Part 8

16.4K 2.4K 37
                                    

"Huah! Akhirnya selesai!" seru Nayela senang sambil meregangkan tubuhnya di sandaran kursi putar yang didudukinya.

Keiran tersenyum tipis hingga tak disadari siapa pun kala menatap Nayela. "Kerja bagus," pujinya dengan nada lembut hingga membuat Nayela tertegun, tapi hanya sesaat.

"Hehe.." cengir Nayela dengan wajah lucunya. Hal itu sontak membuat sudut kecil di hati Keiran tergelitik.

"Astaga, sudah jam tujuh malam!" pekik Nayela kala melihat jam di atas meja belajarnya. Ia menatap ke arah Keiran dengan tatapan bersalah.

"Maaf membuatmu harus tinggal hingga selama ini," sesalnya. Namun sedetik kemudian ekspresi wajah sedihnya berubah berseri, membuat Keiran terheran.

"Sebagai gantinya, bagaimana kalau kau ikut makan malam bersama kami?" tawarnya.

"Kami?" tanya Keiran tak paham.

"Um, Ayah dan Ibuku. Mereka mungkin sudah pulang saat ini. Ayo!" ajaknya lalu meraih lengan pemuda itu dengan kedua tangan kecilnya dan menggiringnya keluar ruangan.

Keiran hanya berjalan patuh mengikuti Nayela yang dengan erat menariknya. Kala ia menatap ke arah di mana tangan gadis itu menyentuhnya, permukaan kulitnya entah kenapa terasa panas di dalam dan kedua cuping telinganya memerah.

"Kami pulang!" ucap seorang pria dan wanita paruh baya kompak. Keiran mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk. Di sana, ia melihat sepasang pria dan wanita masuk dengan setelan kemeja necis.

Nayela melepaskan tangannya dari Keiran kemudian menghampiri pasangan itu dan menyapa, "Selamat datang, Ayah, Ibu."

Mendengar ucapan Nayela, Keiran spontan menatap keduanya. Memang benar jika mereka adalah orang tua gadis itu, menyadari perpaduan wajah keduanya ada pada putrinya yang cantik.

Kedua telinga Keiran lagi-lagi merasa panas kala ia memikirkan hal barusan.

Menyadari keberadaan orang lain di rumahnya, sang wanita menatap ke arahnya dan bertanya, "Oh, siapa ini?"

Nayela lantas berbalik dan menghampiri Keiran lalu memperkenalkannya pada kedua orang tuanya. "Ibu, Ayah, ini teman sebangkuku, Keiran."

"Selamat malam, Paman, Bibi." Keiran menyapa lalu membungkukkan badannya sopan. Hal itu tentu saja membuat Nyonya Anderson terkesan.

"Halo, Keiran. Apa kau sudah makan?" tanya Nyonya Anderson ramah yang dibalas gelengan halus oleh pemuda itu.

Melihat itu, Tuan dan Nyonya Anderson menoleh ke arah Nayela bersamaan dengan tatapan galak. "Nay, bagaimana bisa kau membuat temanmu menahan lapar sampai selarut ini, hm?" ucap sang ibu.

"Maaf, Nay tadi terlalu fokus mengerjakan tugas dan tidak sadar jika sudah jam segini," katanya malu. Ia sungguh menyesal. Keiran mendadak merasa tidak nyaman melihat Nayela ditegur karenanya.

"Tidak apa-apa. Tugas tadi memang sedikit banyak," bela pemuda itu. Kedua orang tua Nayela menghela napas.

"Ya sudah. Kalau begitu, bergabunglah untuk makan malam bersama kami, Keiran. Kau mau, kan?" tawar Nyonya Anderson.

Keiran menatap ke arah Nayela serta kedua orang tuanya secara bergantian. Entah hanya perasaannya saja atau, ketiga orang itu tampak mengharapkan dia bergabung, terutama Nayela.

"Baiklah. Diam tandanya iya," putus Tuan Anderson. Kemudian melangkah lebih dulu menuju ke ruang makan diikuti sang istri.

"Ayo, jangan sungkan!" ucap Nayela sambil menarik lengan Keiran seperti sebelumnya dan menggiring pemuda itu menuju ke ruang makan.

"Kemarilah, Keiran. Jangan malu-malu. Duduklah di sebelah Nay," ucap Nyonya Anderson. Keiran hanya mengangguk dan mematuhi perkataan wanita itu.

Ia masih sedikit tidak nyaman dengan kehangatan di keluarga Anderson, sehingga sejak tadi pemuda itu tak banyak bersuara dan hanya mengangguk patuh.

Setelah keempatnya duduk di posisi masing-masing, para pelayan berdatangan membawakan makanan dan meletakkan masing-masing peralatan makan di hadapan setiap orang.

Keiran jadi khawatir melihat beberapa sendok serta garpu yang terjajar di hadapannya. Ia sama sekali tak pernah belajar table manner dengan benar. Akan sangat memalukan jika ia melakukan kesalahan.

Setelah makanan tersaji, para pelayan cepat-cepat undur diri hingga menyisahkan keempat orang saja di ruang makan.

"Selamat makan," ucap Tuan Anderson yang disahuti oleh istri dan putrinya.

Sedangkan Keiran hanya balas bergumam. Ia masih terdiam menatap piring di hadapannya. Ia tidak ingin membuat kesalahan di hadapan orang tua Nayela.

Ia takut dirinya tak akan bisa menerima jika ternyata orang tua gadis itu tak sebaik putrinya mereka.

"Hm? Apa kau tidak suka makanannya?" tanya gadis yang duduk di sebelahnya.

Keiran menoleh dan hendak menggeleng, tapi ketika ia melihat Nayela, ia terdiam. Gadis di sampingnya ini duduk bersila di atas kursi dan tangan kanannya hanya memegang sebuah sendok.

"Kalau begitu kenapa tidak kau makan?" tanya gadis itu dengan kepala sedikit dimiringkan dengan lucu.

"Ada apa? Keiran tidak suka, ya?" timpal ibu Nayela mendengar pembicaraan keduanya.

"Ti-tidak. Saya tadi hanya melamun sebentar," ucap Keiran sambil tersenyum tipis. Nayela yang melihat itu pun ikut tersenyum.

"Kalau begitu, ayo makanlah. Masakan koki di rumah kami adalah yang terbaik di mansion ini," ujar Nayela bergurau sambil melirik sang ibu yang terkekeh.

Senyum pemuda itu sedikit lebih melebar dibanding yang sebelumnya, sebelum kemudian menundukkan kepalanya dan menyantap makanannya.

Pada suapan pertama, Keiran menyadari kebenaran akan ucapan Nayela. Makanan ini adalah makanan terenak yang pernah ia makan sejak tujuh tahun ibu terkasihnya tiada.

Bahkan rasanya, Keiran hampir ingin mengeluarkan air matanya karena kenikmatan makanan itu.

Seolah menyadari bagaimana perasaan pemuda di sampingnya, Nayela kembali menyendokkan lauk ke piring Keiran. Pemuda itu menoleh dan mendapati Nayela tersenyum.

"Kau sepertinya menyukai makanan ini. Ambil lebih banyak," katanya dengan mata dan senyum hangat. "Ini resep Ibuku, enak 'kan?"

Keiran mengangguk dengan ekspresi berseri. "Enak. Ini makanan terenak yang pernah saya makan. Bibi sangat berbakat," pujinya sembari menatap wanita paruh baya itu dan putrinya secara bergantian.

"Hoho, Bibi sangat tersanjung mendengar pujianmu. Benar kata Nay, ambillah lebih banyak!" ucap Nyonya Anderson antusias.

"Haruskah kita menempatkannya di kotak untuk kau bawa pulang?" saran Nayela. Nyonya Anderson pun mengangguk setuju, tapi Keiran buru-buru menolak.

"Tidak perlu repot-repot. Saya sudah kenyang, nanti malah tidak termakan kalau saya bawa pulang."

"Itu benar, tapi jika kau ingin lagi, katakan saja pada Nay, oke?" timpal ayah Nayela yang sejak tadi hanya menyimak. Keiran mengangguk sembari tersenyum mengiakan.

Kemudian sisa waktu makan malam, keempat orang itu habiskan dengan berbincang dan bercanda tawa. Keiran bahkan lebih banyak tersenyum malam itu.

Semua itu karena gadis di sampingnya.

Keiran menoleh menatap Nayela yang tengah sibuk bercerita. Jika bukan karena gadis ini, bukankah dia akan menghabiskan malam dengan kelaparan?

Jika bukan karenanya, bukankah dia akan kembali ke malam-malam yang dingin dan mencekam?

Bukankah dia sangat beruntung bersama gadis ini di malam yang indah ini?

Ya, Nayela adalah keberuntungan keduanya setelah sang ibunda.

👾Tbc👾

Bale's Note:
Halo! Maaf agak telat yah up nya. Kemarenan hectic banget. Tugas kuliah seambrek karena minggu depan mulai UTS wkwk🥲😭

Nanti mungkin pas minggu UTS aku bakal agak lambat up-nya. Aku minta maaf dari sekarang aja biar temen-temen gak nyariin nanti🥺😳 *pede bgt najis*

Udah sih itu aja. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalin jejak, yah! Happy weekend semuanya🐣

Ciao!💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang