban, sambil sesekali menuntunnya.

Hingga, kini mereka berada di sebuah taman yang terletak di bagian belakang mansion. Mata Nayela termanjakan ketika melihat pemandangan itu. Dalam hatinya, ia berdecak kagum.

"Semua bunga ini milik mendiang ibuku," ujar Sander tiba-tiba membuat ia berbalik. Namun pria itu menatap lurus ke arah taman.

"Kau merawatnya dengan sangat baik," puji Nayela jujur. Sebab taman ini tampak seolah telah dijaga dengan sepenuh hati hingga semua kelopak bunganya bermekaran dengan sempurna.

Nayela melangkah menyusuri taman dengan tangan yang terulur menyentuh lembut dedaunan dan bunga di sana, lalu berhenti tepat di hadapan sekumpulan daisy.

Gadis itu tampaknya menyukai bunga bermahkota putih itu, pikir Sander yang hanya bergeming dan memperhatikannya dalam diam.

Hingga merasakan terpaan angin sore yang lembut di setiap helaian rambutnya, membuat pria itu spontan memejamkan matanya sesaat.

Dan kala ia kembali membuka matanya, ia disuguhi sebuah pemandangan surgawi, di mana Nayela tampak berdiri membelakangi matahari tenggelam, dengan rambutnya yang berterbangan berwarna sedikit kecokelatan.

Sander terpaku melihat sosok Nayela yang seakan menyatu dengan sinar matahari senja yang sebentar lagi akan hilang di antara langit malam.

🍁Tbc🍁

Bale's Note:
Hai semua~ Apa kabar?😳

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang