Part 7

16.2K 2.4K 12
                                    

"Masuklah," ucap Nayela seraya membukakan pintu ganda mansion Anderson untuk Keiran. Pemuda itu tak menyahut dan melangkah masuk dengan kedua mata yang spontan memindai sekitar.

"Duduklah di sini, aku harus mengganti bajuku dan menyiapkan komputerku. Tunggu sebentar, oke?"

Keiran kembali menatap Nayela lalu mengangguk. Kemudian gadis itu beranjak menaiki tangga menuju ke lantai dua. Namun sebelum itu dia menghampiri salah satu pelayan senior di kediamannya.

"Nanny, tolong sediakan kudapan untuk teman Naye, ya?" katanya yang segera diangguki oleh wanita tua itu.

Sepeninggal Nayela, wanita berusia setengah abad itu bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan kue dan segelas jus jeruk untuk teman sang nona, lalu membawanya ke ruang tamu.

Keiran sedang sibuk memperhatikan foto-foto yang dipajang di ruang tamu kala suara Nanny membuat atensinya teralih pada wanita itu.

"Silahkan diminum, Tuan Muda," ucap Nanny sopan. Keiran sedikit mengernyitkan dahinya, tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu.

"Maaf merepotkan Anda, Nyonya." Keiran menunduk dan berucap dengan nada pelan.

"Astaga! Tuan Muda tak perlu sungkan. Anda adalah teman Nona. Tentu saja Nanny harus melayani Anda dengan baik," ungkap wanita itu dengan nada halus dan tatapan mata hangat. Keiran sempat tertegun beberapa saat sebelum mengangguk kaku.

"Silahkan dinikmati kudapannya—Oh ya! Nanny akan beri tahu Anda satu hal," ujar Nanny dan mendekat, membuat gestur hendak berbisik. Keiran mendekat padanya.

"Kue ini dibuat sendiri oleh Nona, Anda tidak boleh tidak mencicipinya," imbuh wanita itu dengan mata jenaka dan berlalu dari sana.

Keiran mengalihkan tatapannya pada beberapa iris cake roll cokelat yang ditaburi gula halus di atasnya. Sebelah tangannya terulur meraih sepotong kue itu dan membawanya ke mulutnya.

Kala ia menggigit kue itu, tekstur lembut dan halus dari kue menyapa bibirnya dan rasa manis yang tak berlebihan berhasil memanjakan lidahnya. Kue ini benar-benar sesuai seleranya.

Sudut bibirnya tanpa sadar terangkat kala pemuda itu tengah asik menikmati kuenya. Ia tak ingat kapan terakhir kali memakan kue buatan rumah seperti ini.

Bahkan saat ibunya masih hidup, mereka tak cukup mampu untuk membeli sepotong kue atau sekedar membeli bahan bakunya. Dan setelah ibunya tiada, Keiran makin kesulitan untuk makan makanan enak.

Ketika dirinya tengah bernostalgia, tiba-tiba sebuah suara yang tidak menyenangkan, menginterupsinya.

"Cih, keluarga Anderson hobi sekali memberi makan kaum duafa, tapi amat enggan memberi kerabatnya sepeser uang," sindir seseorang dengan suara pelan yang masih bisa didengarnya.

Keiran mengangkat pandangannya dan menemukan seorang wanita berpakaian glamour tengah melirik ke arahnya dengan tatapan jijik dan merendahkan.

"Darimana Alena memungutmu, pengemis?" tanya wanita itu kasar. Keiran mengernyitkan dahinya kala mendengar perkataan itu.

"Bibi Lucinda." Suara halus yang familier terdengar dari arah belakangnya. Keiran tidak perlu membalik badannya itu melihat siapa pemilik suara itu.

"Wahh! Keponakan tersayangku, Nayela!" Raut wajah wanita itu berubah 180 derajat dalam hitungan detik. Hal itu sempat membuat Keiran bergidik ngeri.

Wanita bernama Lucinda itu berlari kecil mendekati Nayela dan memeluknya erat sampai gadis itu harus menahan tangannya di depan tubuhnya refleks agar tidak terlalu sesak dengan pelukan itu.

"Apa kabar, Bibi?" tanya Nayela berbasa-basi setelah wanita itu melepaskan pelukannya.

"Bibi sangat baik! Ngomong-ngomong, kenapa kalian selalu mengundang pengemis untuk datang kesini?" tanya Bibi Lucinda sambil menatap Keiran dari atas ke bawah dengan tatapan sinis yang samar.

Gadis itu refleks mengepalkan kedua tangannya dan menahan napas gusar, sebelum kembali tersenyum lembut dan menatap sang bibi penuh kesenduan di kedua matanya.

Orang lain mungkin tidak menyadarinya, tapi Keiran dapat melihat jelas perubahan kilat ekspresi Nayela beberapa saat lalu.

"Bibi, Keiran adalah temanku. Jangan mengatakan hal sekejam itu," peringat Nayela hati-hati meski di sudut hatinya ia sangat kesal dan marah.

Bibi Lucinda tampak terkejut mendengar perkataan gadis itu lalu memandangnya berpura-pura merasa menyesal.

"Astaga, maafkan Bibimu yang ceroboh karena tak mengenali temanmu. Maafkan Bibi ya?" ucap wanita itu menatap Nayela dan Keiran bergantian. Pemuda itu hanya mengangguk santai, sedangkan Nayela tak mengatakan hal lain dan hanya tersenyum tipis.

"Dimana Ibumu, Nayela?" tanya Bibi Lucinda. Nayela jelas tahu tujuan wanita itu.

"Ibu pergi menemui Ayah di kantor, Bibi," jawabnya tanpa mengandung kebohongan. Namun, ekspresi di wajah Bibi Lucinda terdistorsi seketika. Wanita itu mendengus lalu buru-buru berpamitan padanya.

"Huft." Suara helaan napas terdengar dari seseorang di sebelah Keiran. Pemuda itu berbalik dan melihat Nayela menatapnya dengan sedikit rasa bersalah.

"Ayo pergi ke ruang belajarku," tawarnya. Kemudian keduanya berjalan menuju lantai dua dipimpin oleh si tuan rumah. Keduanya berhenti di depan sebuah pintu bercat cokelat gelap.

Nayela membukanya. "Masuklah," ucapnya setelah itu. Keiran melangkah masuk dan diikuti Nayela.

"Bagaimana menurutmu?" tanya gadis itu. Keiran di depannya terdiam sambil memindai seisi ruangan itu.

Dinding ruangan seakan terbuat dari buku, melihat rak yang menjulang nyaris menutupi setiap dinding. Beberapa pigura foto terpajang di meja dan lemari kaca yang berisi beberapa medali serta piagam.

"Rapi," komentar Keiran membuat si pemilik ruangan mendengus geli.

"Aku akan mengambil minuman. Kau bisa langsung mulai, aku sudah menyalakan komputerku di sana," katanya menunjuk meja belajarnya dengan dagunya.

Saat Nayela keluar dari ruangan itu, Keiran berjalan mendekati komputer itu dan mendudukan dirinya di kursi di depan meja.

Meski ia sudah duduk di kursi di hadapan komputer, tatapan matanya masih sibuk berkeliaran menatap pigura-pigura di ruangan itu.

Pigura-pigura itu berisi foto Nayela sejak masih bayi hingga remaja. Sudut mulut Keiran terangkat ketika ia melihat senyum jenaka di wajah Nayela kecil yang hanya memiliki dua gigi susu kecil di bagian depan.

Kemudian tatapannya beralih pada foto saat Nayela tersenyum lebar memegang piala dan sebuah kertas hasil lukisannya yang indah.

Lalu foto Nayela bersama dua teman dekatnya yang sering Keiran lihat selalu bersamanya pada saat jam istirahat.

Dan terakhir foto Nayela bersama sekitar lima belas orang berwajah asing dengan latar musim dingin. Keiran yakin foto ini di ambil saat Nayela berada di Inggris.

Ia mendengar gosip orang-orang, Nayela seharusnya adalah kakak kelasnya. Namun karena dia mengikuti pertukaran pelajar, Nayela harus mengulang kembali tahun keduanya di SMA.

Bukankah ini takdir? Nayela mengulang tahun kedua SMA-nya dan menjadikan gadis itu teman sebangku dengannya. Senyum Keiran melebar memikirkan hal itu.

👾Tbc👾

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalin jejak, yah!

Ciao!💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang